Gus Dur, CSO, dan Jejak Kesultanan Pajang di Tatar Sunda.
Kedatangan saya ke Bogor, dalam rangka menemani kawan saya, sesepuh Bojonegoro Institute (BI), Bung Awe Saeful, dalam agenda pelatihan riset sosial diadakan Civil Society Organization (CSO) nasional berbasis di Jakarta, PATTIRO. Ini kali pertama saya sowan ke Jawa Barat, terlebih Bogor.
Sebagai pasowanan pertama di Tatar Sunda, ada kesan istimewa yang langsung saya rasakan; keramahan kosmik, kesantunan entitas alam, hingga kenyamanan atmosfer yang begitu mendalam. Padahal, saya bukan orang yang mudah akrab pada sesuatu yang baru, termasuk tempat-tempat baru.
Baca Juga: Rihlah Bogor (2), Menziarahi Antropologi Raffles di Kebun Raya
Kesan istimewa itu membuat saya sedikit penasaran. Saya pun berkabar pada kerabat di Banten, sekaligus cerita bahwa saya berada di Tatar Sunda, Bogor. Saya bercerita jika di kunjungan ini, ada kenyamanan psikologis yang langsung saya rasakan. Saya pun bertanya, apakah di Tatar Sunda ada jejak-jejak Kesultanan Pajang?
“Fi Amanillah… Di Karawang, bahkan sampai ada petilasan Sultan Adiwijaya Pajang kok” jawabnya, yang sontak membuat saya terkaget.
Berbicara Kesultanan Pajang, tentu berhubungan dengan Jipang, tempat saya berasal. Tlatah Njipangan (Bojonegoro, Blora, dan Tuban selatan), adalah inkubator ideo-genea-logis Kesultanan Pajang. Benteng ideologis, dan tanah genealogis Kesultanan Pajang. Ini alasan Tlatah Njipangan dikenal teritori yang tak pernah bisa ditaklukan Mataram.
Karena sulit ditaklukan itulah, Pakubuwana Mataram dan JJ. Meinsma (penulis Belanda) membuat prosa-propaganda berjudul Babad Tanah Jawa, yang baru diterbitkan pada 1874. Isinya berkisah perang antara Jipang dan Pajang. Tentu, banyak yang tak percaya dongeng karya JJ. Meinsma itu. Sejarawan Barat sendiri seperti Dr. G.A.J. Hazeu dan Dr. Th. G. Th. Pigeaud juga tak mempercayainya.
Jipang dan Pajang terbukti tak pernah mengalami perang. Bahkan, Jipang menjadi tanah yang menyimpan, melahirkan, menumbuhkan, dan memunculkan para dzuriyah Kesultanan Pajang. Baik dari jalur Bani Sabil, Bani Sambu, Bani Jabbar, atau Bani Mutamakkin, yang masyhur sebagai pembawa spirit Pajang.
“Siapapun akan senang jika dikunjungi saudaranya, apalagi yang tak pernah berkunjung” Begitu pesan yang saya tangkap dari kerabat Banten itu.
Tatar Sunda (Banten) dan Tlatah Njipangan (Bojonegoro, Blora, dan Tuban) memang punya hubungan emosional yang cukup kuat. Keduanya satu rantai saudara yang disatukan oleh energi Kesultanan Pajang. Keduanya juga wilayah yang tak pernah bisa ditaklukan Mataram-Belanda, kecuali lewat narasi dongeng yang itupun baru dibikin pada abad 19 M.
Kesultanan Pajang merupakan Kemaharajaan Nusantara terakhir yang menguasai maritim garis pantai Utara Jawa, sebelum akhirnya dirental Mataram pada Belanda di abad 17 M. Pantai Utara Jawa adalah tali ideologis penghubung Banten hingga Gresik. Maka bukan kebetulan jika energi dan jejak ideo-genea-logis Kesultanan Pajang terhubung kuat di Tatar Sunda.
“Raden Aria Kidang, Raden Syafei Cibinong, Pangeran Sake Citeureup, Panembahan Singaperbangsa (Bupati pertama Karawang), adalah cucu-cucu Adiwijaya Pajang yang berada di Tatar Sunda, maka jangan heran jika di Karawang ada petilasan Adiwijaya Pajang”. Ucapnya sekali lagi.
Selain bercerita secara singkat, kerabat yang menjadi penjaga ranji silsilah Keluarga Banten itu juga memberi saya 5 data ilmiah penting. Data yang menunjukan betapa hebatnya Kesultanan Pajang dalam mempersatukan hubungan Tatar Sunda dan Tlatah Jawa Tengah-Timur.
