Perjuangan Persibo Bojonegoro dalam Liga 3 Zona Jawa Timur 2021 punya pelajaran amat berharga. Terutama tentang ketidakadilan.
Perjuangan Persibo Bojonegoro dalam perjuangan di Liga 3 Zona Jawa Timur pada Desember 2021 lalu harus terhenti. Kendatipun Persibo Bojonegoro meraih kemenangan 1-0 atas Mitra Surabaya, namun terdapat insiden sehingga Persibo Bojonegoro mendapatkan sanksi berupa kalah 0-3 saat melawan Mitra Surabaya.
Nabs, insiden tersebut yaitu adanya pemain Persibo Bojonegoro yang menggunakan nomor punggung tidak sesuai dengan yang didaftarkan.
Dalam daftar susunan pemain yang diserahkan, pemain bernama Ichsanul Amal Zardan Aroby seharusnya menggunakan nomor punggung 16.
Namun, pada babak kedua, Ichsanul Amal Zardan Aroby mengenakan nomor punggung 26. Sementara itu, Muhammad Amar Fadzillah yang seharusnya menggunakan nomor punggung 26, pada babak kedua memakai nomor punggung 16.
Berkaitan dengan insiden tersebut, Komite disiplin (Komdis) PSSI Jawa Timur (Jatim) berdasarkan Surat Keputusan Nomor : 003/KOMDIS/PSSI-JTM-X1-2021 telah menegaskan bahwa Persibo Bojonegoro telah bersalah, serta telah terkualifikasi memainkan pemain tidak sah sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 56 kode disiplin PSSI.
Selain itu, Surat Keputusan a quo juga menghukum Persibo Bojonegoro dengan sanksi dinyatakan kalah 0-3 melawan Mitra Surabaya pada tanggal 2 Desember 2021, di Stadion Gelora Joko Samudro Gresik, sesuai dengan Pasal 28 Kode Disiplin PSSI dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah).
Lebih lanjut, pihak Persibo Bojonegoro melakukan upaya hukum banding terkait dengan Surat Keputusan Nomor: 003/KOMDIS/PSSI-JTM-X1-2021.
Hasil dari sidang banding tersebut,dituangkan dalam Putusan Komite Banding Nomor: 01/Komding/PSSI-Jatim/XII/2021 yang menguatkan putusan Komisi Disiplin Asprov PSSI Jawa Timur bahwa Persibo Bojonegoro terkualifikasi secara sah dan meyakinkan dalam penggunaan pemain tidak sah.
Dengan demikian, Persibo Bojonegoro tetap dinyatakan kalah 0-3 melawan Mitra Surabaya, namun dengan jumlah denda yang lebih rendah yaitu sebesar 20 Juta Rupiah yang nota bene denda ini lebih ringan dibanding putusan Komdis Asprov PSSI Jatim yang menjatuhkan denda sebesar 50 Juta Rupiah kepada Persibo Bojonegoro.
Tak berhenti di situ, pihak Persibo Bojonegoro juga melakukan upaya hukum berupa peninjauan kembali (PK) kepada Badan Yudisial PSSI Jatim. Meski begitu, hasil peninjauan kembali (PK) menegaskan bahwa upaya PK Persibo Bojonegoro ditolak.
Hal ini dikarenakan pada Pasal 140 angka 4 Kode Disiplin PSSI yang berbunyi “Putusan yang dapat dilakukan peninjauan kembali adalah keputusan Komite Banding PSSI yang memberikan sanksi kepada perseorangan dengan sanksi larangan ikut serta dalam aktivitas sepakbola dan sanksi degradasi”.
Berkaitan dengan putusan Badan Yudisial PSSI Jatim tersebut, maka secara argumentum a contrario upaya hukum peninjauan kembali (PK) selain dari aspek “sanksi kepada perseorangan dengan sanksi larangan ikut serta dalam aktivitas sepakbola dan sanksi degradasi” harus ditolak.
