Pipi yang basah tak pernah menyalahkan air mata, wajan penggorengan yang gosong tak pernah menyalahkan api, dan rambut yang rontok tak pernah menyalahkan shampoo.
Kecewa merupakan sikap reflek manusia dalam menjalani bermacam dinamika hidup di dunia. Orang bisa marah, tentu bukan karena dia berbakat marah. Begitupun, orang merasa kecewa, tentu bukan karena dia berbakat kecewa.
Kecewa, sesungguhnya sekadar respon psikologis terhadap keadaan tertentu. Seperti saat kulit terasa gatal ketika digigit nyamuk. Rasa gatal akibat digigit nyamuk bisa cepat hilang ketika kita berusaha mengabaikannya.
Tapi, jika kulit gatal itu kita garuk dengan kekuatan ekstra, kulit yang semula hanya gatal sementara, malah jadi luka berdarah yang sembuhnya lebih lama. Sebab, respon kita terlalu berlebihan.
Begitupun, kecewa hanya respon akibat angan yang tak berbuah nyata. Dan itu, sesungguhnya, sekadar efek samping dari proses berangan-angan. Benar kata orang-orang tua dulu, kalau tak ingin kecewa, kendalikan angan-angan.
Kalaupun terpaksa harus berangan-angan, setidaknya saat angan itu tak berbuah nyata, kecewanya yang biasa-biasa saja. Yang sekadar saja. Jangan berlebihan. Sebab, ada kalanya, angan-angan perlu diabaikan.
Dalam hidup, ada hal-hal yang tak pernah kita kehendaki, tapi harus terjadi. Ia terjadi sebagai prasyarat metabolisme kehidupan, atau dalam istilah yang lebih populer: takdir Tuhan.
Pipi yang basah tak pernah menyalahkan air mata. Pipi seharusnya punya hak prerogatif untuk marah karena dibasahi air mata. Tapi pipi tak pernah marah. Sebab pipi tahu, hanya ia satu-satunya lintasan yang bisa dilintasi air mata. Ia tak akan tega melihat air mata melintas lewat telinga.
Wajan penggorengan yang gosong tak pernah menyalahkan api. Andai wajan bisa protes, tentu ia tak akan mau dibakar sampai gosong. Tapi wajan tak pernah protes. Sebab, ia tahu, hanya dengan rela dibakar, ia mampu berkontribusi terhadap orang lain.
Rambut yang rontok tak pernah menyalahkan shampoo. Andai rambut rontok bisa marah, pasti objek kemarahannya adalah shampoo. Sebab, di mata manusia, shampoo selalu jadi pahlawan yang punya jasa besar menyehatkan rambut.
Tapi rambut yang rontok tak pernah menyalahkan shampoo. Sebab ia tahu, hanya dengan merontokan dirinya, manusia akan selalu membutuhkan shampoo. Tanpa merontokan diri, manusia tak akan mau menggunakan jasa shampoo.
Pipi, Wajan penggorengan, dan Rambut yang rontok, adalah makhluk Tuhan yang harusnya mampu memberi pelajaran pada kita bahwa dalam hidup, ada hal-hal yang sesungguhnya tak pernah kita kehendaki, tapi harus terjadi.
Sebuah pelajaran yang harusnya membuat kita paham bahwa hakekat hidup manusia adalah berdedikasi, bukan berkompetisi. Berkorban, bukan menumpuk keuntungan.
Itu juga bukti betapa manusia itu dhaif dan tak punya kapasitas mengendalikan takdir. Kalaupun mampu merealisasikan angan-angan, bukan kita yang mampu merealisasikan. Tapi berkat welas asih dan kasih sayang Tuhan.