Bukti anekdot. Dua kata ini tampak sebagai dua hal yang saling berkebalikan. Bukti identik dengan fakta obyektif. Sedangkan anekdot bermakna persepsi subyektif. Bukti adalah data empirik, sedangkan anekdot adalah testimoni personal. Bagaimana dua hal yang tampak saling berkebalikan ditautkan dalam serangkai istilah?
Selama kurang lebih sembilan bulan di dalam kandungan, lahir ke dunia, masa balita, anak-anak, remaja, muda, dewasa, masa baya, dan tua. Siapa pun dia yang telah hidup di dunia, akan menjalani urut-urutan proses dan etape seperti itu. Ya, tentu saja, ada yang seluruh etape dilalui, ada pula yang belum sampai si pengujung etape telah menemui pungkasan hidupnya: kematian. Perihal itu, bukan kuasa siapa pun yang mendaku sebagai makhluk hidup. Itu di luar kuasa.
Perihal yang menjadi kuasa makhluk hidup dan bernyawa adalah menjalani bentangan etape kehidupan itu dengan pikiran, gagasan, dan perbuatan. Sepanjang etape kehidupan itu adalah lapangan tempat menumbuhkan karya, karsa, cipta, cita, dan cinta. Setahap demi setahap dalam kehidupan makhluk bernyawa adalah upaya untuk meninggalkan jejak, catatan, makna, dan sejarah. Semua itu kelak akan menjadi saksi atau bukti empirik nilai, virtues, nobles, dari keberadaanya di dunia.
Setiap jejak dan catatan perbuatan manusia di dunia, sangat boleh jadi menimbulkan dampak yang berbeda bagi kehidupan di sekelilingnya. Dampak yang ditimbulkan dan dirasakan oleh orang lain, akan memberikan stimulus dalam bentuk testimoni, penilaian, dan persepsi. Masing-masing orang, dengan segala dampak yang dirasakan, akan memberikan persepsi personal dan testimoni subyektif. Satu jejak perbuatan dapat menimbulkan persepsi subyektif yang tidak tunggal.
Sebuah persepsi dan testimoni dari banyak orang jika memiliki nilai, intensi, dan kecenderungan sama, maka akan menghasilkan semacam ijma’ atau kesepakatan. Persepsi yang disepakati oleh banyak pihak atas sebuah catatan kehidupan dapat diterima sebagai kecenderungan jumhur. Pada kondisi inilah, sebuah persepsi subyektif dari banyak orang akan menjadi sebuah bukti dan data valid yang bisa diterima.
Tugas setiap manusia, tentu saja, bukan mengatur persepsi dan testimoni yang sama di setiap kepala manusia. Karena itu di luar kendali dan kuasa. Kecuali dalam situasi tertentu dengan sumber daya kekuasaan autoritarian yang besar hingga dapat mengontrol narasi dan persepsi secara massif. Kuasa narasi dengan senjata publikasi dan komunikasi, dalam catatan sejarah, sering digunakan untuk mengontrol isi pikiran banyak orang.
Tugas setiap kita, tanpa terkecuali, menghadirkan bukti dan rentetan sejarah untuk mampu memberikan bukti dan dampak yang dapat diterima sebagai jumhur. Tidak mudah dan tentu tidak harus menjadi predikat unggul, menjadi medioker pun tidak apa-apa. Mediocrity is not criminal. Berbuat, berdampak.