Hal ini menegaskan upaya hukum peninjauan kembali (PK) yang dilakukan oleh Persibo Bojonegoro hanya didasarkan atas fakta/bukti baru (novum) haruslah ditolak sehingga Putusan Komite Banding Nomor: 01/Komding/PSSI-Jatim/XII/2021 tetap berlaku sehingga Persibo Bojonegoro mendapatkan sanksi dinyatakan kalah 0-3 melawan Mitra Surabaya serta denda sebesar 20 Juta Rupiah.
Meski kasus tersebut telah selesai dan berlalu, namun penulis menilai bahwa sebagai kajian kritik hukum yang komprehensif, sejatinya tidak ada kata terlambat dalam kritik yang membangun.
Hal ini juga didasarkan pada pepatah yang menyatakan bahwa, “Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali”. Oleh karena itu, penulis berupaya memberikan kritik komprehensif berkaitan dengan aspek hukum keolahragaan terutama proses hukum yang terjadi dalam kasus sanksi Persibo Bojonegoro dalam perhelatan Liga 3 Zona Jawa Timur Tahun 2021.
Telaah Kritis Sanksi Persibo
Motif utama tulisan ini adalah banyaknya narasi serta argumentasi terkait sanksi Persibo yang hanya didasarkan pada sanksi yang dialami tim sepakbola lain.
Tak bisa dipungkiri, masyarakat kita masih banyak memegang logika bahwa, “Jika ada orang mencuri yang tidak tertangkap, maka mencuri itu dibenarkan, termasuk jika saya ketahuan mencuri, saya harus dibebaskan dan dianggap tidak bersalah”.
Tentu, tidak semua menganut logika seperti itu, tetapi mayoritas masyarakat kita masih saja menganggap bahwa logika tersebut adalah logika yang tepat, terutama dalam penegakan hukum.
Memang harus diakui, dalam proses penegakan hukum (dalam bidang apapun) juga terdapat permasalahan seperti diskriminasi, disparitas perlakuan, serta berbagai permasalahan lainnya.
Meski demikian, adanya problem dalam penegakan hukum tentu tidaklah kemudian “menghalalkan apa yang haram” atau pun “memaklumkan apa yang tidak maklum”.
Narasi terkait sanksi Persibo banyak diutarakan berbagai media dengan fokus membandingkan sanksi yang diterima klub lain dan bahkan di tingkat kompetisi yang berbeda.
Padahal, sebagai keputusan hukum tentu sanksi terhadap Persibo harus dianalisis serta dikritisi dalam aspek ilmu hukum.
Dalam ilmu hukum, terdapat asas hukum yang menyatakan bahwa, “Nit agit exemplum litem quo lite resolvit” yang berarti bahwa menyelesaikan suatu perkara dengan mengambil contoh perkara lain sama halnya dengan tidak menyelesaikan perkara tersebut.
Lebih lanjut, terdapat juga asas hukum yang menyatakan bahwa, “Judicandum est legibus non exemplis” yang berarti suatu putusan hukum harus dibuat berdasarkan hukum, bukan berdasarkan contoh.
Kedua asas hukum tersebut diperkuat oleh adagium hukum yang menyatakan bahwa, “Citationes non concedantur priusquam exprimatur super qua re fieri debet citation”, yang berarti bahwa penggunaan yurisprudensi (suatu putusan hukum dalam perkara lain) tidak akan diterima sebelum dijelaskan hubungan antara perkara dengan yurisprudensi tersebut.
Terkait dengan penggunaan adagium hukum dalam suatu permasalahan hukum, tentu terdapat suatu postulat hukum yang menerangkan bahwa, “Regula pro lege, si deficit lex” yang artinya: ketika hukum tidak sempurna, maka pepatah (adagium dan postulat) hukum dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan hukum.
Terkait dengan asas, adagium, dan postulat hukum di atas, sejatinya menegaskan bahwa suatu putusan hukum haruslah dianalisis berdasarkan hukum dan tidak “secara langsung” dibandingkan dengan putusan atau kasus yang lain.
Membandingkan suatu kasus atau putusan yang lain tentu diperbolehkan dalam hukum, namun perlu dijelaskan hubungan antara suatu kasus dengan kasus atau putusan lainnya.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa dalam suatu permasalahan hukum maka perlu ada analisis hukum terlebih dahulu. Hal inilah yang penulis belum lihat dari berbagai media yang menyoroti terkait sanksi Persibo.
