Bersetubuh dengan cemas yang sendu, di atas perapian ranjang merah jambu.
Aku ingin bercerita padamu tentang tembok atau charger atau cangkir kopi atau sinyal ponsel yang kadang menyenangkan sekaligus merepotkan. Cerita ini, tentu saya tulis dalam kondisi baik-baik saja.
Awalnya, dia mengajakku berbicara tentang semesta yang sangat indah dan dunianya yang sangat asyik. Setiap dia bercerita, selalu membuatku menunggu dan terpana. Dari cerita itu, dia membuatku bahagia. Aku nyaman berada di zonanya.
Tapi, saat aku mulai kecanduan cerita-cerita darinya, dia mulai mengurangi kualitas kisah yang dia sampaikan. Hingga akhirnya perlahan menghilang. Kondisi itu membuat situasi baru yang membuatku merasa aneh.
Aku baru tahu kalau dia serupa penjual jamu. Dia menceritakan kembali kisah-kisah yang diceritakan padaku, pada orang lain selain aku.
Sabtu malam entah kapan, pesannya berakhir tepat pukul 00.10. Isi chat-nya terlihat lebih kalem dan serasa lebih istimewa dari biasanya. Namun, justru membuatku sedikit patah hati dan patah harapan.
Hingga memicu ruang teks yang akhirnya menjadi asing. Tanpa sadar mataku mulai mendung dan air membasahi pipi.
Membuatku menangis dan menangis lagi. Membuatku menangis dan menangis lagi. Semua yang terbaik dan yang terlewati. Semua yang terhenti tanpa diakhiri. Aku nggak nyanyi, beneran aku nggak nyanyi.
Saat itu, ruang pikirku hanya memikirkan percakapan yang sempat kami alami. Nyatanya, aku bersetubuh dengan cemas yang sendu, di atas perapian ranjang merah jambu. Hingga larut malam, hanya bisa mengingat yang terjadi hari-hari lalu.
Pergi. Kembali datang lalu pergi lagi. Sempat seperti itu hingga berbulan-bulan lamanya. Akhirnya, semua tak bertahan lama hingga kisah ini benar-benar terhenti. Kau kembali ke semestamu yang rumit itu.
Dan aku. Aku pun memutuskan kembali ke semestaku yang membosankan sekaligus tak membosankan itu. Segalanya berlalu. Semua kembali normal. Tanpa perlu dibawa ke paranormal. Sedikit demi sedikit, kenyamanan mulai menghampiriku.
Dia, sekarang dia sudah tak lagi menarik bagiku. Karena semestaku (yang baru) jauh lebih menarik dibanding dia yang kadang seperti tembok atau charger atau cangkir kopi atau sinyal ponsel yang kadang menyenangkan sekaligus merepotkan.