Rumah Sangkrah berdiri di sebuah Pos Ronda warga. Namun, masif dan progresifnya kegiatan, mampu pantik rasa penasaran Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan untuk berkunjung.
Rambutnya panjang sepunggung. Digimbal dan dikuncir ke belakang. Tubuhnya besar dan sering mengenakan kaus oblong warna hitam. Saat menemuinya, saya langsung ingat tokoh urakan bernama “Danny” dalam novel Dataran Tortilla karya John Steinbeck.
Tapi, kesan urakan itu gugur berantakan kala Danny mulai membuka cakrawala pemahaman hidup melalui kisah dan penjelasan-penjelasan yang amat memukau pada saya.
Ya, pria itu bernama lengkap Danny Setiawan, ia sosok yang amat runtut dalam hal berkisah dan menjelaskan. Fokus dan enggan memperlebar pembicaraan. Danny, hanya menjawab pertanyaan tentang apa yang benar-benar dia ketahui.
Bertemu orang hebat yang tak banyak berbicara, bagi saya, merupakan sebuah anugerah. Amat sangat anugerah, bahkan. Sebab kadang, saya memegang prinsip man katsuro kalamuhu katsuro saktuhu: orang yang banyak berbicara banyak salahnya.
Danny sosok yang tak banyak berbicara. Ia, bahkan tak pernah menyela saat lawan bicara sedang berbicara. Dia suka mendengarkan. Pembawaannya tenang. Taneg: khas orang yang telah “selesai” dengan dirinya sendiri. Namun saat dia sedang bercerita, runtut dan mudah dipahami.
“Saya sering tak berani menjawab kalau tak benar-benar memahaminya.” Katanya singkat, penuh kerendahan hati.
Saya sowan pada Danny pekan lalu di kediamannya — sebuah ruang kreatif bernama Rumah Kriya, terletak di Jalan Hasanudin Solo. Serupa laron yang mencari titik cahaya, saya datang kesana sengaja untuk menimba cahaya, mengeruk ilmu sekaligus ngalab inspirasi.
Danny seorang konseptor tangguh yang fokus pada bidang pemberdayaan Comunity Development dan Human Development. Tak seperti umumnya orang yang bergerak di bidang sosial, Danny tergolong tak banyak berbicara, kecuali memang sedang ditanya dan sedang bisa menjawabnya.
Bersamanya, banyak hal yang kami bicarakan. Terutama, soal pemberdayaan masyarakat dan gerakan-gerakan berbasis upaya mengubah nasib: dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa. Dari tidak mampu menjadi… setidaknya mau belajar.
Syiar baca buku dan upaya peningkatan minat baca masyarakat menjadi pemantik diskusi yang kami bicarakan. Meski pada akhirnya, tema itu menyamudera hingga ke bermacam bidang pemberdayaan masyarakat lain.
Pria 43 tahun itu tak bisa dilepaskan dari bermacam giat pemberdayaan sosial di Kota Solo. Namanya tercatat sebagai seorang penggerak. Dia menghabiskan banyak waktu hidupnya melakukan sesuatu yang bagi kebanyakan orang, mungkin sia-sia. Tapi tidak baginya.
Enam tahun sebelum berada di hadapan saya, yang artinya enam tahun sebelum tulisan ini ditulis, Danny merintis sebuah rumah baca yang amat fenomenal. Sebuah rumah baca yang didirikan di kampung identik preman dan stigma buruk. Rumah baca itu bernama Rumah Sangkrah.
Nabs, Rumah Sangkrah pernah memantik rasa penasaran Anies Baswedan (menteri pendidikan) dan Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng) untuk datang berkunjung. Kau tahu, Danny adalah sosok di balik rumah itu.
Rumah Sangkrah yang amat fenomenal itu, memang telah Danny tinggalkan. Sebab sejak setahun terakhir, dia menghuni ruang kriya atau rumah kreatif baru yang berada di Jalan Hasanudin Solo — tempat kami bersua.
Pada 2013, Danny bersama anak-anak muda kampung setempat berupaya melawan “stigma nakal” di kampung tersebut dengan membangun perpustakaan bernama Rumah Sangkrah. Uniknya, Danny bukan warga asli kampung itu.
Di kampung tersebut, Danny hanya berkeyakinan bahwa stigma bukan realita. Karena itu, meski terstigma buruk, sesungguhnya kampung Sangkrah punya banyak potensi. Satu di antaranya, Sumber Daya Manusia yang gigih.
“Meski berlabel rumah, Rumah Sangkrah hanyalah pos ronda yang dihias sedemikian rupa.” Ucap bapak 3 anak itu sambil tersenyum.
Berjalan sebulan, dari yang awalnya sekadar perpustakaan, Danny mengembangkan Rumah Sangkrah menjadi Rumah Kreatif — lebih fokus pemberdayaan anak muda. Terutama kebutuhan skill.
Sebab, di tempat itu, banyak anak muda atau remaja putus sekolah, yang di lain sisi, ada tuntutan membantu perekonomian keluarga. Tentu saja kasihan pada mereka yang belum siap menghadapi lapangan kerja.
Selain itu, ada stigma buruk di desa itu yang membuat anak mudanya sulit dapat kerja. Akhirnya, Danny pun mantap membikin semacam rumah Kriya. Sehingga tempat itu tak hanya tempat membaca buku. Tapi juga aksi sosial, berbagi ilmu dan pengetahuan.
Rumah kreatif itu dibangun dengan sistem berbagi dan optimalisasi jaringan. Danny punya banyak teman dengan bermacam keahlian. Nah, teman-temannya itu dia mintai pertolongan untuk mengisi materi.
Misalnya, ada teman ahli airbrush membikin workshop soal airbrush. Jurnalistik, fotografi, tari, gambar mural, musik, sablon hingga batik, juga membikin workshop sesuai bidang masing-masing.
Pernah suatu hari, ada temannya yang seorang apoteker, dia hanya berbagi pada masyarakat bagaimana cara memilih obat, menyimpan dan memusnahkannya saat kadaluarsa.
“Itu wagu dan sederhana, tapi penting dan amat berkesan,” kenang Danny sambil tertawa.
Dari sana, peserta workshop yang sudah bisa menerapkan teori hasil workshop, langsung praktek dan mengajarkan pada yang belum bisa. Sistem itu selalu berulang hingga kaderisasi terus berlanjut.
Rumah Sangkrah juga sering dikunjungi banyak volunteer. Baik lokal mupun luar negeri.
Dia bercerita jika kegiatan di Pos Ronda berjalan selama dua tahun. Di tahun ketiga, dia bersama para pengelola menyewa rumah dengan sistem gotong royong dibantu teman-teman jaringan. Sebab, kegiatan kian banyak dan pos ronda tak bisa menampung.
Dari giat yang dia dan teman-temannya lakukan, ada satu prinsip yang terus dipegang. Yakni, tidak merusak pola kampung yang sudah turun temurun. Tapi membangun pola baru yang lebih produktif. Yang hasilnya bisa dilihat dan punya nilai.
Sehingga, giat sosial tak cuma sebatas menjual kemiskinan atau kesusahan belaka, tapi ada produk yang bisa dinilai dan dijual. Bagi Danny, itu proses pemberdayaan jangka panjang.
Sejak awal 2019, Danny memutuskan meninggalkan Rumah Sangkrah dan kembali membangun rumah kreatif di tempat lainnya. Tepatnya, di Jalan Hasanudin Solo. Sebab baginya, memberdayakan sebuah daerah harus dibatasi waktu. Dan tak bisa lama-lama.