Melihat rivalitas MU vs Liverpool dari sudut pandang pemikiran Ibnu Khaldun.
Periode klasik peradaban Islam, dengan menggunakan pisau analisis Marshall G. Hodgson, merupakan fase kemunduran dalam aktivitas intelektual di dunia Islam. Periode ini dinilai sebagai abad kegelapan dalam dunia Islam dengan ditandai, salah satunya, ditunjukkan dengan sepinya aktivitas intelektual.
Namun, sebagaimana selalu ada celah cahaya di kelam kegelapan. Ibnu Khaldun muncul sebagai ilmuwan muslim terkemuka sehingga karya intelektualnya diakui sebagai peletak dasar filsafat sejarah dan teori sosiologi modern.
Teori siklus Ibnu Khaldun menjadi rujukan untuk menjelaskan tentang jatuh bangunnya peradaban. Menurut Ibnu Khaldun, peradaban berjalann melalui lima tahap: Penghancuran-pembentukan, konsolidasi, kemakmuran, kedamaian, dan kehancuran. Prasyarat awal dimulainya peradaban adalah adanya solidaritas sosial, kedekatan, dan hubungan erat antaranggota di dalam lingkungan sosial.
Tafsir atas teori Ibnu Khaldun menandaskan bahwa tidak ada keterpurukan berlangsung selamanya, sebaliknya tidak ada kejayaan tanpa akhir. Ada pergiliran masa kejayaan dan kemunduran.
***
Setiap hari Senin di kelas Teknik Kimia angkatan 2004 selalu ramai membahas seputar hasil liga-liga Eropa, terutama hasil Liga Inggris. Kebetulan di kelas kami, fans MU dengan Liverpool sama banyaknya. Sehingga troll antarfans kedua klub selalu meriah.
Kurun tahun itu, fans MU berada di masa-masa kejayaan. Raihan trofi demi trofi menjadi menu tahunan yang selalu menjadi kebangaan fans MU. Sebaliknya fans Liverpool sering menjadi bulan-bulanan. Kecuali di tahun 2005 dengan Miracle in Instanbul. Di tahun itu, Liverpool secara luar biasa berhasil juara Liga Champions setelah tertinggal 3 gol dari AC Milan. Selebihnya, fans Liverpool menderita dan berpuasa dengan istikamah.
Tahun 2013 menjadi babak baru dalam perjalanan MU dan para fansnya. Dua puluh enam tahun dengan raihan trofi serta selalu bersaing di level tertinggi untuk memperebutkan trofi di bawah Alex Ferguson berakhir. MU memulai babak baru dengan tertatih-tatih di bawah Moyes, Giggs, Van Gaal, Mourinho, dan kini Solskjær.
Liverpool sejak tahun 2015 memulai cerita baru di bawah arahan Jurgen Klopp. Perlahan-lahan Liverpool menjadi langganan dalam perebutan titel juara level domestik Inggris maupun Eropa. Puncaknya Liverpool mengakhiri puasa gelar juara Liga Inggris setelah sebelumnya menjuarai Liga Vhampions Eropa.
Posisi Liverpool dan MU kini berkebalikan dengan medio satu hingga dua dasawarsa lalu. Liverpool dengan arahan Jurgën Klopp, dengan memakai tafsir teori siklus Ibnu Khaldun, sedang memasuki fase kedamaian. Pada fase ini, Liverpool berjuang untuk mempertahankan prestasi dan capaian yang telah diraih. Liverpool masih kompetitif untuk menjadi salah satu kandidat kuat juara.
MU di bawah manajer Solskjær dengan merujuk teori siklus Ibnu Khaldun, berada pada fase konsolidasi. Artinya Liverpool dua fase di depan MU. Liverpool dengan Klopp masih berasa di level berbeda –identitas permainan tim– dibandingkan MU.
Konsolidasi MU di bawah Solskjær perlahan-lahan mulai dilakukan oleh sang manajer. Merapikan struktur manajerial, standardisasi gaji antarpemain, promosi pemain akademi, dan dukungan penuh pemain terhadap ide pelatih mulai tampak di luar dan di dalam lapangan. Artinya jika berjalan dengan baik, MU akan memasuki fase kemakmuran dengan trofi dan prestasi. Pertanyaannya: Kapan dan sabar atau tidak?
Laga bertajuk Super Sunday akhir pekan ini antara MU melawan Liverpool menjanjikan intensitas dan rivalitas seru antarkedua klub paling sukses di Inggris. Dengan perjalanan, fase, dan performa tim, Liverpool dan Klopp masih berada di level yang lebih baik dibandingkan MU. Akan tetapi, konsolidasi, semangat, cara bermain, dan keinginan untuk menang yang ditunjukkan MU di babak kedua saat melawan Atalanta tengah pekan lalu, Liverpool perlu was-was.
Kejayaan dan kemunduran diperuntukkan. Fans Liverpool telah menjadi teladan baik bertahun-tahun. Fans MU, sanggup dan siap?