Benarkah manusia jadi penyebab rakusnya Bengawan Solo? Atau ada peran makhluk gaib yang tak bisa dieja namanya?
Bengawan Solo adalah sungai terpanjang seantero Jawa, dari Pegunungan Seribu di Wonogiri Jawa Tengah hingga penghabisan di pesisir Gresik Jawa Timur (Laporan Jurnalistik Kompas, 2008).
Benar saja kalau ia mendaku sebagai bengawan, nyatanya memang sungai yang besar dan panjang, bukan sekadar gula-gula saja kayak politisi yang keseringan omong kosong.
Nama Solo-nya juga tersemat bersama peradaban besar di tanah Jawa, seperti Keraton Solo (Baca: Surakarta). Yang mana waktu itu Bengawan Solo menjadi laju transportasi utama keraton yang hilir mudik dengan armada perahu, mengangkut hasil bumi dan buah kerajinan dari pedalaman ke muara, lalu kembali dengan membawa ikan laut, terasi dan garam.
Menurut naskah Babad Sala (RM Suraji), nama Solo merujuk kepada Desa Solo di Surakarta yang menjadi pusat bandar niaga di tepian bengawan. Saking ramainya nama Solo banyak dibicarakan orang hingga sebutan Bengawan Solo menjadi populer.
Sebelumnya, ia pernah dikenal dengan nama Bengawan Beton. Lalu Ci Wulayu, untuk versi Sunda-nya. Ada pula yang lebih suka memanggilnya Bengawan Semanggi.
Tapi bagaimanapun jangan seperti kacang yang lupa pada kulitnya, jangan melupakan fakta jika hulu Bengawan Solo itu bermula dari mata air di Pegunungan Seribu Wonogiri-Pacitan, bukan di Kota Solo sendiri.
Sedari nama saja Bengawan Solo sudah melukiskan sejarahnya yang menyertai dinamika ekonomi-politik masa silam. Di mana peranannya begitu penting merajut berbagai kawasan, dari pedalaman ke pesisir, dari hulu ke hilir.
Belum lagi memberi penghidupan bagi masyarakat di sepanjang alirannya, menghidupi lumbung pangan sembari menyuguhi ikan yang melimpah. Juga terdapat kura-kura dan buaya dalam vegetasi bengawan, tapi jangan main-main sama predator yang terakhir ini, kecuali anda benar-benar keturunan Joko Tingkir.
Yang menurut cerita, waktu ia menaiki rakit bambu kemudian ditopang sama pasukan buaya untuk membantunya mengarungi Bengawan Solo.
Memang kala itu banyak aktivitas penduduk yang melekat dengan Bengawan Solo sehingga menumbuhkan relasi yang harmonis antara keduanya; mulai ritual adat, mandi, buang hajat, mencuci, mandikan sapi, atau hanya sekedar latihan berenang.
Bahkan kegiatan sosial-ekonomi juga berlangsung di sana, sebagaimana pasar-pasar kampung dulu berada di pinggiran Bengawan Solo, yang dilengkapi dengan jasa penyeberangan perahu.
Seperti halnya Pasar Kota Bojonegoro yang masih bertahan hingga sekarang, meski belakangan ini ditutup selama seminggu setelah menjadi klaster baru penularan Covid 19.
Namun keharmonisan yang dulu itu lama-lama memudar dimakan zaman, yang berlalu bersama rezim yang silih berganti dengan segenap corak ekonomi-politiknya. Dari feodal kerajaan, kolonial Belanda, fasisme Jepang, Orde Lama, Orde Baru, Reformasi, sampai era Reformasi Dikorupsi kembali hari ini.
Saya sendiri yang tinggal di bantaran Bengawan Solo kira-kira sudah dua dekade lebih, ikut merasakan dialektika perubahan itu yang mengarah pada degradasi ekosistem bengawan.
Di dusunku berada, tepatnya di Kecamatan Baureno Bojonegoro, kondisi Bengawan Solo terlihat semakin mengenaskan dan berperangai rakus.
Bagaimana tidak? Mula-mula ia doyan menggerus tanah di sepanjang bibir sungai yang awalnya landai menjadi tebing curam, kemudian lahan sayur mayur yang luasnya berhektar-hektar ikut longsor secara berkala.
Setelah dilumat habis ia tak kunjung kenyang justru semakin lapar tanah, lantas giliran jalan tangkis (baca: tanggul) yang menjadi sasaran berikutnya, lha wong hari ini di beberapa titik yang rawan saja, badan jalan tangkis sudah tinggal separo.
Selain juga menjadi biang bencana banjir selama musim hujan, dan sebetulnya banjir ini berkaitan dengan erosi tebing sebelumnya.
Begini analisisnya kira-kira : Pertama, ketika terjadi deforestasi di kawasan hulu hingga di bantaran Bengawan Solo, menghilangkan daerah tangkapan air sehingga air hujan langsung tumpah ruah di badan sungai. Akibatnya debit air meningkat dari semestinya.
Kedua, karena hilangnya tanaman keras di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo, terutama yang di pinggiran bengawan yang berganti dengan tanaman musiman, maka berdampak pada erosi besar-besaran menjadi jurang.
Bahkan bisa mengamblaskan lahan, jalan, hingga rumah. Hal ini makin diperparah penambangan pasir yang masih marak dilakukan, karena bisa menimbulkan lubang-lubang di dasar sungai lalu mempercepat erosi tebing. Akibatnya terjadi pendangkalan dan pelebaran sungai.
Maka, ketika debit air semakin meningkat, dengan kapasitas sungai yang semakin dangkal, sudah sepantasnya jika Bengawan Solo akan meluberkan airnya di kala musim hujan. Sehingga terciptalah wisata banjir saban tahun.
Lantas, sejak kapan Bengawan Solo mulai rakus? Jawabnya adalah sejak manusia memulainya terlebih dahulu. Hanya, manusia seperti apa masih belum diketahui jenisnya. Sebab selalu bisa bersembunyi dalam keghaiban yang tak terpahami.