Sanksi Persibo yang didasarkan atas Surat Keputusan Nomor: 003/KOMDIS/PSSI-JTM-X1-2021 yang kemudian diperkuat dengan Putusan Komite Banding Nomor: 01/Komding/PSSI-Jatim/XII/2021 seyogianya merupakan putusan hukum yang wajib menggunakan logika dan penalaran hukum.
Hal ini dibuktikan dengan Pasal 21 ayat (5) Statuta PSSI Tahun 2018 juncto Pasal 76 Kode Disiplin PSSI Tahun 2018 yang menyatakan bahwa, “Badan yudisial PSSI terdiri dari Komite Disiplin, Komite Etik dan Komite Banding”.
Dengan demikian, sanksi Persibo yang didasarkan pada Surat Keputusan Nomor: 003/KOMDIS/PSSI-JTM-X1-2021 yang kemudian diperkuat dengan Putusan Komite Banding Nomor: 01/Komding/PSSI-Jatim/XII/2021 sebagai produk dari Komite Disiplin dan Komite Banding PSSI Jawa Timur merupakan produk hukum yang juga wajib menggunakan asas serta logika hukum.
Putusan badan yudisial PSSI yang merupakan produk hukum seyogianya diamini oleh Pasal 59 ayat (3) Statuta PSSI Tahun 2018 yang menegaskan bahwa, “Anggota-anggota dari tiap badan yudisial harus memiliki pengetahuan, kemampuan, spesialisasi dan pengalaman yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas mereka. Ketua dan wakil ketua tiap badan yudisial harus memiliki kualifikasi untuk berpraktek di bidang hukum. Masa jabatannya adalah 4 (empat) tahun.
Anggota dapat dipilih kembali atau dibebastugaskan dari kewajibannya melalui Kongres”. Hal ini terutama diperkuat pada kalimat yang menegaskan bahwa, “Ketua dan wakil ketua tiap badan yudisial harus memiliki kualifikasi untuk berpraktek di bidang hukum”. Secara interpretasi teleologis (fungsional), ketentuan yang menegaskan bahwa Ketua dan wakil ketua tiap badan yudisial diharuskan memiliki kualifikasi untuk berpraktek di bidang hukum menegaskan bahwa setiap putusan tiap badan yudisial merupakan putusan hukum yang harus menggunakan logika serta tunduk pada asas-asas hukum.
Dengan demikian, penggunaan logika hukum serta upaya untuk melakukan penemuan hukum (rechtsfinding) juga dimungkinkan oleh setiap badan yudisial PSSI.
Meski secara umum, putusan tiap badan yudisial PSSI harus tunduk pada logika hukum, namun ada beberapa aspek yang mana badan Yudisial PSSI memiliki kedudukan yang bersifat khusus sehingga tidak sepenuhnya tunduk pada logika, teori, serta asas hukum yang bersifat umum.
Menurut penulis, terdapat empat asas pokok dalam hukum keolahragaan yang menunjukkan identitas serta kemandirian (otonomi) bidang olahraga dibandingkan dengan bidang lainnya.
Asas pertama yaitu asas lex sportiva. Menurut Leonardo V. P. de Oliveira (2017) dalam artikel jurnalnya yang berjudul “Lex sportiva as the contractual governing law” menegaskan bahwa esensi dari asas lex sportiva, yaitu “…..match decisions are unchallengeable, sporting integrity is maintained….”.
Dengan demikian, lex sportiva merupakan suatu asas hukum dalam dunia olahraga yang menegaskan bahwa olahraga memiliki otonomi hukum sendiri yang bersifat mandiri dalam setiap penyelesaian perkara yang terjadi dalam olahraga.
Asas yang kedua yaitu asas lex ludica. Menurut Ken Foster (2005) dalam artikel jurnalnya yang berjudul “Lex Sportiva and Lex Ludica: the Court Of Arbitration for Sport’s Jurisprudence”, asas lex ludica dipertegas sebagai, “…Sports law has developed and consolidated along the years, particularly through the arbitration settlement of disputes, a set of unwritten legal principles -a sort of lex mercatoria for sports or, so to speak, a lex ludica to which national and international sports federations must conform, regardless of the presence of such principles within their own statutes and regulations or within any applicable national law”.
