Seneng-senenge lanang lan wadon (selawe). Begitulah beberapa orang Jawa memaknai angka dua puluh lima.
Hal ihwal usia. Di balik sebuah angka terkandung misteri di dalamnya. Dalam kitab hadis sufistik Riyadus Salihin karya Imam Nawawi terdapat sebuah hadis yang memberi deskripsi tentang usia. Berikut matan hadisnya:
خير الناس من طال عمره وحسن عمله
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi. Banyak ibrah/pelajaran yang bisa dipetik dari hadis tersebut.
Salah satu di antaranya indikator manusia yang baik yang ada kaitannya dengan amal dan usia. Yaitu panjang usianya, dan baik akhlaknya.
Atau dalam kalimat lain, maknanya, indikator manusia yang berkualitas adalah yang panjang umurnya dan baik akhlaknya.
Dalam usia terkandung tanda tanya di dalamnya. Terkandung filosofi juga bagi yang mau berpikir dan merenungkannya.
Di usia kepala dua. Saban manusia mengalami berbagai ragam peristiwa. Ada suka, duka, bahagia, nestapa, dan lain sebagainya.
Ada yang berusia dua puluh lima, sudah bercerai dengan pasangannya. Ada juga yang usia dua puluh lima, sudah punya buah hati. Dan ada juga yang usia dua puluh lima sudah menyelesaikan pendidikan doktoral.
Atau dalam usia 25, masih menikmati masa jomlo atau lajang. Dan juga ada yang memiliki harta, tahta, dan wanita yang berbeda dari yang lainnya.
Pada usia dua puluh lima, Kanjeng Nabi Muhammad, menikah dengan Siti Khadijah. Pada usia 20-an, Bung Semaun (aktivis partai sayap kiri di Indonesia), mampu mengorganisir buruh untuk melakukan demonstrasi dalam rangka memperjuangkan hak-hak kaum buruh yang terampas.
Dalam hitungan Jawa, 20-an itu, dibaca likur. Yang bisa diartikan linggih ing kursi (likur). Bermakna memiliki kedudukan, kuasa terhadap suatu hal, dan lain sebagainya.
Usia 21 dibaca selikur. 22 dibaca rolikur. Kemudian 23 dibaca telulikur. Dan patlikur yaitu 24. Dan 25 bukan limalikur melainkan selawe. Begitu aneh dan unik.
Di usia 20-an, ada manusia yang sudah memiliki kuasa, ada juga yang belum. Penafsiran tergantung orientasi hidup, jika berorientasi pada materi, maka di usia 20-an, harus punya pekerjaan, mobil, sepeda motor, dan lain sebagainya.
Namun, jika memiliki orientasi lain, bahkan tidak memiliki orientasi hidup, pergantian siang dan malam hanya sebatas terbit dan tenggelamnya Sang Surya saja.
Nabs, coba bayangkan melihat bunga tulip yang bermekaran. Mekarnya sebuah bunga menambah keindahan bunga itu sendiri.
Tentunya, setelah melalui proses tumbuh dan berkembang. Bunga tulip akan mekar. Keindahan akan terhampar.
Bunga teratai yang berada di air yang keruh. Ketika sudah mekar akan menunjukan estetikanya. Meskipun berada di air yang keruh, estetika dari bunga teratai senantiasa ada.
Usia seperempat abad bisa juga dikiyaskan dengan bunga yang mekar. Dalam tembang Macapat, ada yang namanya Asmarandhana.
Kualitas Asmarandhana tergantung subjeknya. Kualitas Asmarandhana bisa berada pada kualitas yang indah, maupun sebaliknya. Ada yang memadu kasih, meresmikan hubungan, semakin mendekatkan diri kepada Tuhan, dan lain sebagainya.
Namun, di usia 20-an rasa cinta seyogianya tidak hanya diberikan pada lawan jenis saja, melainkan juga kepada sesama makhluk yang lain. Dan yang paling penting adalah cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Ekspresi cinta (mahabbah) seorang hamba kepada Tuhannya tidak ada batasan yang kaku. Namun yang perlu ditanamkan dalam suksma dan raga adalah niatnya.
Niat dalam laku/perbuatan diutamakan. Karena dalam hadis yang masyhur atau populer di kalangan masyarakat, ada yang menerangkan mengenai urgensi niat. Kurang lebih, sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya.
Atau dalam kalimat lain, niat iku perkara seng sepele namung ora sepele, Nabs.
Dalam gegap gempita sosial media, manusia yang hanya berorientasi terhadap materi, terkadang kurang sempat atau bahkan absen berpikir tentang dunia pasca kematian.
Dalam tembang Macapat, ada yang namanya Pocung. Pocung, setelah Megatruh. Kira-kira, bekal apa yang yang sudah tersiapkan untuk mengarungi kehidupan pasca kematian yang abadi?
Apakah dengan amal, bisa masuk nirwana atau surga? Apakah dengan rajin bersujud hingga bonus jidat hitam (karena dipoles minyak, wqwq)?, atau gaya bersedekah yang meminta imbalan langsung pada Tuhan? Amal qurban sapi atau kambing? Dan amal-amal lain yang akan membawa kita ke surga?
Ternyata, fadhal dan rahmatnya Allah yang akan membawa kita ke Surga. Namun, apa jadinya jika ada manusia yang berupaya baik, sembahyang terus, rajin sedekah, namun namanya tercantum sebagai penghuni neraka? Waduh!, piye ki?, bar gawene.
Eksistensi dan esensi dari iman diuji. Apakah setelah tahu bahwa kita termasuk calon penghuni neraka, lantas loss dol tidak ibadah, baik secara vertikal (hablu minallah) maupun horizontal (hablu minannas)?
Dari hal tersebut keadilan Gusti Allah berperan. Hal ihwal surga dan neraka itu hak prerogatif dari Allah.
Tenang saja, slow, setel kendo, ingat, Nabs. Tujuan dari beramal bukan untuk masuk surga atau merasakan ilusi surgawi semacam bidadari dan yang lainnya. Melainkan, niatkan segala sesuatu (amal perbuatan) karena Gusti Allah.
Tetaplah berusaha istiqomah. Bahkan hingga istiqomah itu tidak akan atau bahkan sulit untuk dijalankan. Untuk menutup tulisan ini, ada kalimat dari begawan ilmu tasawuf “Syekh Ibnu Ajibah” dalam kitab Mi’raj At-Thasawwuf atau Lexicon of Sufi Terminology , “الصوفى كالارض”.
Wallahua’lam bis shawab
Di Antara Salak dan Pangrango, Juni-Juli, 2023