Mbak Endri telah berjuang setangguh-tangguhnya, sehebat-hebatnya, dan kami akan selalu mengenang hal-hal baik yang diwariskannya.
Tahun 2020 lalu, Tempo Publishing menerbitkan dua buku seri Hidup Bersama Kanker. Edisi pertama berjudul Tubuhku Panglimaku, dan yang kedua berjudul Mindset Kuncinya.
Kedua buku itu ditulis oleh Endri Kurniawati atau biasa saya sapa dengan panggilan Mbak Endri, salah satu Redaktur di Tempo. Dalam sebuah kesempatan, ia menyampaikan bahwa seri tersebut rencananya berjumlah lima dan ia sendiri yang akan menuliskannya.
“Ini kan buku seri, Nul. Rencananya ada lima. Ya doakan semoga saya kuat.”
Seri itu membagi pengalaman pribadinya dalam menghadapi salah satu penyakit paling mematikan, Kanker Payudara. Ia sebelumnya juga pernah menerbitkan sebuah buku berjudul Kehidupan Kedua: Memoar Penyintas Kanker yang terbit pada tahun 2015.
Buku seri yang ditulis berbeda dengan buku pertama yang diterbitkan. Jika dalam buku pertamanya Kehidupan Kedua: Memoar Penyintas Kanker ia bercerita mengenai kisahnya kala pertama mendapatkan diagnosis dan kepulangannya ke Surabaya, maka di buku seri ia lebih banyak berbagi mengenai pengalamannya dalam bertahan hidup, tentu saja sebagai penyintas.
Buku seri tersebut dikemas kecil, mirip seperti buku saku Tempo edisi pahlawan. Tujuan buku itu memang untuk membagikan ‘kiat-kita bertahan hidup’ kepada para penyintas kanker.
Ia membagikan ‘resepnya’ di dalam buku tersebut, yaitu cara-caranya yang ditempuhnya sebagai penyintas. Menjaga Kesehatan sekaligus kewarasan mental di tengah gempuran berita-berita duka kala satu per satu penyintas yang dikenalnya berpulang.
Menjaga harapan untuk bertahan hidup tetap ada, karena harapan itulah yang memberi penyintas kekuatan dalam menjalani segala pengobatan. Saya anggap bahwa buku seri tersebut tak ada bedanya dengan buku seri tempo lainnya. Perjuangan mbak Endri memotivasi para penyintas kanker dan mengedukasi masyarakat luas adalah tindakan kepahlawanan lainnya yang bisa ia upayakan.
Kala itu, ia bercerita sedang menggarap web dan juga gerakan perempuan di Madura, saya agak lupa namanya. Tapi, mendengar segudang aktivitasnya untuk tetap melakukan pekerjaannya sebagai redaktur Tempo, menjadi pemateri di berbagai talkshow, mengajar menulis, dan melanjutkan tiga buku lain, serta mendesain sebuah web penginapan teman membuat saya tidak percaya bahwa perempuan di depan saya kala itu adalah penyintas kanker.
Ia mengatur waktunya dengan sangat cermat, kapan ia harus mengistirahatkan badannya supaya tidak terlalu capek, dan kapan ia harus memanfaatkan waktunya untuk terus berbagi.
Mbak Endri, begitu saya menyapanya, adalah sosok yang riang dan energik. Gayanya nyentrik ketika saya pertama kali bertemu di sebuah acara himpunan, barang kali di tahun 2013 atau 2014. Ia datang dengan menggunakan pakaian olahraga, dengan potongan rambut cepak, yang kala itu membuat saya tidak percaya bahwa di dalam Himpunan mahasiswa Islam (HmI), kami memiliki senior yang berpenampilan nyentrik dan sangat energik.
Belakangan saya tahu bahwa beliau adalah penyintas kanker. Tidak ada satu pun dari kami di ruangan itu yang menyangka.
Ketika menuliskan ulasan buku untuk Seri Hidup Bersama Kanker, saya salah menangkap sebuah tragedi sebagai komedi. Mbak Endri dengan sopan mengatakan bahwa, “Gak apa-apa. Itu persoalan pertama yang harus dipikirkan jika memutuskan untuk tidak merekonstruksi payudara.”
Itu ketika saya menangkap kelucuan dari sebuah cerita ketika salah satu silikon yang disempalkan ke dalam bra jatuh saat sedang beraktifitas. Untuk itu kemudian saya meminta maaf.
Di lain waktu, kami bertukar pengetahuan tentang bahasa slank yang banyak tak saya ketahui, “Kamu malah tahunya dari orang tengah baya ini. Kata lemot (lemah otak) itu bertahan agak lama ketimbang kata slank lainnya yang biasanya umurnya pendek. Woles itu, misalnya, sudah hilang. Digantikan oleh santuy. Bahasa slank sih bikinnya asal-asalan, tapi pengikutnya banyak juga.”
Perbincangan dengan Mbak Endri selalu menyenangkan. Selalu ada yang saya dapatkan, baik itu ilmu yang pasti atau pelajaran hidup untuk tetap menjaga tubuh, sebaik-baiknya. Itu karena tubuh kita adalah satu-satunya tempat untuk menampung pemikiran dan jiwa.
Ada satu kalimat menarik yang saya dapatkan dari tulisannya, “Tapi, hidup rupanya tidak selalu patuh kepada hukum sebab-akibat yang kita ketahui. Tubuh yang sehar tidak selalu didapat meski sudah diusahakan.” Bagi saya, kalimat ini mengandung emosi yang dahsyat. “Dengan menerima kanker sebagai jatah hidup, pertanyaan mengapa harusnya tak perlu ada.”
Menerima semua hal yang terjadi di dalam hidup sebagai sebuah ketetapan membuat orang lebih ikhlas dalam menjalaninya.
Pagi ini, saya menuliskan kisah ini dengan hati yang hancur setelah mendengar berita kepulangan Mbak Endri dari grup alumni. Ada satu lagi orang baik yang diminta berpulang oleh pemilikNya.
Mbak Endri telah berjuang setangguh-tangguhnya, sehebat-hebatnya, dan kami akan selalu mengenang hal-hal baik yang diwariskan kepada kami.
Selamat jalan, Mbak Endri. Selamat beristirahat dengan penuh ketenangan.