Dengan demikian, maka asas lex ludica berfokus pada aspek penghormatan hukum internasional maupun hukum nasional atas peraturan-peraturan dalam hukum keolahragaan.
Hal ini termasuk juga upaya harmonisasi antara hukum internasional maupun hukum nasional dengan peraturan-peraturan hukum keolahragaan.
Asas yang ketiga adalah asas lex mercatoria. Menurut L. I. Zakharova (2019) dalam artikel jurnalnya yang berjudul “Lex Mercatoria and Lex Sportiva: Peculiarities, Similarities And Differences” menegaskan bahwa asas lex mercatoria dalam hukum keolahragaan berorientasi pada penghormatan atas kebiasaan-kebiasaan keolahragaan termasuk adanya lembaga khusus yang menangani sengketa keolahragaan.
Asas keempat yaitu fairness principle (asas kepatutan dalam Hukum Keolahragaan) yang sejatinya merupakan bagian khusus dari asas lex sportiva.
Dalam sepakbola, fairness principle tercermin dalam moto olahraga sepakbola yaitu “My Game is Fair Play”.
Makna fairness principle dalam hal ini adalah adalah upaya mengoptimalkan kepatutan, kesusilaan, serta kemanusiaan dalam segala aspek persepakbolaan. Hal ini menunjukkan bahwa fairness principle tidak hanya berlaku dalam pertandingan sepakbola, tetapi juga berlaku di luar dan di dalam pertandingan termasuk manajemen klub sepakbola, penggajian pemain, kesejahteraan pemain serta staff , dan berbagai aspek lainnya baik di dalam maupun di luar sepakbola.
Dengan demikian, maka dalam sepakbola putusan hukum dari Badan Yudisial PSSI harus didasarkan atas logika, konsep, teori, serta asas hukum selama hal tersebut sesuai dengan empat asas pokok hukum keolahragaan di atas.
Terkait dengan sanksi yang diterima Persibo, pertama, yang perlu dianalisis adalah Surat Keputusan Nomor: 003/KOMDIS/PSSI-JTM-X1-2021 yang dikeluarkan oleh Komisi Disiplin PSSI Jawa Timur.
Dari surat keputusan a quo Persibo Bojonegoro dinyatakan telah bersalah karena telah terkualifikasi memainkan pemain tidak sah.
Hal ini dikarenakan menggunakan identitas yang tidak sesuai dengan nomor punggung yang didaftarkan kepada Asprov PSSI Jawa Timur dan tidak sesuai dengan daftar susunan pemain (DSP), sebagaimana dimaksud pasal 56 Kode Disiplin PSSI serta dijatuhi denda sebesar Rp. 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah) dan dinyatakan kalah 0-3 pada pertandingan melawan Mitra Surabaya tanggal 2 Desember 2021.
Terkait hal tersebut, perlu dijawab dua permasalahan hukum yaitu, pertama, apakah sesuai fakta hukum pemain Persibo terkualifikasi sebagai pemain tidak sah?, dan kedua, apakah tepat sanksi denda Lima Puluh Juta Rupiah) dan dinyatakan kalah 0-3 pada pertandingan melawan Mitra Surabaya?.
Untuk menjawab permasalahan hukum pertama, perlu dilihat ketentuan Pasal 56 Kode Disiplin PSSI Tahun 2018. Ketentuan Pasal 56 Kode Disiplin PSSI Tahun 2018 sejatinya menegaskan adanya tujuh kategori pemain tidak sah.
Berdasarkan fakta yang dilansir dari berbagai media, kesalahan jersey pemain Persibo memang terjadi pada babak kedua yaitu ketika Ichsanul Amal Zardan dan Muhammad Amar salah menggunakan nomor punggung dan nomor celana kedua pemain.
