Berkunjunglah pada makam orang yang meninggal. Sebab, mereka sudah tak memiliki kepentingan apapun.
Sebenarnya saya bingung mau darimana mengawali tulisan ini. Namun seorang guru spiritualis memaksakan saya untuk menuliskannya. Kebingungan ini didasari atas kegagapan, yang belum terbiasa menulis tema ini.
Selain paksaan, saya juga mendapat motivasi dari film Freedom Writers. Film yang sempat dibedah para kaum intelektual di warkop Sematta. Seingat saya, dari film Freedom Writers. Bahwa menulis yang paling bebas ialah melalui buku diary.
Setelah mendengar itu, saya pun mencoba untuk tetap menulis. Tulisan ini ditulis ala diary, jadi kurang layak jika harus dikonsumsi publik. Mohon maaf terlalu banyak curhat di awal. Yah namanya juga diary. Hehe
Beberapa hari yang lalu, saya sempat berjanjian dengan kawan saya dari Blora, Jateng. Sebelumnya, dia akan bertandang ke Bojonegoro dalam waktu dekat ini. Hingga tiba saatnya, dia mengabarkan sedang berada di wilayah Bojonegoro Selatan. Tepatnya berada di Kecamatan Bubulan, Bojonegoro-Jatim.
Mengingat daerah itu, akhirnya saya pun memberitahunya ada makam sepuh di sana. Lalu tawar menawar pun terjadi, hingga kami memutuskan untuk berziarah ke sana. Tepat siang itu, saya pun bergegas menaiki kuda besi dan menuju Bojonegoro Selatan.
Selama di perjalanan, selain disuguhi banyaknya asap kendaraan. Kami juga menikmati pemandangan luas hutan. Maklum daerah Bubulan memang berada di sebelah selatan hutan Dander-Bubulan. Merasa bersyukur masih bisa menikmati suasana hijau dan rimbunnya hutan.
Sesampainya di tengah hutan, hujan pun diturunkan oleh penciptanya. Dalam hati pun gerundel “wah hujannya kok ya pas di tengah hutan ya”. Cecurhatan perihal kenangan pun terjadi dengan kawan yang saya bonceng.
Hingga akhirnya tidak terasa telah sampai di ujung hutan. Meski hampir saja putus asa karena hujan, eh perihal kenangan membuat lupa keadaan. Hehe
Kami pun langsung membuka google maps, sembari mencari petunjuk jalan. Sedikit kebingungan, namun sampai juga ke tujuan. Sampai di rumah kawan, kami disambut senyum ramah tuan rumah. Istirahat sejenak, dan menghabiskan sebatang rokok. Agak sorean, kami berlima menuju ke pesarean.
Sebelum pesarean, kami mampir ke rumah juru kunci terlebih dahulu. Percakapan dengan juru kunci pun terjadi. Adegan memperkenalkan diri pun terjadi. Perihal nama, daerah asal, hingga tujuan kami pun tersampaikan. Sedikit kaget setelah sang juru kunci memberi himbauan “kalau ke makam harus menggunakan sarung”.
Mak jleb, detak jantung pun semakin cepat. Kebetulan saya dan kawan saya yang berangkat dari kota, menggunakan celana tanpa sempat bersarungan. Maklum, ini pertama kalinya saya ke sana. Karena rasa tawadhu’ kami pun tidak sempat bertanya. Hanya mengiyakan dalam hati, lalu berhusnudzhon dalam hati.
Barangkali ini adalah bentuk perlawanan terhadap penjajahan budaya yang dilakukan penduduk setempat. Dahulu kala di zaman penjajahan, celana sempat diharamkan demi melawan penjajahan budaya yang dilakukan oleh orang-orang barat. Kalau dipikir-pikir sarung juga bisa dijadikan media melawan penjajahan. Itulah hebatnya ulama’ kita, melawan tanpa menyentuh dan menyakiti.
Hingga akhirnya berlanjut ke pesarean, dari dalam makam tampak lukisan mbah Lancing Kusumo di atas makam. Mbah Lancing digambarkan sedang memakai sarung dan kepalanya ditutup belangkon. Sesuai perjanjian yang memakai celana hanya bisa masuk ke area makam.
Tanpa bisa masuk ke cungkup dan menyentuh makam secara langsung. Saya terima dengan lapang dada, yang penting masih tetap bisa berziarah. Meski dari luar cungkup, saya tetap mengikuti bacaan tahlil hingga selesai.
Seusai bertahlil kami pun melanjutkan ngobrol-ngobrol di sekitaran makam. Sang juru kunci menuturkan “Mbah Lancing Kusumo termasuk salah satu penyebar agama Islam di wilayah selatan. Beliau berasal dari Jawa Tengah, karena tidak sepaham dengan Belanda akhirnya diuber-uber hingga sampai di Desa Clebung Bubulan”. Sepintas kemudian, saya melihat ucapan Mbah Juru Kunci, ternyata sudah diabadikan dalam sebuah batu yang ada di depan makam.
Tutur Sang Juru Kunci makam, setiap malam Jum’at Pahing warga sekitar selalu mendoakan Mbah Lancing. Dengan menggelar tahlil di area makam, jama’ahnya juga ada yang dari luar kabupaten. Salah satunya dari kabupaten Nganjuk dan akan datang kesini setiap malam jum’at pahing. Itulah sekelumit perjalanan ziarah yang bisa saya ingat.
Dari perjalanan spiritual ini, saya mendapat beberapa pelajaran yang bisa diserap. Salah satunya dapat dijadikan media mendekatkan diri kepada Allah. Berkunjunglah pada makam orang yang meninggal, sebab mereka sudah tidak memiliki kepentingan apapun.
Mereka hanya ingin dihidupkan kembali dan memperbaiki amal. Spirit yang bisa diambil dari ziarah ialah menumbuhkan kembali semangat hidup dan senantiasa berusaha memperbaiki amal.