Gunung Merapi memuntahkan isi perutnya. Bertepatan dengan angin yang bertiup dari timur ke barat. Itu terjadi Minggu (17/11/2019) pagi sekitar pukul 10.46 wib. Muntahan tersebut berupa semburan awan panas. Tingginya mencapai 1 kilometer (km). Sesuai yang tercatat Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG).
“Terjadi letusan di Gunung Merapi tanggal 17 November 2019 pukul 10:46 WIB. Letusan tercatat di seismogram dengan amplitudo max 70 mm dan durasi 155 detik,” tulis BPPTKG dalam akun twitter.
Melansir Katadata, Gunung Merapi sering menunjukkan aktivitasnya. Itu terjadi selama pertengahan 2018 hingga akhir Januari 2019. Bahkan, tepat pada 25 Agustus lalu Merapi sempat erupsi. Kala itu, guguran lava mencapai jarak luncur 500 meter.
Peristiwa ini mengingatkan pada letusan Merapi tahun 2010 lalu. Letusan terbesar gunung paling aktif di Indonesia selama 100 tahun terakhir. Gunung ini terletak di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejarah letusan Merapi sudah tercatat selama 3000 tahun.
Band asal Jogjakarta, Rubah di Selatan bercerita tentang Gunung Merapi. Melalui lagu berjudul ‘Merapi Tak Pernah Ingkar Janji’. Lagu tersebut memiliki makna yang begitu dalam. Bukan hanya sosok Gunung Merapi, melainkan budaya dan ajaran yang ada di dalamnya. Khususnya bagi masyarakat lokal.
“Kita menghindari hal-hal yang instan. Jadi Kita ingin terdapat nilai empiris dalam lagu kita. Jadi kita melakukan riset untuk benar-benar tahu,” kata vokalis Rubah di Selatan, Melinda Sky kepada Jurnaba.co (13/11/2019).
Backing vocal dan penabuh sadatana, Roni Udara menambahkan cerita. Erupsi Merapi diistilahkan dengan bahasa jawa ‘duwe gawe’. Artinya, ini bagian dalam memperbaiki kondisi alam. Merapai memiliki cara sendiri. Bahkan, tidak semua orang bisa menerima langsung pesan tersebut.
“Merapi tidak disebut erupsi tetapi ‘duwe gawe’ yang artinya bukan bencana. Maksudnya, ada pesan-pesan kehidupan. Walaupun dengan cara yang mungkin banyak orang yang tidak bisa menerima secara langsung,” kata backing vokal dan pemukul sadatana, Roni Udara kepada Jurnaba.co.
Niai budaya dan ajaran tersebut terdapat di Museum Merapi. Merapi termasuk bagian dari lingkungan kehidupan masyarakat Jawa. Alam semesta memiliki siklus tersendiri. Sebagai gunung yang aktif, Merapi pun pasti memiliki siklus alamian. Misalnya waktu ‘gawe’ (aktif) dan waktu tidur (pasif).
“Seperti perkataan sabda yang terlampir di museum Merapi itu, bahwa siklusnya itu pasti akan datang,” lanjut Roni.
Dalam lagu Merapi Tak Pernah Ingkar Janji, nilai tersebut juga disampaikan. Dalam bait pembuka, terdapat alunan syair berbahasa Jawa.
“Aku ora ngalahan, tur yo ora pengen dikalahke Nanging mesti tekan janjine, mung nyuwun pangapuro Nek ono sing ketabrak, keseret, kebanjiran lan klelep mergo ngalang-ngalangi dalan sing bakal tak lewati”
Bait syair tersebut adalah janji Gunung Merapi kepada manusia. Janji yang pasti ditepati dari gawe yang dilakukan. Gawe Gunung Merapi tidak bisa dihentikan. Selain itu, permintaan maaf kepada manusia yang terdampak. Jadi, ini merupakan siklus alam yang perlu dikawal prosesnya.
Terdapat pula tembang macapat berupa Pangkur. Tembang tersebut menjadi penutup lagu. Sebuah tembang yang memiliki makna mendalam. Artinya, mendidik dilakukan dengan cara yang indah. Terlebih ilmu luhur bagi kehidupan. Seperti yang diterapkan masyarakat Jawa.
Jadi, erupsi Gunung Merapi sebagai siklus alam yang tidak bisa dihindari. Itu bisa terjadi kapan saja. Sebagai manusia perlu memahami. Terlebih masyarakat lokal yang terdampak. Masyarakat harus waspada dan berhati-hati.