Ichsanul mengenakan jersey nomor 26, tapi celananya nomor 16, sedangkan nomor jersey Amar 16 dan celananya 26. Pada intinya, antara Ichsanul dan Amar terdapat ketidaksesuaian antara nomor jersey dan celana. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh CEO Persibo Bojonegoro Abdullah Umar bahwa di sela-sela babak kedua, official Persibo menyadari ada jersey tertukar dan segera melapor ke perangkat pertandingan di pinggir lapangan.
Akan tetapi, perangkat pertandingan justru mengatakan tidak masalah, dan kalau mau mengganti cari yang bukan 2 pemain itu (Ichsanul dan Amar).
Menurut hemat penulis, Persibo sejatinya telah memenuhi kualifikasi menggunakan “pemain tidak sah” dan memenuhi kualifikasi Pasal 56 angka 1 ayat (i) Kode Disiplin PSSI Tahun 2018 yang menyatakan bahwa, “Pemain yang dimainkan oleh suatu kesebelasan yang belum memperoleh pengesahan dari PSSI dan/atau sesuai dengan ketentuan pada regulasi kompetisi terkait yang telah disetujui oleh PSSI”.
Jika “diperhalus” dalam konteks Persibo, Pasal a quo menegaskan bahwa, “Pemain yang dimainkan oleh suatu kesebelasan yang tidak sesuai dengan ketentuan pada regulasi kompetisi terkait yang telah disetujui oleh PSSI”.
Dengan demikian, penulis setuju bahwa Persibo bersalah dan terkualifikasi menggunakan “pemain tidak sah”.
Meski begitu, penulis juga memberikan kritik atas redaksi dalam Pasal 56 Kode Disiplin PSSI Tahun 2018 yang menggunakan kata hubung “dan” dalam kualifikasi “pemain tidak sah”. Kata hubung “dan” dalam hukum menunjukkan sifat kumulatif yang artinya untuk disebut sebagai “pemain tidak sah” harus memenuhi semua kualifikasi dalam Pasal 56 angka 1 Kode Disiplin PSSI Tahun 2018.
Padahal, secara teleologis, Pasal 56 angka 1 ingin menegaskan bahwa kualifikasi “pemain tidak sah” sebagaimana tercantum dalam Pasal 56 angka 1 Kode Disiplin PSSI Tahun 2018 cukup memenuhi satu kualifikasi saja. Oleh karena itu, ke depan perlu adanya revisi atas Pasal 56 angka 1 Kode Disiplin PSSI Tahun 2018 dengan kata hubung “dan/atau” yang bersifat kumulatif-alternatif.
Selanjutnya, terkait sanksi sebagaimana dalam Surat Keputusan a quo dengan mengacu pada Pasal 56 angka 2 Kode Disiplin PSSI Tahun 2018 yang berbunyi, “Apabila seorang pemain yang tidak sah (selain daripada ayat 1 butir (ii) diatas) terdaftar dalam daftar susunan pemain di pertandingan resmi, maka timnya akan dijatuhi sanksi dinyatakan kalah dengan pemotongan poin (forfeit) pada pertandingan tersebut sesuai dengan Pasal 28 Kode Disiplin PSSI ini dan denda minimal Rp.90.000.000,- (sembilan puluh juta rupiah)”.
Mengacu pada pasal Pasal 56 angka 2 Kode Disiplin PSSI Tahun 2018, maka sanksi yang dijatuhkan haruslah bersifat kumulatif yaitu sebagaimana Pasal 56 angka 2 dan Pasal 28 yaitu berupa kalah 3-0 dan denda minimal sembilan puluh juta rupiah.
Selain itu, sanksi atas Persibo harus diselesaikan berdasarkan Pasal 28 Kode Disiplin PSSI sebagai lex specialis article dan denda minimal sembilan puluh juta rupiah. Pasal 28 angka 1 Kode Disiplin PSSI menegaskan bahwa, “Berdasarkan sanksi ini, tim yang dikenakan sanksi dinyatakan kalah 0-3 pada suatu pertandingan”.
Dengan demikian, sanksi bagi tim yang memenuhi kualifikasi pemain tidak sah sebgaimana Pasal 56 angka 1 Kode Disiplin PSSI Tahun 2018 adalah sanksi kumulatif berupa kalah 3-0 dan denda minimal sembilan puluh juta rupiah sebagaimana Pasal 56 angka 2 juncto Pasal Kode Disiplin PSSI Tahun 2018.
