Aku boleh berkonflik dengan mantanku. Itu wajar bagi seorang anak muda. Tapi aku akan tetap hormat dan takzim pada kedua orang tuanya. Bagiku, itu prinsip yang tak bisa ditawar.
Tergugah setelah sekian lama tertidur dalam lupa kepadaNya. Menyebar disekujur tubuhku, rasa sesal dan salah tak terasa mengerak, membatu dan akhirnya menjangkitiku.
Bukan sereceh jangkitan virus flu yang menggemparkan seantero kamar kos. Rasa ini tulus tak ternoda dan bersumber dari kesadaran yang sepenuhnya. Jika aku telah menyesal.
Okelah aku percaya jika Tuhan tak kehabisan cara untuk mengingatkan makhluknya. Kadang hanya saja makhluk yang picik tak sadar diri yang telah diciptakan, sok sombong dan menyepelekan pada siapa yang telah menjadikannya di dunia ini.
Bayangkan saja, semisal Sang Pemilik langit dan dunia murka dan mengusirnya, lantas mau kemana makhluk sok sombong ini, semua yang dipijak milik Tuhan. Apa mau cari Tuhan lain?
Dan beruntungnya aku masih diingatkan Tuhan sebelum ancaman-ancaman sedemikian terjadi. Satu peristiwa yang telah terjadi, Tuhan mengambil sesuatu yang aku cintai dan aku baru sadar jika semua milik Tuhan.
Kiranya aku pun milik Tuhan. Dengan begitu aku berpikir tentang kesadaran. Ternyata selama ini aku belum sadar.
Cinta memang buta, tak memandang fisik harta dan lain sebagainya. Namun cinta tanpa nafsu kiranya kurang syahdu. Itu kata teman ngopiku setiap hari. Kebutaan pada cinta, tak akan sama dari mata ke mata.
Demikian tak salah dan tidak boleh disalahkan. Sama halnya menasihati seseorang yang sedang jatuh cinta hanya kebodohan semata.
Namun bukan kebutaan cinta yang akan kubicarakan. Aku hanya akan berbagi sedikit kisah, pasal tak keberanian mengutarakan cinta yang berujung pada kehilangan.
Sudah cukup banyak cerita yang ku dengar tentang kegagalan memperjuangkan cinta. Kegagalan untuk mendapatkan seseorang yang menjadi dambaan hati, dengan maksud memiliki.
Satu, dua, sembilan, temanku dengan sendirinya membagikan cerita tragisnya padaku. Ya, mungkin hanya sebatas cerita tukar pengalaman sebab kisahku sendiri tak lebih baik dari mereka. Senasib seperjuangan, senasib sepengalaman lah yang menjadikan kami tak saling malu untuk membagi kisah.
Bermula ketika aku dipertemukan Tuhan dengan sesama makhluknya yang bernama Janan. Awalnya memang tak ada saling punya rasa cinta namun teori waktu tak akan pernah bisa dilupakan.
Berjalannya waktu, benih-benih cinta itu mulai tumbuh. Berkembang kian menjadi hingga aku harus dibenturkan antara dua pilihan. Memilih dia untuk masa depanku atau mempersiapkan masa depanku terlebih dahulu.
Kisah ini bermula saat babak tambahan waktu kian habis di masa sekolah. Kisah putih abu-abu SMA lah yang menjadi keganasan cintaku menjadi-jadi. Di satu sisi aku belum ada persiapan apapun untuk menyongsong masa lanjutan paska sekolah.
Di sisi lain, telah datang ke rumahnya laki-laki pemberani yang ingin melamarnya.
Sontak kaget tak karu-karuan aku mendengar kejadian itu, langsung darinya sendiri. Antara melihat cinta dan belum siapnya kehidupanku. Bagaimana tidak, ia dengan keterusterangannya bilang padaku lebih memilih aku daripada laki-laki yang baru saja melamar.
Waktu itu sore lepas pukul empat, aku masih ingat betul dan malam hari aku tak mampu memjamkan mata, jangankan tidur. Lepas dari kejadian itu, karena ketidakberanianku dan kecilnya nyali, aku menghilang dari kehidupannya. Aku pergi untuk waktu yang tak tentu.
** **
Tepatnya waktu libur UAS setelah semester 5 aku selesaikan. Dua tahun lebih aku menghilang darinya dan mencoba bertaruh nasib di dunia perkuliahan, ingin mondok juga tak memungkinkan.
Waktu itu pesan WA masuk dari teman sekelasku yang kebetulan juga teman sekelas Janan waktu SMA. Lagi-lagi aku dibuat kaget karena dibalik pesan foto yang masuk ke WA-ku adalah foto undangan pernikahan Janan.
