Kamu pernah nggak Nabs nyoba Roti Sari Roso? Bagi yang belum tahu, Sari Roso merupakan toko roti yang sudah ada sejak tahun 60-an di Bojonegoro. Yuk Nabs kita cari tahu lebih dalam lagi mengenai toko legendaris ini.
Pengen coba explore jajanan legendaris di Bojonegoro? Nah, kalau begitu jangan lewatkan yang satu ini, Nabs… Roti Sari Roso. Toko sekaligus dapur Sari Roso terletak di Jalan Dr Wahidin 48 Bojonegoro. Lokasinya sangat dekat dengan gedung lama rumah sakit Sosodhoro Jatikusumo.
Sore itu, saya dan seorang teman sengaja pergi ke toko Sari Roso. Tidak hanya mengantongi rindu pada rasa khas rotinya. Namun juga sepercik rasa penasaran tentang kisah perjalanannya. Sampai di sana, kami disambut tembang lawas dari radio klasik di toko.
Sambil memantau, kira-kira roti mana yang menggoda selera kami. Kemudian kami disapa oleh Melissa, yang ternyata adalah penerus generasi ketiga roti Sari Roso.
Setelah obral-obrol, Melissa kemudian menceritakan sejarah Sari Roso. Kisah itu ternyata dimulai sejak 1960-an. Oma Mariatin, neneknya, adalah generasi pertama yang melahirkan roti legendaris ini, Nabs. Berawal dari hobi, kemudian berkembang dan bertahan hingga jadi legenda seperti saat ini.
Oma Mariatin memang andal dalam urusan dapur. Sayang jika hanya keluarga besarnya saja yang berkesempatan untuk mencicipi masakannya. Nah, muncullah dukungan dari keluarga besar Oma Mariatin untuk membuka toko roti.
Toko dan dapur Sari Roso pertama berada di Jalan Diponegoro, yang saat ini menjadi panti asuhan Katolik. Dari lokasi tersebut, Sari Roso kemudian berpindah ke jalan Dr Wahidin, hingga saat ini.
Sekitar tahun 1990-an, Oma Mariatin pensiun dari Sari Roso. Usaha roti ini kemudian dilanjutkan oleh putranya, yaitu Harijanto Prajitno.
Pada era ini, toko-toko roti lain mulai bermunculan. Sari Roso pun terus melakukan inovasi, tanpa merubah kekhasannya. Sari Roso kemudian menjajal beberapa varian baru, seperti pisang cokelat, kelapa, dll. Akan tetapi, varian roti legendaris seperti pisang, nanas, dan srikaya masih istimewa di hati pelanggan.
Tidak hanya obral-obrol, kami juga diajak untuk masuk ke dapur. Kami masuk ke bagian dalam toko. Di sana, kami bisa melihat jejeran loyang, alat pengaduk, dan oven. Ukuran ovennya bahkan lebih besar dari lemari pakaian saya di rumah. Hehe.
Sayang, ketika di sana, aroma kue sudah tidak lagi tercium. Sebab Sari Roso memproduksi roti-rotinya sekitar pukul 03.00 pagi. Sedangkan kami berada di dapurnya 12 jam setelah produksi. Huft, sayang sungguh sayang, kami datang kesorean.
Sari Roso menyimpan banyak keunikan. Tentang logonya yang tidak pernah berubah. Tentang rasanya yang tidak jauh berbeda dari waktu ke waktu. Hingga bentuknya yang misterius. Mengapa bentuk yang misterius?
Hmm, coba minta seorang teman untuk membelikan beberapa varian Sari Roso. Nah, saat roti sudah mendarat di tangan, coba terka mana yang rasa apa. Hehe. Ini bisa jadi challenging dan gemezzz di saat yang bersamaan.
Nah, jadi gini, Nabs… Sari Roso tidak mencantumkan nama varian roti di pembungkusnya. Namun, rotinya memiliki bentuk yang berbeda-beda untuk setiap variannya. Bentuk itulah yang digunakan untuk membedakan rasa atau isiannya. Seru juga, yah. Hehe.
Sari Roso adalah sebuah nama yang terbilang sangat konsisten. Baik dari rasa, kualitas, nama, bahkan logonya. Sari Roso telah menjadi bagian dari kenangan masa lalu. Betapa menyenangkan, kita masih bisa merasakannya hari ini. Ingat sekali, dulu saya sering makan roti Sari Roso bersama Mbah Uti.
Favorit saya adalah roti sisir yang plain. Apalagi kalau belinya pagi-pagi, saat toko baru buka. Aroma roti yang baru keluar dari oven. Roti yang masih agak basah, super lembut, gurih, dan sedikit sentuhan rasa manis yang tidak kentara. Tanpa tambahan isian apapun, roti sisir ini sudah ciamik. Tentunya makin ciamik jika ditemani kopi panas.
Sari Roso juga menjadi salah satu kenangan manis yang dimiliki teman saya, Wisnu. Dia berkisah, Sari Roso selalu mengingatkannya pada Mbah. Dulu, ia sering menemani Mbahnya mengambil uang pensiunan di kantor pos. Sepulang dari sana, Wisnu sering diajak mampir ke Sari Roso. Favoritnya adalah roti dengan isian pisang dan srikaya.
Setengah abad berlalu. Tren roti, dan kuliner secara umum telah banyak berubah. Sari Roso tidak hanya bertahan dan bersaing. Roti-rotinya tetap menjadi salah satu yang legendaris, dan istimewa.
Kunci untuk mempertahankan ciri khasnya adalah dengan memberi sentuhan personal di setiap resepnya. Sari Roso menyerahkan produksi pada karyawan. Namun, masalah bahan, resep, dan inovasi selalu menjadi perhatian keluarga Oma Mariatin.
Nah, dari Sari Roso kita bisa mengambil pelajaran, Nabs. Biarkan dunia menawarkan beribu hal yang baru. Kita hanya perlu untuk mempertahankan identitas dan ciri khas. Sembari turut serta dalam membuat inovasi. Tapi, jangan sampai kehilangan jati diri… hihihi.