Terkait dengan sanksi Persibo dalam Surat Keputusan a quo, maka Persibo mendapatkan sanksi kalah 3-0 dan denda sebesar lima puluh juta rupiah.
Ketentuan denda menjadi janggal, padahal dalam Pasal 56 angka 2 Kode Disiplin PSSI Tahun 2018 menegaskan bahwa minimal denda adalah sembilan puluh juta rupiah.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa Komisi Disiplin justru melanggar Pasal 56 angka 2 Kode Disiplin PSSI Tahun 2018 yang memberikan denda yang lebih rendah. Padahal secara expressive verbis Pasal 56 angka 2 Kode Disiplin PSSI Tahun 2018 yang menjelaskan denda minimal sembilan puluh juta rupiah. Konsekuensi hukumnya, tidak diperbolehkan adanya denda di bawah sembilan puluh juta rupiah.
Penulis berasumsi bahwa Komisi Disiplin PSSI Jawa Timur berupaya untuk melakukan rechtsfinding atau penemuan hukum dalam kasus Persibo.
Ijtihad yang dilakukan oleh Komisi Disiplin PSSI Jawa Timur adalah berupa memberikan penafsiran atas Pasal 56 angka 2 Kode Disiplin PSSI Tahun 2018 yang berupaya menegaskan sifat kumulatif sanksi yaitu sanksi denda dan sanksi kalah 3-0 tetapi di sisi lain justru mengingkari sanksi yang justru dalam putusannya diringankan dari minimal sembilan puluh juta rupiah menjadi lima puluh juta rupiah.
Menurut hemat penulis, Surat Keputusan Komisi Disiplin dengan logika hukum seperti di atas adalah cacat hukum dan berpotensi inkoheren ketika dijadikan referensi putusan atau jurisprudensi.
Menurut hemat penulis, logika yang tepat dalam melakukan rechtsfinding atau penemuan hukum dalam kasus Persibo adalah Komisi Disiplin melakukan penghalusan hukum (rechtsverfijning) terhadap Pasal 56 angka 2 Kode Disiplin PSSI Tahun 2018 dengan mengubah sifat sanksi yang bersifat kumulatif menjadi bersifat kumulatif-alternatif dengan kata hubung “dan/atau” serta dengan menegaskan batas minimal sanksi sebesar sembilan puluh juta rupiah menjadi tidak dapat disimpangi.
Dengan demikian, seyogianya Komisi Disiplin PSSI Jawa Timur memberikan sanksi ke Persibo dengan sanksi denda saja (paling sedikit sembilan puluh juta) tanpa adanya sanksi kalah 3-0. Hal ini dapat dilihat sebagai bentuk ketidaksengajaan Persibo yang pemainnya tertukar antara nomor punggung jersey dan celana. Oleh karena itu, penulis mempertegas bahwa Persibo memang terkualifikasi menggunakan “pemain tidak sah”, namun tidak tepat jika mendapatkan sanksi kalah 3-0 dan denda sekaligus, tetapi sanksi secara rechtsverfijning harus diperhalus dengan bersifat kumulatif-alternatif, sehingga dalam kasus Persibo cukup mendapatkan sanksi denda minimal denda sebesar sembilan puluh juta rupiah tanpa adanya sanksi kalah 3-0.
Kedua, terkait upaya hukum banding yang dilakukan Persibo dengan hasil berupa Putusan Komite Banding Nomor: 01/Komding/PSSI-Jatim/XII/2021 dengan putusannya yaitu memperkuat putusan Komisi Disiplin PSSI Jatim bahwa Persibo telah terkualifikasi memainkan “pemain tidak sah” dan dinyatakan kalah 3-0 dan denda yang lebih ringan dari denda sebelumnya, yaitu sebesar dua puluh juta rupiah. Menurut hemat penulis, logika hukum dari putusan Komite Banding adalah sama dengan logika putusan Komisi Disiplin PSSI Jatim yaitu berupaya menegaskan sifat kumulatif sanksi yaitu sanksi denda dan sanksi kalah 3-0 tetapi di sisi lain justru mengingkari sanksi yang justru dalam putusannya diringankan dari minimal sembilan puluh juta rupiah menjadi dua puluh juta rupiah.
