Saya kehilangan kata-kata. Satu hal yang saya bisa adalah meresponnya dengan senyum, dan memikirkannya untuk waktu yang begitu lama.
Langit Surabaya telah lama jatuh, tapi laki-laki dengan sweeter grey masih duduk hikmat di sebuah warung kopi bersama para kolega. Ia seksama meneliti pesan-pesan di layar ponsel yang membuat cahaya memantul di balik kacamatanya.
Tak ada sesuatu yang aneh, sampai saya mendatanginya dan berbincang banyak hal. Baik tentang kesibukan yang tengah dia jalani, sampai soal kecemasan dan perasaan bingung yang melanda kami, generasi usia 25 tahunan.
Dia membuka percakapan dengan pertanyaan yang lumayan membuat saya gamang: tengah sibuk kerja apa?
Saya menjawab tengah bekerja lepas di bidang desain grafis dan kepenulisan. Dan sembari dia mengangguk pelan-pelan, saya kembali bertanya padanya: bagaimana perkembangan bisnis komputermu?
Musik-musik bernuansa malam berpacu di antara kami semua. Mengiringi obrolan yang kelak purna ketika jarum jam menujuk angka tiga dini hari.
Mula-mula dia bercerita tentang dinamika tujuan hidup. Dia telah membuat sebuah proposal hidup sejak 2013 silam. Sampai sekarang banyak harapan di masa lalu yang dia capai dengan maksimal. Misalnya menjadi wisudawan terbaik, merdeka finansial, hingga mampu memberikan lapangan kerja bagi kawan-kawannya.
Sementara tak sedikit juga yang gagal. Namun toh, ia bilang tak menyesal dan akan tetap mencari cara untuk rencana-rencananya yang lain.
Lalu dia bertanya kepada saya: bagaimana denganmu?
Saya menjawab lugas saja. Akhir-akhir ini ketika menjalani aktivitas, saya kerap merasa bingung, ragu, dan cemas. Penyebabnya tidak lain adalah profesi yang saya lakukan memiliki nilai yang tak terlalu istimewa di mata masyarakat. Terutama generasi seusia orangtua saya.
Pekerjaan ini selain tak melulu berkiblat pada rutinitas nine to five, juga tak begitu tampak di mata khalayak. Ia tak perlu seragam, dan tak terlalu mengutamakan ruang kerja/kantor. Dan saya kira hal inilah yang cenderung dianggap berbeda dari kebanyakan.
Belum juga saya ceritakan sampai akhir, teman saya itu melanjutkan obrolannya. Dia juga gamang, sebab di suatu waktu ia kerap mengalami pening luar biasa. Dokter bilang dia terlalu banyak begadang.
Dalam suatu hari misalnya, ia baru bisa tidur pukul tiga atau empat dinihari, lalu akan terbangun sekitar pukul tujuh atau delapan pagi.
Pada rentang waktu yang panjang, ia menghabiskan waktu buat mengelola bisnisnya. Mengevaluasi, memberi catatan, sampai menciptakan inovasi untuk produk-produk esok.
Sedang di waktu yang lain, ia akan kembali membaca buku, melihat youtube, atau ketika sudah tak tertahankan: bermain game sampai bosan.
Jika merujuk pada garis besar, sejatinya apa yang tengah kami lakukan tak ada bedanya. Hanya saja, kawan saya telah berhasil mendirikan kantornya, sedang saya bebas saja di mana-mana.
“Dengan jam terbang yang lumayan tinggi untuk pekerjaanmu. Pernahkah kamu risau tentang anggapan orang kepadamu?” tanya saya.
“Pernah. Lalu biasanya saya akan biarkan saja sampai saya membuktikannya. Dan it works”.
“Sejak kapan kamu merasa yakin akan nyemplung di karir sekarang?”
“Sejak kuliah. Karena dulu sempat ingin lanjut S2 ketika dapat wisudawan terbaik. Tapi ternyata tidak dapat beasiswanya. Yasudah”
“Lalu sekarang rencanamu apa?”
“Cari uang sebanyak-banyaknya. Soalnya, kelak saya mau bantu banyak orang. Dan itu akan tercapai kalau kebutuhan uang saya sudah tercapai. Kan kalau kita mau bantu orang, sedangkan masih butuh uang, jatuhnya nanti ada niat-niat yang enggak baik. Seperti korupsi, mencuri, dan seterusnya. Makanya saya ingin sebelum itu terjadi, saya ingin merdeka finansial”
Saya terdiam agak lama dan mengangguk setuju berkali-kali. Tentu itu niat yang sangat bagus. Tetapi hanya sedikit orang yang mampu bersikap berani sedemikian rupa, dan tabah terhadap goncangan macam anggapan banyak orang.
Kawan yang lain harus terhalang oleh restu dari orangtua, mengurusi rumah tangga, sampai melaju pada pekerjaan yang jelas-jelas memberikan cuan besar, kendati tak setulusnya diidamkan.
Lantas saya kemudian terdiam agak lama. Merenungi betapa peliknya urusan hidup di dunia ini. Hingga akhirnya si kawan bilang bahwa tak sepatutnya saya terlalu gamang, sebab toh segalanya akan baik-baik saja.
Melihat itu, saya kehilangan kata-kata. Satu hal yang saya bisa adalah meresponnya dengan senyum, dan memikirkannya untuk waktu yang begitu lama.