Selain tingkat suhu udara yang amat berbeda. Kota Bogor dan Bojonegoro — (BO)JONE(GOR)O — juga memiliki perbedaan dalam memperlakukan pepohonan yang ada.
Sepasca tiba di Stasiun Gambir, butuh waktu satu setengah jam bagi kami untuk melanjutkan perjalanan menuju Kota Bogor. Malam sudah cukup pekat ketika kami sampai di tempat tujuan, sebuah hotel bernuansa klasik berada tepat di tengah jantung Kota Bogor.
Bagi lelaki Njipangan yang sebelumnya tak pernah menginjakan kaki di Tatar Sunda, saya merasa ada kedekatan emosional yang cukup baik dengan Kota Bogor. Kedekatan ini, mungkin harus saya tulis dalam ulasan khusus pada tulisan-tulisan berikutnya.
Kota Bogor, yang konon sudah tak sedingin dulu itu, ternyata masih terasa cukup dingin bagi saya yang terbiasa hidup dalam atmosfer panas. Suasana sejuk Kota Bogor mungkin didukung banyak hal. Selain kedekatannya dengan Gunung Salak, juga terdapat banyak pepohonan raksasa di kota itu.
Satu hal yang langsung saya tangkap dari Kota Bogor adalah, keberanian Pemerintah Kota (Pemkot) nya dalam mempertahankan pohon-pohon tua besar di kota itu. Banyaknya pepohonan besar di tengah Kota Bogor, benar-benar memantik perhatian saya.
Kota Bogor dipenuhi pepohonan raksasa yang untuk memeluknya, dibutuhkan rata-rata 2 hingga 3 rentangan tangan orang dewasa. Jumlah pepohonannya pun tak hanya sekadar satu dua. Tapi banyak. Di sinilah keistimewaan Kota Bogor menurut saya.
Dengan reputasi “Kota Hujan” yang setiap hari dikunjungi hujan petir dan angin kencang, Pemkot Bogor tetap berani mempertahankan pepohonan besar di kota tersebut. Pemkot Bogor, bahkan membangun brand bahwa Pohon besar adalah ikon mereka.
Jika tadabur dimaknai sebagai proses merenungi ayat-ayat kauniyah akan kebesaran Tuhan, sudah sepatutnya siapapun yang pergi ke Bogor, akan mentadaburi keberadaan pohon-pohon raksasa itu sebagai bagian dari kontribusi alam terhadap manusia.
Saya merasa, masyarakat dan Pemkot Bogor memiliki kekompakan dan keberanian dalam melawan propaganda kerawanan pohon tumbang. Mempertahankan pohon besar di tengah guyuran hujan dan angin kencang setiap hari, tentu upaya yang patut diapresiasi.
Mungkin benar jika pohon bisa diajak berkomunikasi. Serupa manusia, ketika ia dipercaya dan diakui sebagai bagian penting dari peradaban sebuah kota, bisa jadi, pohon-pohon itu mampu memaksimalkan kontribusi dan memperkuat dirinya sendiri untuk tak mudah roboh.
Saya membayangkan, betapa banyak para konsultan dan kontraktor jahat — yang hobi membujuk Pemda untuk memotong pohon besar dengan dalih keselamatan warganya — sering gagal closing untuk memotong pohon-pohon raksasa di kota tersebut.
Secara antropo-historis, kedekatan Kota Bogor dengan pepohonan, ternyata punya latar belakang yang kuat. Nama Bogor, konon berasal dari kata Bokor yang artinya dongkel (bagian bawah) Pohon Kawung, yang pada masa kuno cukup memenuhi wilayah tersebut. Dalam Bahasa Indonesia, pohon ini disebut Pohon Enau atau Nira.
Hal berbeda terjadi di Bojonegoro. Dengan reputasi suhu terpanas se Jawa Timur, pepohonan besar yang jumlahnya sudah tak begitu banyak justru dihabisi. Para kontraktor jahat seperti sangat mudah membujuk Pemda Bojonegoro untuk memotong pepohonan besar, atas nama pseudo keindahan dan keselamatan warganya.
Klasikalitas yang Dijaga
Di tengah gempuran urban-kosmopolit-hegemoni-Jakarta, Kota Bogor tampak keukeuh mempertahankan konsep klasiknya. Di hotel tempat saya tinggal selama beberapa hari ini misalnya, foto-foto klasik era kolonial dipajang sebagai ornamen di hampir tiap sudutnya. Lobi, koridor, bahkan toiletnya pun diberi pajangan foto kolonial.
Kota Bojonegoro juga banyak memiliki koleksi foto-foto era kolonial. Perpustakaan Digital Delpher dan Leiden menyimpan dan mempersilakan kita untuk memanfaatkannya. Namun, saya belum pernah melihat ada hotel-hotel di Bojonegoro yang mau memasang jejak kolonial Bojonegoro itu sebagai ornamen pada dinding mereka.
Sesungguhnya, Bojonegoro memiliki seperangkat Sumber Daya yang tak kalah dari Bogor. Baik dari segi kehutanan, pegunungan, maupun sungai Bengawan. Bojonegoro hanya butuh keberanian kolektif (kekompakan), untuk tampil lebih percaya diri dalam menunjukan keunikan local wisdom yang ada.