Sebagaimana kritikan penulis dalam putusan Komisi Disiplin PSSI Jatim, kritik penulis dalam Putusan Komite Banding PSSI Jatim juga mutatis mutandis dengan kritikan atas putusan sebelumnya. Seyogianya, Putusan Komite Banding PSSI Jatim melakukan penghalusan hukum (rechtsverfijning) terhadap Pasal 56 angka 2 Kode Disiplin PSSI Tahun 2018 dengan mengubah sifat sanksi yang bersifat kumulatif menjadi bersifat kumulatif-alternatif dengan kata hubung “dan/atau” serta dengan menegaskan batas minimal sanksi sebesar sembilan puluh juta rupiah menjadi tidak dapat disimpangi.
Dengan demikian, seharusnya Putusan Komite Banding PSSI Jatim merevisi putusan Komisi Disiplin PSSI Jatim dengan hanya memberikan sanksi denda ke Persibo minimal sembilan puluh juta rupiah dan tanpa adanya denda kalah 3-0.
Selanjutnya adalah terkait dengan upaya hukum Pengujian Kembali (PK) yang dilakukan oleh Persibo dan ditolak oleh Badan Yudisial PSSI Jatim.
Mengenai hal ini, penulis setuju dengan putusan Badan Yudisial PSSI Jatim yang menolak upaya hukum Pengujian Kembali (PK) yang dilakukan oleh Persibo meskipun tidak menyetujui penggunaan istilah “ditolak” dan lebih menganjurkan digunakannya istilah “tidak dapat diterima” (Niet Onvankelijke Verklaard/NO).
Ditolak dalam hukum berarti suatu gugatan itu telah memenuhi syarat formil tetapi secara materil tidak memiliki urgensi untuk dikabulkan.
Hal ini berbeda dengan putusan “tidak dapat diterima” (Niet Onvankelijke Verklaard/NO) yang berarti gugatan itu tidak sesuai dengan aspek formil dan belum dilihat substansi materilnya.
Menurut penulis, sebagai Badan Yudisial PSSI Jatim, ke depan istilah resmi hukum mulai digunakan dalam praktik hukum di lingkup PSSI, termasuk istilah gugatan diterima, ditolak, serta tidak dapat diterima.
Selanjutnya, terkait dengan persetujuan penulis atas putusan Badan Yudisial PSSI Jatim yaitu bahwa berdasarkan Pasal 140 angka 1 juncto angka 4 Kode Disiplin PSSI Tahun 2018 yang menegaskan bahwa Pengujian Kembali hanya dapat dilakukan dengan syarat: (i) fakta atau bukti baru yang dapat membantu pembuatan keputusan lain yang baru dapat diperoleh pada waktu tersebut, dan (ii) peninjauan kembali hanya dapat dilakukan apabila keputusan Komite Banding PSSI yang memberikan sanksi kepada perseorangan dengan sanksi larangan ikut serta dalam aktivitas sepak bola dan sanksi degradasi.
Mengacu pada syarat pengujian kembali, sebagaimana dalam Pasal 140 angka 1 juncto angka 4 Kode Disiplin PSSI Tahun 2018 di atas, maka sanksi terhadap Persibo tidak memenuhi syarat ke-ii yaitu: sanksi kepada perseorangan dengan sanksi larangan ikut serta dalam aktivitas sepak bola dan sanksi degradasi.
Nabs, dalam hal ini, Persibo mendapatkan sanksi kalah 3-0 dan denda sehingga tidak terkualifikasi sebagai syarat ke-ii.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis sejatinya tidak setuju dengan Surat Keputusan Nomor: 003/KOMDIS/PSSI-JTM-X1-2021 dan Putusan Komite Banding Nomor: 01/Komding/PSSI-Jatim/XII/2021 dengan memberikan sanksi kumulatif berupa denda dan kalah 3-0 kepada Persibo.
