Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire – Earth Empire adalah bukti bahwa kekuasaan amatlah nikmat dan menyenangkan. Sialnya, tak semua orang berkesempatan menikmatinya. Alhasil, bermacam cara pun dibikin guna dapat merasakan nikmatnya.
Kalau bukan karena Faisal Paijrot menulis artikel tentang Sunda Empire dan di akhir tulisan memaksa saya untuk menulis artikel lanjutan, bisa jadi tulisan ini tak akan pernah saya tulis. Saya bersyukur, Paijrot me-mention nama saya untuk ikut menulisnya.
Gara-gara Paijrot, saya pun membaca dan mencari tahu ulang lebih dalam tentang Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire-Earth Empire yang sedang viral itu. Dari hasil pembacaan itu, tak banyak yang saya temui, selain sebuah kesamaan metode.
Saya menemukan kesamaan. Selain sama-sama muncul ke permukaan hampir bersamaan dan tak berselang lama, Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire-Earth Empire punya unsur “jagat” dan “earth” sebagai pengakuan teritorial.
Ya, penyertaan unsur sejagat dan earth. Wilayah semesta dan bumi. Semacam unsur yang melampaui teritori administratif sebuah negara resmi. Tentu bukan tanpa alasan kata “jagat” dan “earth” ini disertakan pada nama kerajaan yang mereka bikin.
Menurut hemat saya, ada dua tinjauan kenapa dua unsur wilayah itu dilabelkan. Pertama, karena terlampau menggebu-gebu ingin berkuasa. Dan kedua, karena terlampau putus asa melihat kenyataan yang amat jauh dan tak sesuai dengan keinginan.
Terlampau menggebu ingin berkuasa. Ini menjadi pemicu. Karena sadar tak sanggup menguasai RT atau RW atau desa atau kabupaten atau provinsi atau negara, mereka langsung ingin menguasai bumi.
Sebab, dengan begitu; RT atau RW atau desa atau kabupaten atau provinsi atau negara secara otomatis sudah mencakup di dalamnya. Dan tentu saja, ini sejenis optimisme yang terlampau putus asa.
Keinginan berkuasa yang menggebu-gebu, secara psikologis dipicu beberapa sebab. Selain insting manusiawi yang memang selalu ingin berkuasa, juga contoh dari apa yang mereka lihat dan saksikan hampir tiap hari.
Kita tahu, selama 2014 hingga 2019, elite politik menunjukan pada kita semua tentang pentingnya berkuasa. Sehingga mati-matian diperebutkan berbagai macam pihak. Secara tak langsung, elit politik menunjukkan pada kita betapa nikmatnya memiliki kekuasaan.
Melalui pertikaian, konflik hingga bermacam propaganda, elit politik berpesan pada kita semua: bahwa memiliki kekuasaan, punya pengaruh, dan dihormati banyak orang itu nikmat dan amat menyenangkan. Karena itu, harus diperebutkan. Dan harus dimiliki.
Intensitas pertikaian dan konflik dan propaganda yang amat sering dilihat mata karena kerap disiarkan televisi dan media sosial, tak ayal membuat banyak orang jadi tahu dan lama-lama pengen juga. Pengen berkuasa, maksudnya.
Bagi mereka yang punya uang, keinginan berkuasa bisa direspon dengan mengikuti pemilihan umum (Pemilu). Dan bagi yang tak punya uang, apalagi yang bisa dilakukan selain berimajinasi dan berangan-angan?
Membikin kerajaan sendiri adalah respon imajinatif yang menunjukkan betapa menggebunya keinginan seseorang untuk berkuasa. Hingga ketika kenyataan tak sesuai keinginan, ia masih saja terus memaksa berkuasa.
Kekuasaan memang menggiurkan. Bahkan mereka yang sangat kaya pun, ketika telah mencapai puncak kenikmatan materi, masih banyak kok yang tergoda dan ingin berkuasa. Sebab kekuasaan, dipandang sebagai peluang membuat orang lain mengikuti kehendaknya.
Sialnya, itu jadi orientasi para pencari kuasa. Kekuasaan tak diniati berbakti atau melayani atau mengaktualisasikan visi, tapi untuk memerintah dan meraih penghormatan sekaligus kenikmatan materi saja.
Harus diakui, sebagian dari politisi kita melihat peluang menjadi bupati, walikota, atau anggota legislatif seakan sebagai lowongan pekerjaan dengan fasilitas dan martabat yang menggiurkan. Bukan sebuah tanggung jawab dan tantangan untuk melayani masyarakat.
Sehingga semua ingin berkuasa. Ingin punya kekuasaan. Kemuasaan sekadar cita-cita remeh berupa keinginan untuk dihormati, dituruti permintaannya, dan dielu-elukan tingkah dan lakunya. Sekadar itu. Seremeh itu.
Dalam konteks Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire – Earth Empire, kekuasaan tak serupa maksud Hobbes tentang harus jadi serigala bagi yang lain, atau serupa Machiavelli tentang kekerasan sebagai jalur kekuasaan penaklukkan, atau Marx tentang dominasi kelas borjuis terhadap buruh.
Dalam konteks Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire – Empire Earth, kekuasaan serupa apa yang dikatakan Michel Foucault bahwa kekuasaan bukanlah milik subyek tertentu melainkan ada dalam diri setiap orang sebagai strategi.
Jadi, ketika mereka yang tak punya kekuasaan secara dejure maupun defacto, tapi ngebet banget pengen berkuasa, mereka membikin kekuasaan sendiri berbasis imajinasi. Berbasis angan-angan yang baginya hebat, tapi bagi orang lain sekadar lucu.
Saya ingin menutup artikel ini dengan anekdot terkenal tentang kakek Indian yang memberi tahu cucunya bahwa dalam diri setiap manusia bersemayam dua serigala yang berseteru. Serigala yang baik, jujur, ikhlas, dan bermoral melawan serigala jahat, agresif, rakus, dan pemangsa.
Ketika si anak bertanya siapa yang akan menang dalam peseteruan itu, sang kakek menjawab pemenangnya adalah serigala yang kita beri makan.