Merayakan kemerdekaan Republik Indonesia—atau yang lebih merakyat disebut agustusan—bentuknya banyak rupa. Ada yang sekadar upacara, ada yang bikin permainan-permainan unik, ada juga yang doa bersama.
Agustusan yang paling lumrah adalah panjat pinang, balap karung, lomba makan kerupuk, hingga perang bantal di atas kolam. Uniknya, meskipun bisa dilakukan kapan saja, kegiatan-kegiatan ini hanya ada dalam agustusan.
Namun akhir-akhir ini panjat pinang jarang ada. Biasanya karena pohon pinang sulit didapat. Seperti diungkapkan Sujatmiko, warga Kelurahan Klangon, Bojonegoro.
“Di sini kita sudah jarang menemukan pinang. Makanya kita ganti bambu,” ucapnya.
Untuk menggantikan pinang, bambu harus diperhalus. Jangan sampai bagian buku bambu masih tersisa. Jika tidak, pemanjat bisa terluka.
Ada pula yang menggantikan pinang dengan pohon pisang. Tapi sayang, panjang pohon pisang tidak cukup untuk memenuhi keseruan permainan ini. Keseruan melihat sengsaranya para pemanjat.
Meskipun bukan pohon pinang yang dipakai, tetap saja namanya panjat pinang. Tidak ada panjat bambu, panjat pisang, apalagi panjat sosial. Halah!
Sejarah Panjat Pinang
Seperti ditulis di laman web.budaya-tionghoa.net, panjat pinang sangat erat dengan budaya Tionghoa. Lomba ini populer di Tiongkok Selatan, yakni di daerah Fujian, Guangdong dan Taiwan. Biasanya diadakan saat perayaan Festival Hantu. Memang jika dilihat dari kondisi geografis, dikawasan yang beriklim sub-tropis itu, sangat memungkinkan tumbuhnya pinang.
Panjat pinang tercatat pertama kali pada masa Dinasti Ming. Lumrah disebut sebagai “qiang-gu”. Namun pada masa Dinasti Qing, permainan panjat pinang ini pernah dilarang pemerintah karena sering timbul korban jiwa.
Sewaktu Taiwan dijajah Jepang, panjat pinang mulai dipraktikkan lagi di beberapa tempat. Sama seperti di Tiongkok, warga Taiwan mengadakan panjat pinang saat perayaan Festival Hantu.
Panjat pinang masih dijadikan permainan tradisi di berbagai lokasi di Taiwan. Tata cara permainannya mirip. Dilakukan beregu, dengan banyak hadiah digantungkan di atas.
Bedanya, tinggi yang harus dipanjat bukan hanya setinggi pohon pinang, namun telah berevolusi menjadi satu bangunan dari pohon pinang dan kayu-kayu yang puncaknya bisa sampai 3-4 tingkat bangunan gedung. Untuk meraih juara pertama, setiap regu harus memanjat sampai puncak untuk menurunkan gulungan merah yang dikaitkan di sana.
Zaenuddin H.M. dalam bukunya bercerita tentang sejarah Lomba Panjat Pinang. Panjat pinang dilakukan dengan sebatang pohon pinang yang lurus dan tinggi dilumuri oli atau minyak. Pada puncak pohon pinang tersebut disiapkan beberapa hadiah menarik untuk diraih peserta.
Di Indonesia, konon panjat pinang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Lomba panjat pinang diadakan oleh orang Belanda jika sedang mengadakan acara besar seperti hajatan, pernikahan, dan lain-lain. Pesertanya adalah orang-orang pribumi. Mereka memperebutkan hadiah berupa bahan-bahan pokok seperti beras, roti, gula, serta pakaian.
Karena cerita ini, di beberapa daerah seperti Aceh, panjat pinang tidak dilaksanakan. Masyarakat di sana menganggap permainan ini sama dengan menghinakan bangsa sendiri.
Namun sebetulnya panjat pinang sendiri populer di Indonesia setelah merdeka. Sebagian masyarakat menilai panjat pinang dilakukan untuk mengenang perjuangan para pahlawan dalam meraih kemerdekaan. Untuk mengingat kembali bahwa kemerdekaan Indonesia diraih dengan darah dan keringat. Perjuangan adalah koentji.
Terlepas dari perbedaan pendapat ini, panjat pinang memang unik dan seru. Tertawa, teriakan, dan candaan para peserta dan penonton meramaikan permainan ini.
Malah, dulu ketika kecil, saya merasakan sendiri betapa bahagianya saat bisa mencapai puncak. Meski hadiah dibagi ke semua anggota regu, dan saya hanya dapat sebuah gayung, rasanya bahagia sekali.
Bagaimanapun bentuk merayakan kemerdekaan ini, kita tetap harus ingat. Kemerdekaan ini tidak mudah. Mempertahankan kemerdekaan tentu lebih sulit. Jadi, mari rayakan kemerdekaan Indonesia dengan penuh rasa syukur dan khidmat.