Menurut hemat penulis, seyogianya Komite Banding PSSI Jatim merevisi Putusan Komisi Disiplin PSSI Jatim dengan melakukan rechtsverfijning atau penghalusan hukum dengan mempertegas bersifat kumulatif-alternatif, sehingga dalam kasus Persibo cukup mendapatkan sanksi denda minimal denda sebesar sembilan puluh juta rupiah tanpa adanya sanksi kalah 3-0, dengan demikian, seyogianya Persibo masih dapat lolos dalam perhelatan Liga 3 Zona Jawa Timur tahun 2022.
Selain itu, penulis juga setuju dengan putusan Badan Yudisial PSSI Jatim yang menolak Pengujian Kembali (PK) Persibo tetapi seyogianya dengan menggunakan istilah yang sesuai yaitu PK Persibo “tidak dapat diterima” karena dalam hukum, “tidak dapat diterima” berbeda dengan “ditolak”.
Oleh karena itu, ke depan dalam Badan Yudisial PSSI perlu ada rekrutmen khusus kepada Ketua dan Wakil Ketua yang harus memiliki pendidikan dasar hukum (Sarjana Hukum) khususnya di bidang hukum keoolahragaan serta memiliki pengalaman baik akademik maupun praktik di bidang hukum keolahragaan.
Selain itu, perlu adanya pelatihan, pengkajian, serta anotasi atas putusan Badan Yudisial PSSI yang dapat bekerja sama dengan masyarakat serta akademisi hukum terutama bidang hukum keolahragaan.
Bagi Persibo, pengalaman kegagalan Liga 3 Zona Jawa Timur dengan sanksi kalah 3-0 dan denda tentu menjadi pembelajaran ke depan bahwa selain upaya menata teknis tim juga perlu dukungan aspek manajerial Persibo serta juga dengan mengoptimalkan staf ahli di bidang hukum keolahragaan dalam kepengurusan Persibo.
Masa Depan Hukum Keolahragaan
Kasus Persibo di atas sejatinya dapat menjadi pembelajaran bagi pengembangan hukum keolahragaan ke depan. Hukum keolahragaan harus menjadi fokus serta disiplin yang perlu dikembangkan di Indonesia mengingat sepakbola menjadi olahraga yang paling digemari di Indonesia.
Upaya untuk menata hukum keolahragaan di Indonesia sejatinya mendapatkan political will dari pemerintah dan DPR mengingat dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2022 measukkan RUU Perubahan Atas UU No. 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional.
Tentu, revisi atas UU No. 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional menjadi urgen karena terdapat beberapa pasal yang justru tidak sesuai dengan asas-asas hukum keolahragaan.
Selain itu, Presiden juga pernah mengeluarkan Inpres No. 3 Tahun 2019 Tentang Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional yang seyogianya dibentuk dalam baju hukum PP atau Perpres.
Hal ini dikarenakan Inpres merupakan beleidregels (peraturan kebijakan) yang hanya mengikat secara internal administrasi negara.
Hal ini tentu berbeda dengan PP atau Perpres yang memiliki kewenangan mengatur (regelend functie).
Dengan demikian, penulis berharap masa depan hukum keolahragaan dalam waktu dekat dapat diwujudkan dengan revisi atas UU No. 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional termasuk juga dengan upaya harmonisasi antar peraturan yang berkaitan dengan aspek keolahragaan.
Selain itu, revisi atas UU No. 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional juga diharapkan dapat mempertegas eksistensi asas lex sportiva, lex ludica, lex mercatoria, dan fairness principle sebagai asas pokok dalam hukum keolahragaan sehingga negara harus memfasilitasi aspek otonomi (kemandirian) hukum keolahragaan dan jangan terlalu mencampuri aspek otonomi (kemandirian) dalam hukum keolahragaan.
Oleh karena itu, penulis berharap revisi terhadap UU No. 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional dapat meningkatkan aspek hukum keolahragaan serta didukung oleh sarana dan prasarana yang menunjang terselenggaranya aspek keolahragaan yang profesional terutama pengoptimalan aspek hukum keolahragaan dalam Badan Yudisial PSSI, supaya putusan yang tidak tepat sebagaimana sanksi yang diterima oleh Persibo tidak terulang ke depannya.