Menentukan branding kota, bukanlah menentukan lokasi benda. Tapi menentukan karakter dan sikap manusia yang ada di dalamnya. Terutama pemimpinnya.
Kampus Terbuka pekan kelima ini spesifik membahas Bojonegoro. Beda dengan sebelumnya yang lebih makro, kali ini peserta kelas melihat pentingnya mengangkat mata kuliah komunikasi juncto Branding Bojonegoro.
Lokasi kelas Sabtu kemarin (9/10) cukup merepresentasikan kebebasan yang diusung Kampus Terbuka. Setting outdoor di tengah kebun yang dikelilingi pohon mangga besar-besar. Rindang dan syahdu. Cukup langka lokasi seperti ini di Bojonegoro.
Lokasi menentukan sensasi. Tempat tinggal yang nyaman, adalah idaman semua orang. Bojonegoro dalam banyak ruang perbincangan kayanya belum masuk kategori ini.
Branding erat kaitannya dengan identitas. “What people says about you when you’re not in the room,” kata seorang peserta yang mengutip perkataan pemilik amazon.com, Jeff Bezos. Jika demikian, branding Bojonegoro artinya cerita tentang Bojonegoro. Apa yang orang-orang ceritakan perihal Bojonegoro.
Baca juga: 5 Langkah Sebelum Melakukan City Branding
Celakanya, masih banyak yang bingung cerita apakah Bojonegoro itu? Identitas Bojonegoro masih simpang siur, masih harus disepakati. Bahkan masih harus dicari.
Kenapa mencari identitas Bojonegoro? Tidak semua peserta kelas Kampus Bebas edisi ke-5 sepakat dengan ini. Karena sejatinya Bojonegoro sudah punya banyak sebutan. Tinggal pilih, nama apa yang mau disematkan.
Kota Ledre, Kota Minyak, Kota Sego Buwuhan, Kota Jati, atau Kabupaten Bumi Angling Dharmo? Nama-nama ini tentu punya cerita sendiri-sendiri. Punya asal usul yang bisa diusut dan diurut.
Tapi kenapa masih bimbang? Persoalan yang menjadi keresahan peserta kelas Kampus Terbuka adalah soal komitmen Pemerintah. Baik itu di bilik eksekutif maupun legislatif. Komitmen yang lemah terhadap kemajuan masyarakat Bojonegoro ditandai dengan politisasi identitas. Ini membahayakan.
Identitas politik mengelabui karakter Bojonegoro yang masih galaw. Jati diri belum jelas, sudah diarahkan ke identitas yang malah makin nggak jelas. Di sinilah letak persoalannya.
Peserta kelas yang berasal dari beragam latar belakang itu, selalu tidak saling sepakat. Peserta dari kalangan jurnalis punya sudut pandang sendiri, begitu pula aktivis, pegiat literasi, ASN, hingga legislator yang hadir di sana punya argumen masing-masing.
Memang inilah nuansa yang dibangun dalam Kampus Terbuka. Kelas Bebas disiapkan untuk tarung argumen, anti sentimen. Semua peserta pulang dengan pikiran yang lebih luas dan cerah. Membangun jalan pikiran yang lurus, bukan membangun jalan cor. “Buat apa jalan nglenyer kalau otaknya tidak encer,” ucap seorang peserta sambil terbahak.
Kembali soal identitas Bojonegoro. Seorang peserta mengutarakan bahwa branding Bojonegoro tidak bisa ditumpukan hanya kepada Pemerintah. Kita lah yang harus mengenali jati diri sendiri. Semua elemen harus terlibat dalam merumuskan konsep diri Kabupaten Bojonegoro.
“Tapi kenyataannya, pergantian pemimpin daerah mengakibatkan perubahan haluan. Apa yang sudah dirintis pemimpin terdahulu, dihabisi penguasa baru. Ini dilema,” ucap peserta kelas yang juga pegiat ekonomi kreatif.
