Hikayat dan nasehat kaum terpilih (salafusholih), merupakan wasilah edukasi yang amat penting bagi masyarakat yang kini hidup di era disrupsi. Salafushologi, begitu kami kerap menyebutnya.
Bagi mereka yang pernah mondok atau nyantri, kisah para salaf tentu bukan perkara asing. Bahkan, kerap jadi pemicu para santri untuk seksama mengikuti pelajaran. Sebab di tiap kisahnya, selalu ada tauladan menarik yang tak melulu menggurui.
Salaf di sini, bukan gerakan salafi wahabi atau ideologi tekstual kaku yang memotivasi orang untuk naik kuda, main panah-panahan, dan hobi ngelus-ngelus jenggot lho ya. Bukan.
Ini penting diutarakan lebih awal agar tak salah paham. Salafusholih merupakan para kekasih Allah yang pro sholawatan, pro mauludan, memperingati haul dan, tentu saja, mempelajari kitab-kitab klasik tasawuf.
Sekali lagi, ini penting saya utarakan agar istilah “salaf” tak dicuri gerakan radikal. Istilah salaf harus dikembalikan pada tempatnya. Dikembalikan pada marwah dan identitas ramah yang bil hikmah wal mauidzah hasanah (dengan hikmah dan pelajaran yang baik).
Salafushalih, dalam tarikh Islam, dikenal sebagai generasi terbaik yang pernah lahir di muka bumi pasca wafatnya Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Para ulama membaginya menjadi tiga golongan: sahabat nabi, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
Setelah tiga generasi utama itu, estafetnya dilanjut generasi penerus yang kelak kita kenal sebagai para ulama Ahlussunah wal Jamaah, yang bisa ditandai dengan prinsip dan metode dakwah: bil hikmah wal mauidzah hasanah.
Ulama Ahlussunah wal Jamaah, merupakan ulama berpegang tradisi. Sehingga mereka yang tekstual dan suka ngajak berkuda dan main panah-panahan, tentu bukan pada kategori ini.
Hikayat para Salafusholih merupakan mutiara yang amat lama terlupakan oleh ranah pendidikan modern. Padahal, selain jumlah kisahnya melebihi jumlah provinsi yang ada di Indonesia, dari sosok mereka, banyak tauladan positif yang bisa diunduh para pembelajar hari ini.
Kisah dan hikayat para Salafusholih, merupakan wasilah pembelajaran yang sangat penting bagi anak-anak sekolah. Selain memberi tauladan moral di tengah kemerosotan zaman, mempelajari kehidupan Salafussholih juga melatih pelajar untuk “aktif” jadi pendengar dan pembaca yang baik.
Kita tahu, era digital membuat banyak anak sulit jadi pendengar dan pembaca (keadaan) yang baik. Sebab, semua hal kerap dilandaskan pada prinsip kompetisi dan persaingan kapitalistik, sampai lupa pada konsep dedikasi dan pengorbanan.
Salafushologi dalam bingkai pendidikan kontemporer
Sebagai generasi yang lahir dan tumbuh dengan konsep hidup tradisionalis kontemporer (berpegang tradisi tapi peka pada perubahan zaman), saya percaya jika tauladan para Salafusholih menjadi pelajaran penting bagi masyarakat digital di era kontemporer (saat ini).
Salafushologi merupakan disiplin ilmu yang didapat dari intisari hikayat dan kisah para Salafusholih. Pengimplementasian salafushologi ke dalam medium belajar era saat ini, sangat membantu memecahkan berbagai macam masalah di era globalisasi kini.
Alasannya sangat sederhana, modernitas dan kemajuan zaman memicu lahirnya generasi yang amat rajin berkompetisi dan memuja persaingan. Sementara hikayat para Salafusholih mengajarkan kita untuk rajin berdedikasi dan berani berkorban.
Karena itu, sudah waktunya kita membingkai kisah-kisah klasik para Salafusholih (dan para waliyullah di generasi setelahnya itu), ke dalam berbagai medium pembelajaran modern berbasis story telling.
Salafushologi ibarat rem penyeimbang di tengah ketergesa-gesaan psikologis masyarakat era digital. Salafushologi juga bisa dimaknai sebagai oli mesin bagi piranti mesin kemanusiaan yang kerap saling bergesekan.
Kami sangat meyakini jika Salafushologi amat penting bagi perkembangan psikologis para pelajar di era disrupsi (perubahan besar-besaran) ini. Sehingga generasi mendatang tak hanya suka berkompetisi, tapi juga ahli berdedikasi.