Sebuah resensi novel karya Linda Sue Park, A Long Walk to Water — bahwa diplomasi air lebih berarti ketimbang bedil.
Inspirasi untuk berbuat baik bisa datang dari mana saja. Dari hal besar, maupun yang remahan. Dan cerita berikut adalah tentang bagaimana seorang bocah mengubah serpihan kecil dalam perjalanan panjang kehidupan yang sebagaian besar kelam hingga akhirnya mampu memberikan manfaat luas pada tanah kelahirannya yang hancur lebur akibat perang.
Mawien Dut sprinkled water on his son’s head, the Dinka way of blessing someone who was lost and is found again (Mawien Dut memercikkan air ke kepala putranya, begitulah cara Dinka memberkati seseorang yang hilang dan ditemukan kembali.)
Novel ini bisa dibaca sebagai perjalanan mencari, menemukan air yang dimulai dengan kegetiran. Cerita tentang seorang anak laki-laki korban perang dan seorang anak perempuan yang melakuakn perjalanan hampir 8 jam setiap hari di tengah terik matahari hanya untuk mencari, mendapatkan satu jerigen air dari sumber air yang masih ada ketika musim panas berlangsung.
Ketika pecah perang antara Sudan Utara dan Sudan Selatan, Salva -tokoh utama yang baru berusia sebelasa tahun-, sedang duduk di bangku sekolah, memandang jendela dan membayangkan akan lari pulang ke rumah. Tiba-tiba saja berondongan bedil berseliweran, yang bisa dilakukan hanya berlari, bersembunyi di semak-semak. Bayangan tentang rumah hilang.
Sudan Utara yang mayoritas muslim di mana kontrol pemerintahan berada ingin menjadikan islam sebagai ideologi utama. Sudan Selatan sebaliknya, yang mayoritas penduduknya non-muslim menolak keinginan itu dan penduduknya mengobarkan perlawanan.
But the people in the south were of different religions and did not want to be forced to practice Islam. They began fighting for independence from the north. The fighting was scattered all around southern Sudan, and now the war had come to where Salva lived.
Sebagaimana perang di manapun akan meninggalkan banyak korban. Salva hanya salah satu dari ribuan anak-anak korban perang yang harus hidup dari kamp ke kamp. Sebelum sampai kamp salva hanya bisa lari dan lari, melewati hutan dan panasnya gurun.
Salva melewati Sudan selatan, menyeberang ke Ethiopia untuk tinggal selama 6 tahun di kamp pengungsian. Kamp pengungsi Itang di Ethiopia salva pikir tidak terlalu baik. Kamp Itang di Ethiopia ditutup paksa oleh militer, penghuninya dipaksa kabur, ditembaki dan banyak yang meninggal tenggelam ketika menyeberang sungai. Maka bersama kawanan anak-anak lain berjalan jauh lagi ke selatan sampai sebuah kamp Kakuma lalu ke Kamp Ifo di Kenya. Di Kenya Salva menghabiskan 5 tahun hidup di kamp pengungsian.
Kenya menjadi kamp terakhir sebelum ribuan anak korban perang ini akhirnya akan diadopsi oleh keluarga di Amerika. Salva mendapatkan keluarga di Rochester. Ia sekolah lagi mulai dari awal hingga SMA dan kuliah di jurusan bisnis.
Namun kerinduan akan keluarga di desa kelahirannya belumlah sirna. Suatu hari ia mendapati email dari pamannya di Sudan bahwa ayahnya akan dioperasi karena sakit lambung. Dengan segala cara dan mengikuti semua prosedur, perjalanan Panjang Salva akhirnya bisa bertemu Kembali dengan ayahnya, Mawien Dut. Pertemuan yang singkat saja dengan ayahnya itu menumbuhkan semangatnya untuk percaya, bahwa kelak ia meski melakukan sesuatu untuk tanah kelahirannya.
Setelah Kembali ke Amerika, salva memikirkan kembali apa yang harus ia lakukan untuk membantu orang-orang di Sudan. Lama merenung ia ingat akan ayahnya, kondisi kesehatannya memburuk dan harus dilakukan operasi karena selama bertahun-tahun mengkonsumsi air yang buruk bahkan tak layak minum. Salva juga teringat ketika di rumah sakit itulah ayahnya memercikkan air di kepalanya, tanda bahwa ia yang hilang telah ditemukan kembali, bahwa percikan air juga adalah ungkapan keberkahan.
Salva akhirnya memutuskan, ia akan memulai program pembangunan pompa air. Nama kegiatannya water for sudan.
