Sebagai seorang penjajah, Raffles berbeda dengan para aktor penjajah lainnya. Ia masih punya legacy positif bagi perkembangan antropologi-kebudayaan di Indonesia.
Hotel tempat saya bermukim, hanya sepelemparan kerikil dari Kebun Raya Bogor. Dan mendengar Kebun Raya, tentu membuat siapapun — termasuk saya — akan mengingat sosok ilmuwan kreatif-progresif bernama Thomas Stamford Raffles (1781 – 1826).
Di telinga saya, nama Raffles memang cukup familiar, baik sebagai penjajah maupun seorang ilmuwan. Bagi saya, nama Raffles lebih mudah diingat dibanding nama penjajah-penjajah lainnya. Sebab, ia punya jasa di bidang ilmu dan kebudayaan.
Baca Juga: Rihlah Bogor (1), Mentadaburi Keberadaan Pepohonan Raksasa
Bagaimanapun, Raffles memang seorang penjelajah yang juga penjajah. Namun, tak seperti penjajah-penjajah lain yang sekadar menjajah dan langsung pergi begitu saja, Raffles masih meninggalkan sisi baik di bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Atas nama Tlatah Njipangan, saya cukup akrab dengan Magnum Opusnya yang berjudul The History of Java (1817). Di situ Raffles mencatat antropologi-geografis Tlatah Njipangan secara objektif. Ia juga mencatat kekagumannya saat melintasi kelokan Sungai Bengawan, selajur Kanal Naga Bumi Njipangan.
Saya membayangkan, Raffles kerap bercerita pada istrinya, tentang kondisi alam Njipangan. Tentang kelokan Bengawan, hutan jati purba, rentetan perbukitan Kendeng, hingga puncak Kendeng yang dipenuhi pepohonan megah bernama Gunung Pandan.
Hal itulah, barangkali, memicu keinginan saya untuk menziarahi Raffles di Kebun Raya. Ia memang tak dimakamkan di Indonesia. Tapi, bermacam pemikiran dan kisah cintanya, ia semayamkan di Kebun Raya, tempat yang konon ia bangun dengan rasa cinta.
Sepintas Kebun Raya
Kebun Raya merupakan taman atau kebun botani raksasa yang terletak di jantung Kota Bogor. Kebun yang kini dioperasikan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu, luasnya mencapai 87 hektar dan memiliki 15.000 jenis koleksi pohon dan tumbuhan.
Kebun Raya, konon semula hutan buatan pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi (1474-1513 M), Raja Kerajaan Sunda. Hutan ini dibuat untuk melindungi pepohonan langka di kawasan itu. Hutan buatan ini terbengkalai pasca Kerajaan Sunda runtuh pada abad ke-16 M.
Pada 1744 M, VOC Belanda mendirikan sebuah taman dan komplek perumahan besar (wastu) di lokasi Kebun Raya tersebut. Lokasi itu, oleh VOC Belanda, diberi nama Istana Buitenzorg — sebuah nama yang kelak identik dengan konsep klasik Kota Bogor.
Kemudian pada 1811 M, saat Britania Raya menginvasi Jawa dan mengusir VOC Belanda, Thomas Raffles diangkat menjadi Gubernur, dan menjadikan Istana Buitenzorg sebagai kediamannya. Di sinilah, Raffles benar-benar memainkan peran intelektualnya.
Raffles adalah antropolog-budaya yang memiliki minat dalam bidang botani. Ia mengembangkan halaman Istana Bogor menjadi kebun bergaya Inggris klasik, dengan memberi sentuhan-sentuhan ensiklopedik. Inilah muasal Kebun Raya Bogor dalam bentuknya yang sekarang.
Menziarahi Antropologi Raffles
Memasuki savana pepohonan tua yang berhektar-hektar luasnya, tentu banyak objek menarik yang saya amati. Meski, tak semua objek itu mampu saya kunjungi semua. Ditemani kawan dari NTB, saya fokus menuju Lady Raffles Memorial, tugu nisan Istri Raffles. Tempat di mana Raffles menaruh perhatian cukup besar.
Benar saja, sebelum memasuki Lady Raffles Memorial, kami disambut dua buah pundung (bukit kecil) yang seolah menjadi gerbang menuju Lady Raffles Memorial. Di sinilah, unsur antropologi Raffles benar-benar terasa. Kecintaannya terhadap antropologi dan budaya Jawa, tergambar dari keberadaan bukit itu.
Duakui atau tidak, Raffles memang punya minat di bidang Antropologi-Jawa. Bahkan ia berkontribusi dalam memantik bermacam penelitian tentangnya. Di antara jasa Raffles bagi perkembangan Antropologi-Jawa, adalah kemampuannya membuka keran riset antropologi-historis bagi para sarjana Barat di era setelahnya.
Dataran tinggi, baik itu gunung, pegunungan, bukit, ataupun pundung, punya makna khusus sekaligus istimewa bagi Budaya Jawa. Dan Raffles, sebagai ilmuwan yang mempelajari Budaya Jawa, tentu sangat paham konteks itu. Mungkin itu alasan Ia menempatkan Lady Raffles Memorial tak jauh dari dua pundung bukit tersebut.
Ada dua pundung bukit. Pundung bukit sebelah kiri berisi bermacam artefak, prasasti (buatan Belanda), dan patung nandi peninggalan Hindu-Budha. Sementara di sampingnya, pundung bukit sebelah kanan, terdapat pohon sangat besar dan tinggi, yang diberi nama Pohon Raja Asia. Barangkali, inilah pohon terbesar yang ada di Kebun Raya.
Sebagai arsitek utama kawasan Kebun Raya, sisi antropologis Raffles tergambar dari keberadaan dua pundung (bukit kecil) tersebut. Sebab, hanya orang-orang yang mampu memahami antropologi Jawa, yang bisa memahami konsep pundung (bukit/dataran tinggi) sebagai bagian penting dari sebuah peradaban.
Raffles merupakan antropolog Jawa yang menjelajahi, mempelajari, dan meneliti kebudayaan Jawa. Maka bukan kebetulan jika ia memahami semiotika gunung. Terbukti, ia menempatkan Lady Raffles Memorial — tempat yang mungkin punya kesan baginya— tak jauh dari dua pundung itu.
Dan yang membuat saya lebih terkesima, tak jauh dari Lady Raffles Memorial dan dua pundung di dekatnya itu, terdapat tempat yang dinamakan Taman Pandan, sebuah taman luas berisi pohon-pohon Pandan tua, dengan ratusan tahun usianya. Tempat ini, tentu mengingatkan saya pada puncak Kendeng, Gunung Pugawat Pandan.
Nama Pandan, tentu akan membuat siapapun yang mempelajari konsep antropologi-budaya, secara otomatis mengingat Gunung Pugawat Pandan, puncak Kendeng yang menjadi pusat peradaban Hindu – Budha pada era Pucangan Airlangga. Dan Raffles, tentu sangat paham jika tempat itu berlokasi di Tlatah Jipang (Bojonegoro).