Sebuah Obituari: dari mengamati jatuhnya dinasti gerai hingga menanti ambrolnya rezim influencer.
Membeludaknya pengguna internet, senyatanya menghasilkan sebuah peradaban baru. Tidak sedikit dari masyarakat, terutama kalangan muda, yang menghabiskan waktu-waktu terbaiknya justru di depan layar ponsel.
Riset Polling Indonesia yang bekerja sama dengan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang rilis Mei 2019 lalu menyebut, pengguna internet di Indonesia kini menyentuh 171,17 juta manusia. Ia meningkat sebanyak 10,12 persen dari data semula tahun 2017 lalu. Dan di masa mendatang jumlah ini diprediksi akan terus bertambah.
Bagi sebagian orang, bergesernya kebiasaan itu bisa menjadi ancaman sekaligus peluang. Ancaman, tentu, untuk mereka yang masih enggan menyesuaikan diri kepada zaman. Dan menjadi peluang bagi mereka yang melek dan mau mengakomodir inovasi sesuai konteks sekarang.
Contoh paling nyata adalah banyaknya gerai di mall-mall besar yang harus ditutup. Untuk konteks ini, saya melihat langsung di kawasan Hi-Tech Mall Surabaya. Pada kunjungan terakhir beberapa bulan lalu, sejumlah toko sudah tertutup dan tak terlihat lagi aktivitas membeli. Konon, menurut seorang teman yang menggeluti usaha bisnis digital, orang-orang itu mulai berpindah ke kanal marketplace.
Sementara di sudut yang lain, bidang-bidang ekonomi baru juga kian berkembang. Bahkan ia merebak dari posisi yang jarang kita bayangkan sejak era awal 2000-an: media sosial. Ya, dalam istilah umum, kita menjumpainya dengan sebutan influencer. Alias sosok berpengaruh di jagad media sosial, dengan jumlah follower melimpah.
Dari laman sociabuzz.com, kita dengan mudah bisa mengetahui tarif menggunakan jasa influencer itu. Ada yang membandrol seharga Rp. 100 ribu per sekali post dan jangka waktu tertentu. Ada yang bahkan sampai menyentuh puluhan juta dalam setiap publikasi. Bertambahnya jumlah itu, tentu berdasar seberapa terkenal dan berpengaruhnya influencer tadi.
Kendati lini-lini baru itu terus merebak, namun tantangan lain muncul. Akan sampai kapankah tren seperti ini berlangsung?
Lima hari yang lalu, 11 Juli 2019, Andreas Maryoto, jurnalis Senior, menulis di Harian Kompas tentang pentingnya para influencer agar berhati-hati. Tidak main-main, dia memberi judul artikelnya dengan diksi yang pedas: “Menunggu Kejatuhan Rezim ‘Influencer’”.
Dia mengisahkan betapa di era sekarang, meski pengguna jasa influencer begitu besar, di titik lainnya, para pelaku bisnis juga mempertimbangkan untuk tidak menggunakan jasa itu. Dia memberi contoh berdasar kisah penjual eskrim yang menggunakan truk di Los Angeles, Amerika Serikat, Joe Nicchi.
Kisah Nicchi menjadi viral ketika dia menolak menggunakan influencer, dan dengan aura tidak ramah mengucap, “we are anti-influencer”. Dalam publikasi yang dia sebar di media sosial itu, tak segan dibubuhi tagar #InfluencerAreGross.
Sikap Nicchi yang demikian pedas itu lahir bukannya tanpa alasan. Penyebabnya, para influencer menjajakan usahanya dengan permintaan yang tinggi bukan main. Di samping, juga beberapa poin kerja sama yang dalam bahasa Nicchi disebut “tidak masuk akal”.
Tulisan Andreas Maryoto itu bisa menjadi pengingat untuk kita semua. Sebaik-baik apapun lini bisnis yang tengah dijalankan, jika dilakukan secara berlebihan dan tak masuk akal, suatu saat akan menjadi bumerang. Apalagi jika cara-cara menjalankan usaha itu dilakukan dengan curang.
Pendek kata, mungkin kita ingat keadaan ponsel Nokia di pertengahan tahun 2000-an. Dengan percaya diri, orang-orang Nokia amat yakin ponsel itu akan selalu menjadi nomor satu. Ia bahkan tidak mempertimbangkan pesaing yang potensial seperti Android dan IOS. Malahan, hasrat untuk menambah inovasi untuk membendung pesaing itu tidak terlihat signifikan.
Bagaimana hasilnya sekarang? Saya sendiri ragu pengguna Nokia masih tersedia, kecuali, mungkin orang yang kadung setia dan mereka yang tersisa dari generasi lama.
Rhenald Kasali, Guru Besar Fakultas Ekonomi UI yang juga pencetus Rumah Perubahan, seringkali menuliskan tanda-tanda itu. Dari rentetan publikasinya, tentang self-driving misalnya, dia mewanti-wanti perubahan nyata yang dia namai “Disruption” era. Sebuah masa di mana perubahan sewaktu-waktu amat mungkin, dan menggerus apa saja yang hinggap dalam status quo, alias zona nyaman.
Lalu kembali lagi, bagaimanakah nasib influencer di masa mendatang? Tidak ada yang benar-benar tahu. Meskipun kecenderungan marketing bisnis di era sekarang berkutat pada user story maupun storytelling, jika attitude dan profesionalitas para influencer tidak segera dibenahi, rasanya sulit untuk tidak mengamini tulisan Andreas Maryoto.
Ketika masa itu benar-benar tiba, tentu kita sudah kehabisan waktu. Dan alih-alih memanfaatkan waktu injury time itu untuk memperbaiki sesuatu yang telah berantakan dan nyaris tak bisa diapa-apakan lagi, mungkin baiknya kita pergunakan waktu yang masih ada untuk membuat tulisan obituari. Saya mengusulkan untuk memberinya judul, “Selamat Tinggal Influencer dan Sampai Jumpa Lagi”.