Rabiul Awal identik bulan Maulud Nabi (kelahiran Nabi). Ini momen meneladani sikap Kanjeng Nabi Saw. Khususnya sikap toleransi dan tindakan yang manusiawi.
Rabiul Awal bulan lahir sosok manusia istimewa. Senin, 12 Rabiul Awal 576 M, Kanjeng Nabi Muhammad Saw. lahir di muka bumi. Momen ini kerap disebut sebagai Maulid Nabi: hari lahirnya Kanjeng Nabi. Tanggal 1 Rabiul Awal tahun ini, jatuh pada 8 Oktober lalu. Bulan Rabiul Awal identik dengan maulid nabi (muludan).
Di bulan ini, umat muslim di seluruh dunia merayakan hari kelahiran Kanjeng Nabi. Berbagai acara, baik di tingkat desa maupun kota, kerap dilaksanakan. Sebagai pengingat, juga sebagai rasa syukur bahwa Allah telah menurunkan cahaya pembimbing bagi manusia.
Namun, pada pelaksanaannya, maulid (muludan) kadang hanya diperingati dan dirayakan saja. Pasca acara, semua kembali seperti biasa. Padahal, Maulid Nabi harusnya menjadi momen belajar dari sikap Nabi.
Tentu, sikap Nabi sebagai seorang manusia berakhlakul karimah.
Makhluk istimewa namun tetap memanusia. Sebuah sikap yang wajib dipelajari, di tengah kemudahan kita marah-marah dan merasa benar sendiri.
Dalam buku The 100 ( a Rangking of the Most Influental Persons In History), Michael H. Hart menempatkan Kanjeng Nabi Saw. sebagai sosok manusia paling berpengaruh di dunia. Kanjeng Nabi ditempatkan di urutan pertama.
Meski penulisnya seorang non muslim, tapi posisi Nabi Muhammad Saw. berada di atas Yesus dan Sidharta Gautama. Apa penyebabnya? Tentu sikap Kanjeng Nabi yang sangat manusiawi. Hingga pengaruhnya terus ada dan berganda di setiap zaman.
Kebaikan akhlak Kanjeng Nabi tidak hanya dirasakan dan dialami umat muslim. Bahkan, orang-orang non muslim pun merasakan kebaikannya, kesantunannya, dan pancar keteduhannya. Dari sanalah Kanjeng Nabi diikuti, disayangi, dicintai bahkan diakui oleh masyarakat non muslim.
Kanjeng Nabi manusia istimewa. Manusia pilihan. Manusia yang memiliki kesempurnaan. Namun, satu hal yang patut kita ketahui adalah: Kanjeng Nabi tidak pernah kehilangan sisi kemanusiaannya. Kanjeng Nabi tetap makan, minum, bertetangga dan menikah.
Andai mau, tentu Kanjeng Nabi bisa menghilangkan sisi kemanusiaannya. Tidak lapar, tidak haus, tidak hidup bersosial, bahkan tidak bernafsu pada perempuan— toh Gusti Allah sudah menjamin segalanya.
Tapi, Nabi Saw. tidak seperti itu. Nabi Muhammad Saw. ingin memberi contoh pada kita semua bahwa beliau manusia biasa. Beliau juga sakit dan butuh tidur untuk istirahat, bahkan tetap butuh pasangan hidup.
Maulid Nabi tentu momentum merenung dan belajar dari sikap Nabi. Terutama sikap toleransi, sebuah sikap yang kerap kita lupakan akhir-akhir ini. Selain sangat santun, Nabi juga penuh toleransi. Bahkan pada mereka yang berbeda keyakinan.
Untuk diketahui, zaman Kanjeng Nabi masih hidup, banyak orang masuk Islam bukan hanya karena faktor hidayah dari Gusti Allah, tapi karena faktor kesantunan, kelembutan dan rasa toleransi Kanjeng Nabi.
Terlebih jika melihat sifat dasar Islam, agama yang dibawa oleh Kanjeng Nabi, memiliki makna keselamatan. Artinya, siapapun yang dekat dengan orang Islam, harusnya merasa aman dan selamat. Sebab orang Islam (sesuai ajaran Kanjeng Nabi) itu teduh dan memiliki toleransi tinggi.
Pernah seorang wanita tua kerap menyakiti Kanjeng Nabi dengan meletakkan duri, benda najis dan rintangan di jalan yang selalu dilalui Kanjeng Nabi. Namun, Nabi tidak membalas. Bahkan, saat wanita itu sakit, Nabi menjenguk dan menunjukkan kasih sayang kepadanya. Wanita tua itu terharu dengan kebaikan Kanjeng Nabi. Lantas, di depan Kanjeng Nabi, wanita itu memeluk Islam.
Coba bayangkan jika kejadian itu terjadi hari ini. Tidak hanya menuntut balas, demonstrasi dengan angka keramat pun bahkan bakal dilakukan. Ini menunjukkan betapa sudah jauhnya kita dari ajaran Kanjeng Nabi. Sebab Kanjeng Nabi tidak pernah mengajarkan kita marah-marah, apalagi demonstrasi secara tidak ramah.
Kanjeng Nabi memang pribadi yang tegas. Namun, ketegasannya tidak menimbulkan perilaku keras dan menjatuhkan lawan. Setiap provokasi dari orang kafir, tidak pernah dibalas oleh Nabi. Coba lihat hari ini, jangankan diprovokasi, banyak orang yang minta diprovokasi agar punya alasan untuk menyerang kembali.
Pernah, suatu kali, hampir tiap hari Kanjeng Nabi dicacimaki pengemis tua buta Yahudi. Nabi tidak marah. Bahkan beliau kerap menyuapi pengemis tua itu. Pernah, suatu kali lagi, Nabi dilempari kotoran saat mau beribadah. Tapi Nabi tidak marah. Bahkan beliau menjadi penjenguk pertama saat si pelempar kotoran itu sakit.
Banyak sikap santun, lembut dan penuh toleransi dari Nabi yang dapat kita contoh. Setidaknya agar kita tidak mudah marah di era ketika kemarahan adalah sesuatu yang mudah dilakukan seperti saat ini. Dan Maulid Nabi, harusnya tidak hanya diperingati. Tapi juga diingat dan dipelajari.
Allahumma shalli wa salim wa baarik ‘alaa sayyidina Muhammadin wa ‘alaa aali sayyidina Muhammad.