Dua jam lebih aku tak bergerak, hanya memandang foto di hape dan tak membalasnya. Setelah kupastikan aku sanggup menanggung kenyataan ini, aku bangun dan beranjak ke kamar mandi. Mengguyur badan payahku ini, bukan menangisi hanya saja mencoba percaya pada keadaan.
Tanggal perkawinannya tinggal dua hari. Lagi-lagi kupastikan diri kuat menerima dan sanggup datang memenuhi undangan. Aku ingat pada temanku yang bernasib tak jauh beda denganku.
Rumi, temanku yang senasib, tak berani memberi kepastian pada wanita pujaannya. Bedanya hanya wanitanya belum sampai pelaminan.
Waktu pernikahannya tiba. Malamnya aku beri kabar pada teman kelasku yang memberi undangan jika besok aku tak bisa datang, tanpa alasan. Mungkin ia sudah faham juga tentang aku.
Namun maksudku demikian hanya ingin memberi kesan saja, aku tak sanggup melihatnya duduk berbahagia di pelaminan dengan suaminya dan aku lebih memilih datang di waktu yang bukan tepat momen ijab qabul.
Maksud hati tak ingin datang namun tak enak pada bapak dan ibunya. Aku boleh berkonflik dengan mantanku. Itu wajar bagi seorang anak muda. Tapi aku akan tetap hormat dan takzim pada kedua orang tuanya. Bagiku, itu prinsip yang tak bisa ditawar.
Ijab qabul pun berjalan sukses. Aku tahu dari stori WA teman-temanku. Seketika itu aku hanya mampu mengucap hamdalah, Tuhan memberi nikmatnya pada hamba yang dikasihi. Aku sok senyum di kamar sendirian.
Setelah aku capek berpura-pura bahagia berbalut tangis. Aku keluar rumah dan berniat menjemput Rumi untuk ngopi. Biasa, kesibukanku sebagai pengangguran kelas berat ya ngopi.
Aku berangkat bersama Rumi dengan kondisi tubuh yang aku sadari memang sedang tidak begitu maksimal. Tepatnya sore hendak senja, aku ajak Rumi ke rumah Janan.
Maksudku hanya sebagai teman di jalan. Siapa tahu, terjadi hal di luar nalar, setidaknya aku ada teman. Setelah aku sampai di depan pesta pernikahannya, tepatnya adzan maghrib. Keadaan pesta sudah tidak seramai siang tadi tentunya.
Aku masuk sendiri karena rumi menolak kuajak masuk. Pada saat aku melangkah di depan tenda biru pernikahannya, Ibunya melihat kedatanganku. Aku dipapak dengan senyuman Ibunya.
Aku mendekat dan berjabat tangan dan mencium punggung tangannya. Kulakukan hal yang sama dengan bapaknya.
“Ya Allah anakku” dug, kata itu terlontar ibunya, saat aku bersalaman.
Ibunya sudah menganggap aku sebagai anaknya. Aku kaget bukan main. Aku hanya tersenyum dan melepaskan tangan.
“Maaf, Bu. Baru bisa datang”
“Tak pikir gak datang malah”
Kubalas hanya dengan senyuman lagi. Aku duduk berhadapan dengan Janan. Ia senyum-senyum sendiri. Aku tak banyak omong dan aku lebih memilih bermain dengan hape walau hanya buka dan kututup lagi.
“Selamat loh ya, sorry baru bisa datang”
“Iya gapapa, ayok di makan ini seadanya”
Aku sok cuek. Yang kutakuti hanya satu. Jangan sampai Ibu atau Janan tanya soal kapan nyusul keplaminan. Jangankan nyusul, calon aja belom ada, gumamku.
“Mana eh suamimu” tanyaku.
“Bentar, aku panggilin”
Setelah suaminya datang, kujabat ia dan langsung aku mohon pamit. Dengan alasan temanku masih di depan, takut gak enak nungguin, aku undur diri dengan perasan campur aduk. Sedikit lega dan rasa tak karu-karuan.
“Pak, Bu pamit dulu, masih ada urusan, ngapunten”
“Loh, kok buru-buru to, Nak?”
Aku hanya tersenyum dan bergegas meninggalkan tempat. Aku pulang dan senyum-senyum sendiri, tak jelas di jalan. Aku pernah berbohong pada diriku sendiri dan aku menyadarinya. Aku pernah salah dan akhirnya bersalah.
M. Abid Amrullah adalah aktivis dan mahasiswa yang pernah ditinggal kawin mantan, tapi tetap optimistis memandang masa depan.