Dengan bantuan orang tua asuh dan beberapa teman kelasnya Salva mulai kampanye penggalangan dana di sekolah-sekolah, pertemuan warga, gereja, tempat-tempat umum di Rochester tanpa lelah hinga akhirnya berhasil membangun beberapa pompa air di Sudan. Salva percaya pada Langkah-langkah kecil sebagaimana perkataan pamannya yang ditembak mati pasukan bersenjata.
“A step at a time.
One problem at a time—just figure out this one problem.”
Novel ini berisi dua cerita yang berjalan bersamaan, satu adalah tentang salva dan pelariannya dari perang. Satunya adalah tentang perempuan suku Nuer bernama Nya, yang setiap hari pergi berjalam hampir setengah hari hanya untuk mendapatkan air dari sumber yang masih ada. Di perkampungan Nya tidak ada sumur, tak juga ada bangunan sekolah.
Hingga pada suatu hari datang orang-orang proyek dan mengukur tanah dan melihat dua pohon besar. Mereka yakin akan mengerjakan proyek ditengah-tengah antara dua pohon besar tadi. Nya yang seorang perempuan kecil desa bertanya pada ayahnya, apa yang orang-orang itu lakukan, “mereka akan mengebor sumur”. Nya nyaris tidak percaya, bagaimana mungkin di tanah yang berpuluh-puluh tahun tak ada tanda-tanda sumber air, dan hampir 7 bulan kekeringan setiap tahunnya bakal ada sumur dan air yang mengalir.
Ketika akhirnya pengeboran sumur itu berhasil, batu-batu dirapikan untuk tatakan sumur, beton semen sudah mulai mengering dan upacara pembukaan sumur baru dimulai. Warga ramai datang, kemeriahan dan rasa syukur dilakukan warga dengan menari dan bernyanyi.
Seorang ayah memanggil anak puterinya, dan berujar “ apa kamu tahu yang membangun sumur ini dari suku Dinka?, Nya puterinya itu menggeleng. Dalam pikirannya sudah berpuluh puluh tahun perang suku terjadi antara suku Dinka dan Nuer memperebutkan daerah sekat sumber air. Tapi ia tak pernah menyoal perseteruan itu, biarlah menjadi masa lalu. Masa depan adalah bagaimana warga memanfaatkan air, dan sebentar lagi desanya akan dibangun sekolah dan semua anak boleh menjadi siwa termasuk perempuan seperti Nya.
Pada sebuah kesempatan, Nya mendekati orang dibalik semua proyek itu untuk mengucapkan terimakasih karena telah membawakan air ke desanya dan bertanya ” aku Nya, siapa namamu?”
“aku Salva, senang berjumpa denganmu, Nya”
A long walk to water sebagaimana judulnya ia merupakan cerita tentang perjalanan Panjang bagiamana suku-suku di sudan selatan mendapatkan air minum yang layak dikonsumsi. Dan perjalanan itu dimulai oleh seorang bocah 11 tahun korban perang yang melewati kelamnya hidup dari kamp ke kamp hingga bisa terbang ke Amerika dengan satu tujuan ingin membangun Kembali desanya, salah satunya dengan memberikan air.
Air adalah sumber kehidupan dan kebahagiaan. Tanaman dan pertanian akan lagi tumbuh sumbur di kawasan desa-desa Sudan. Orang tak perlu lagi jalan ribuan langkah untuk mencari sumber air, karena sudah ada pompa. Pendidikan dan listrik, pasar dan kehidupan yang lebih semarak bisa dibangun kembali. Lupakan perang antar suku, lupakan perang antara Sudan Utara dan Sudan Selatan, air lah yang kan membasuh itu semua, membersihkan kotoran-kotoran peradaban yang dibangun dengan darah orang-orang tak bersalah.
A long walk to water dengan demikian tak hanya bisa dimaknai sebagai perjalanan panjang memperoleh air, tapi juga perjalanan Panjang menumbuhkan harapan, menyemai kebahagiaan dan itu semua tak bisa terjadi jika salva tak memahami akar budaya sukunya. Bahwa percikan air ayahnya yang memberkati kepala dan kehidupannya bisa ia ubah menjadi sekian titik pompa air yang memberkati suku-suku dan desa-desa di sudah selatan. Percikan air yang mendinginkan kepala seorang bocah yang rindu membangun kembali tempat masa kecilnya yang penuh kenangan, meskipun pahit dan porak poranda akibat perang. Salva telah membuktikan bahwa diplomasi air lebih berarti ketimbang bedil.
Judul: a long walk to water
Penulis : Linda Sue Park
halaman; 115
Bahasa : Inggris