Peserta lain mencoba mengurai pertanyaan tersebut. Dimulai dengan contoh-contoh kasus. Misalnya jargon Kabupaten Bojonegoro yang tidak berkesinambungan, nihil konsep, dan lemah argumentasi, hingga ikon-ikon lama yang hampir semua dirobohkan.
Pembangunan jalan dan bangunan saling tumpang tindih dan tidak sedikit yang mangkrak. Misalnya griya UMKM di Jalan Patimura dan Dekranasda di Jalan Gajah Mada, keduanya belum maksimal.
Malah Pemkab mau membangun Gedung Pasar Wisata. Gudang di Dander, gedung-gedung dinas yang sudah ditinggal di Jalan Patimura, eks gedung AKN di Ngumpak Dalem. Dan masih panjang daftar lainnya.
Baca juga: Reboisasi Bojonegoro dan Branding Kota Melalui Warna
“Ini sangat disayangkan. Tapi kita harus mencoba mendalami maksud hati Pemerintah. Perubahan drastis semacam ini mungkin ada tujuannya, tapi masyarakat belum tahu. Mungkin ada evaluasi di balik kekacauan berpikir itu,” timpal seorang peserta.
Branding adalah sebuah proses. Tidak selesai dalam jangka waktu tertentu. Berefleksi pada daerah-daerah lain yang sudah sukses membranding wilayahnya, kuncinya ada tiga fondasi. Yaitu visi, kolaborasi, dan memanusikan manusia.
Ketika pemimpin tidak punya visi yang jelas, maka Bojonegoro masih akan terus galaw. Alih-alih punya identitas, malah dijadikan komoditas. Cuma untuk jualan penguasanya.
Kolaborasi bisa terwujud ketika semua elemen punya visi yang sama. Meski berbeda, tapi saling menguatkan. Bersama-sama menuju tujuan yang sama.
Tapi kolaborasi sulit tanpa kolaborator yang hebat. Kolaboratornya adalah pemimpin. Yaitu pemimpin yang mau mendengarkan. Merangkul tanpa memukul. Mengajak dengan bijak, bukan menginjak.
Fondasi ketiga adalah memanusiakan manusia. Karena inti dari membangun wilayah adalah manusianya. Saat manusianya diwongke, maka semua akan mewujud dalam in harmonia progresio. Living in harmony.
Setiap individu, kelompok, dan elemen masyarakat yang ada di Bojonegoro harus dilibatkan. Banyak cara untuk pelibatan ini. Terpenting adalah adanya keterbukaan, mudahnya akses penyampaian aspirasi, dan mau mendengarkan.
Branding bukan cuma soal jualan reputasi. Bukan pula promosi pariwisata. Muara akhir dari branding adalah bagaimana meningkatkan ekonomi masyarakat, kenyamanan lingkungan, serta kemudahan akses kesehatan, pendidikan, dan fasilitas umum lainnya.
Kita menitipkan kepercayaan kepada Pemerintah untuk mengelola Bojonegoro agar memberi kesejahteraan kepada masyarakat. Semua peserta kelas Kampus Bebas edisi ke-5 sepakat soal konsep ini. Namun diskusi semacam ini juga bisa membantu Pemerintah dalam menopang pijakan yang kuat dalam konsep.
Tulisan ini bukan kesimpulan akhir dari diskusi kelas bebas Kampus Terbuka. Bukan pula catatan lengkap notulensi kelas. Karena hingga akhir, argumen demi argumen terus berseliweran. Mulai dari konsep branding, hingga soal regulasi. Mulai dari kalimat abstrak hingga usul konkret. Semua saling mempertajam.
Tak terasa matahari sudah mulai layu. Empat jam berlalu dalam hangatnya diskusi. Peserta larut dalam semangat membangun Bojonegoro. Bergairah untuk selalu mencerdaskan diri dan semakin memahami betapa banyak yang belum diketahui.