1. Sultan Adiwijaya Pajang memiliki putri bernama Ratu Mas Hadi (Nyai Mas Ratu Glampok Angroros). Nyai Mas Angroros ini menikah dengan Raja Cirebon Panembahan Ratu I. Dari hubungan pernikahan itu, menurunkan para penguasa kesultanan yang ada di Cirebon; termasuk Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, hingga Keprabon.
2. Sultan Adiwijaya Pajang memiliki putri bernama Ratu Mas Jepara, yang menikah dengan Pangeran Wiraraja I (Pangeran Jaga Laut bin Sunyararas bin Sultan Hasanudin Banten). Dari pernikahan putri Adiwijaya Pajang dengan Pangeran Wiraraja Banten itu, menurunkan para penguasa dan pembesar Banten. Termasuk Syekh Nawawi Banten hingga Syekh Abdul Karim Banten.
3. Sultan Adiwijaya Pajang memiliki putra bernama Pangeran Benawa (Prabuwijaya Pajang). Pangeran Benawa memiliki putri Ratu Mas Hartati. Nah, cucu Adiwijaya Pajang bernama Ratu Mas Hartati ini, menikah dengan Sultan Banten III (Maulana Muhammad Nashrudin). Dari pernikahan itu, menurunkan para Sultan Banten berikutnya, termasuk Sultan Ageng Tirtayasa Banten.
4. Sultan Adiwijaya Pajang memiliki putra Pangeran Benawa (Prabuwijaya Pajang). Pangeran Benawa memiliki putri Raden Ayu Galuh. Nah, cucu Adiwijaya Pajang bernama Ayu Galuh ini, menikah dengan Raden Adipati Galuh Kertabumi II. Dari pernikahan itu, menurunkan para penguasa yang ada di Karawang, Purwakarta, Brebes, hingga para Arya Tanggerang yang berkuasa di wilayah Tangerang Banten.
5. Sultan Adiwijaya Pajang punya banyak keluarga di Kota Bogor. Sebab, mayoritas keluarga di Banten, bertaut pernikahan dengan pembesar Bogor. Banyak tokoh-tokoh Bogor yang bersambung genealogi ke Kesultanan Pajang, lewat jalur Keluarga Banten. Di antara yang terkenal adalah Raden Kan’an, Mama Falak, Ajengan Nahrowi, dan lain sebagainya.
Data-data di atas, mungkin menjawab pertanyaan saya, tentang betapa ramah dan santunnya kesan kosmik-entitas-alam yang saya rasakan. Tentang kebaikan-kebaikan luhur yang datang dari masa lalu; residual keakraban, kehangatan, dan rasa persaudaraan dari masa silam, memang wajib disyukuri. Wajib di-tasyakuri.
Bapak CSO dan Moyang CSO
Gus Dur, figur yang dikenal sebagai Bapak Civil Society Organization (CSO) Indonesia — karena terbukti banyak mendirikan CSO — itu, pernah berkata bahwa Kesultanan Pajang adalah energi. Menurut Gus Dur, Pajang adalah entitas yang tak butuh ruang untuk menunjukan eksistensinya. Meski semua peninggalan Pajang dihancurkan dan diberangus Rezim Mataram, Energi Kesultanan Pajang akan tetap ada dan berlipat ganda.
Semua peninggalan Kesultanan Pajang memang diberangus. Namanya diubah. Legacy-nya dihilangkan melalui dongeng. Pilar kerajaannya dirobohkan. Pondasi kerajaannya dipakai. Bahkan, semua keturunan Adiwijaya Pajang diburu sampai bergenerasi-generasi. Tapi toh spirit juang dan energi Sultan Adiwijaya Pajang masih terbukti kuat hingga hari ini.
Gus Dur yang merupakan Bapak CSO itu, pernah menulis bahwa Sultan Adiwijaya Pajang adalah “moyang” bagi CSO yang ada di Indonesia. Gus Dur mengatakan, Sultan Adiwijaya Pajang adalah inspirator pertama gerakan non-pemerintah yang ada di Nusantara. Bahwa peradaban tak melulu dibangun lewat kerajaan.
Adiwijaya Pajang mengajarkan bahwa peradaban tetap bisa dibangun, meski berada di luar dinding kerajaan. Kemampuan membangun peradaban, meski jauh dari ramainya tepuk tangan. Energi Pajang adalah giat-giat advokasi-edukasi yang dilakukan di lembah-lembah hutan. Energi Pajang adalah gerakan CSO hari ini.
Kedatangan saya ke Bogor, dalam rangka pelatihan riset sosial diadakan CSO berbasis di Jakarta, PATTIRO. Saya datang ke acara itu bersama sesepuh Bojonegoro Institute (BI), Bung Awe Saeful. Artinya, kegiatan yang kami lakukan memang berhubungan dengan konsep Energi Pajang yang kerap digelorakan Gus Dur itu.