Di sejumlah warung kopi, ada pemilik warung yang memandang sinis pengguna laptop. Meski, tentu saja, warung semacam itu biasanya berada di kawasan yang jarang ada WiFi.
Banyak orang bersepakat bahwa bisnis kopi belakangan tengah tumbuh dan berkembang pesat. Itu terjadi karena kopi telah menjelma sebagai gaya hidup yang harus ada.
Atau jika berlebihan, setidak-tidaknya, kopi bisa menjadi wahana pelipur lara seseorang. Perannya hampir mirip dengan smartphone dan kuota.
Mungkin karena itu pulalah, saat ini kopi kian digemari dan dikemas sedemikian rupa. Tujuannya, tentu saja, agar bisa memikat segala kalangan, apalagi generasi so called milenial.
Namun membahas hal itu rasanya agak kurang mantab jika tidak menyandingkannya dengan akses wifi. Dengan penambahan peramban itu, kita bisa dengan mudah menyaksikan bagaimana rupa-rupa pelanggan yang asyik berlama-lama di sebuah kedai kopi.
Ada bermacam-macam kebutuhan seseorang di kedai kopi. Ada yang melepas kepenatan, berjejaring dengan kawan, atau sekadar mencari akses internet via wifi.
Khusus yang terakhir, kita juga bisa membaginya pada beberapa segmen. Antara lain, sekadar berselancar di media sosial, bermain-main dengan bribikan, hingga segmen kalangan “hape miring” alias pengguna game online.
Istilah hape miring sendiri, disematkan karena pengguna game lebih sering memosisikan ponselnya secara landscape. Dengan tujuan, mudah memainkan game dengan layar penuh.
Nah, karena segala jenis pelanggan yang mainstream itu, yang kerap mengenakan ponsel, agaknya warung kopi terkesan sebagai ruang ekslusif bagi orang tertentu saja.
Ia hanya dipersonifikasi sebagai ruang bagi mereka yang bermain game atau media sosial. Sebelum didebat, oh tenang, yang saya maksud hanya “beberapa” kalangan di kedai kopi saja.
** **
Sejak 2013, saya telah memutuskan menetap di Surabaya. Tentu saja, selama itu pula saya kerap bercengkrama dari satu kedai kopi ke kedai kopi yang lain.
Nah yang membedakan dengan ketika saya di Kecamatan Sumberrejo, kawasan yang saya tinggali, kedai kopi di Surabaya tidak terlalu “mengerikan” dengan di sini. Untuk melengkapi konteksnya agar lebih lengkap: mengerikan yang saya maksud adalah seputar izin menggunakan laptop.
Sejak seorang kawan bilang bahwa di sini orang menggunakan laptop diperlakukan “sinis”, saya jadi agak kepikiran. Kata kawan tersebut, pengguna laptop dipandang berbeda sebab bisa mengganggu koneksi wifi. Dan jika itu terjadi, para jamaah gamers akan terganggu pula.
Karena itu, dalam upaya mencari kedai kopi yang ramah laptop, tak jarang saya mencari suaka ke kawasan Kota. Di sana, seorang kawan dapat memberikan rekomendasi beberapa tempat yang menyediakan fasilitas mewah tersebut.
Namun, ada harga yang perlu saya tebus untuk bisa kesana. Misalnya saja, jarak, waktu, dan energi. Di kawasan Kota, jika ditempuh dari tempat saya tinggal, bisa diposisikan serupa dengan makan mie pangsit di tiga tempat berbeda. Itu ditambah dengan basa-basi tak perlu selama sepuluh menit.
Imbasnya, memang banyak, tapi saya kira itu jauh lebih baik ketimbang menambah “musuh” baru di kedai kopi yang ada di kecamatan tempat saya tinggal.
Bayangkan saja, pernah saya di suatu malam, ngopi di salah satu warung kopi. Di sana tersedia banyak sekali pelanggan, yang umumnya adalah remaja dengan game bertuliskan PlayerUnknown’s Battlegrounds (PUBG) di genggaman.
Nah, ketika saya menyalakan laptop untuk mengetik sesuatu, puluhan mata itu berkesiap memandangi saya cukup lama. Rasanya seperti seekor kijang yang hendak diterjang macan rembah.
Itu adalah kondisi yang tak nyaman, meskipun sang pemilik warkop berkali-kali senyum dengan usaha yang ramah, yang saya tahu itu hanya sebatas “abang-abang lambe”.
Di lain waktu, saya di kedai kopi lainnya. Saya duduk dan memesan sesuatu dan pemilik kedai terlihat begitu bersahabat. Lantas, baru sepersekian menit saya duduk dan membuka tas untuk mengambil laptop, pemilik kedai telah berubah muka seperti seorang Guru BK.
Dan bertambah sial waktu dia menunjukan pengumuman di dinding yang tak saya lihat sebelumnya, “DILARANG MEMBAWA LAPTOP”. Iya, dengan capslok yang menyesakkan dada.
Astaga, rasanya seperti tak sengaja menginjak bom ranjau di camp tahanan tentara. Mampus setengah mati.
Dan jika sudah begitu, tak ada cara lain yang bisa dilakukan selain buru-buru menyesap kopi dan beranjak pergi. Tentu setelahnya saya tak akan kembali lagi dan memilih mencari suaka di kawasan Kota.
Barangkali di sana jiwa dan psikis saya tentram dan mudah bagi saya untuk menulis di Jurnaba.