Berikut lelaku di akhir ramadhan hingga awal lebaran 1443 H. Selamat membaca, dan tidak mohon maaf lahir dan batin terlebih dahulu.
Akhir ramadhan dan awal lebaran tahun ini, agak berbeda dengan dua tahun lalu. Pasalnya, tahun ini agak longgar peraturannya ketimbang dua tahun lalu. Secara personal, dipertegas dengan Ramadhan dan Idul Fitri tahun kemarin, saya rayakan dengan kawan-kawan dari Sudan, Afghanistan, Jambi, Palembang, NTT, dan lain sebagainya. Tepatnya di sebuah daerah kecil di tanah Sunda.
Dan tahun ini, merayakan akhir ramadhan dan Idul Fitri di kampung halaman dan sekitarnya. Dimana lagi kalau bukan di Surga Pojok Kota, di kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi.
Ada nyekar, colok-colok malem songo, takbiran, salat idul fitri, silaturahim, kupatan, dan lain sebagainya. Di saban tempat, beberapa kegiatan yang telah disebutkan di atas memiliki karakteristik, terutama dalam hal penyebutan.
Namun dalam hal kebudayaan, perbedaan tidak melulu dipersoalkan apalagi memancing perdebatan hingga pihak yang merasa kalah menyiramkan air ke lawan bicara, wqwqwq.
Nyekar
Saya dan bapak melakukan nyekar di Desa Pacul pada sore hari. Tepatnya pada malem songo. Di pemakaman umum yang dekat dengan balai desa, ihwal nuansa wilayah tersebut mungkin bapak lebih bisa mengungkapkan dan menceritakan.
Karena Desa Pacul merupakan tanah kelahirannya. Bermain di lapangan Pacul yang konon dulu naik dan turunnya tanah begitu parah, angon wedhus, mengaji, melihat sinden, dan lain sebagainya.
Nyekar untuk kirim do’a kepada orang-orang yang mendahului kita. Sembari mencari informasi ihwal leluhur yang ada di Desa Pacul. Ketika berada di kuburan, banyak ibrah yang bisa dipetik antara lain; sebagai alarm atau pengingat bahwa safar atau perjalanan setelah di alam dunia adalah di alam kubur, selain itu ihwal agraria, coba bayangkan apabila desa-desa wa bil khusus pemerintahan desa mengamini penetrasi kapital dengan mengiyakan proyek-proyek besar semacam bendungan. Tentu, kuburan, pemukiman, dan tempat-tempat yang lainnya hanya sebatas kenangan.
Apabila kuburan dihilangkan, tradisi nyekar tidak akan pernah ditemukan. Dan kisah-kisah orang terdahulu, pasti hanya sebatas dongeng belaka, karena tidak ada bukti nyata. Eksistensi kuburan menjadi pengingat dan penggugah semangat.
Pengingat, bahwa semua yang bernyawa akan mati, dan penggugah semangat misalnya apabila dimakamkan pejuang-pejuang penyebar agama dan melawan penjajahan. Seyogianya keberadaan kuburan mampu menjadi pengingat dan penggugah semangat.
Setelah melakukan nyekar di Desa Pacul, berkunjung ke rumah sanak keluarga. Bapak juga memutar memorabilia ihwal masa kecil hingga remaja di Desa Pacul. Bermain sepak bola di lapangan, bertemu dengan kawan-kawannya di dunia persilatan, dan lain sebagainya.
Silih berganti orang-orang yang berjabat tangan, membuat kekayaan kisah sebuah subjek ‘manusia’.
Selain nyekar di Desa Pacul, juga nyekar di Desa Mulyoagung. Tradisi nyekar di awal ramadhan maupun di akhir ramadhan memberikan nikmat lebih untuk penjual bunga atau bakul kembang.
Ketika nyekar di Desa Mulyoagung bersama paman di pagi hari, penjual bunga warna-warni yang harum cum dalam balutan daun pisang berjejer di area depan makam.
Saya dan paman masuk makam, di antara beberapa makam yang pernah saya kunjungi seperti, Makam Eyang Manis, Makam Desa Pacul, Makam di Karet Bivak (tempat Chairil Anwar dan Pramoedya dimakamkan), makam Marsinah di Nganjuk, dan lain sebagainya, Makam Mulyoagung merupakan makam yang memiliki banyak kisah plus ibrah.
Karena, beberapa kali pernah ikut mengiringi jenazah menuju tempat peristirahatan. Pohon-pohon besar, pohon kamboja, daun-daun yang berguguran, dan ayam-ayam yang berkeliaran menjadi saksi lalu-lalang orang-orang yang berkunjung di makam dengan berbagai tujuan, Nabs.
Menghidupkan Malam dengan Takbir
Kumandang takbir menggema di berbagai penjuru bumi, tak terkecuali di Surga Pojok Kota. Di kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi. Saya dan kawan kecil saya, menyulap kamar yang terkadang saya gunakan untuk ngetik sebagai studio, wqwq.
Dan kawan kecil saya, saya ajak bertakbir kemudian saya rekam dengan perekam suara dan video yang ada di gawai.
Selain itu, suara petasan juga terdengar, menambah kemeriahan malam takbir di tahun ini. Sanak saudara yang merantau, ada juga yang sudah tiba di kampung halaman dan melepas rindu bersama keluarga.
Ada juga sekelompok remaja yang melakukan takbir keliling mengelilingi kampung-kampung. Dengan semangat, mereka melantunkan takbir, dan menabuh beberapa alat musik yang mereka bawa seperti: tongklek, drum, dan lain sebagainya.
Malam itu, juga ada agenda zoom sebentar, setelah zoom saya menemui Rian di sebuah warung kopi yang ada di area Kota Bojonegoro. Disana, Rian sudah lama bersama kawan-kawan, dalam ngopi yang diselimuti suara takbir, diskusi ihwal lingkungan wa bil khusus ihwal Wadas mengalir dengan sendirinya.
Takbiran, bukan berarti semangat perlawanan jihad terhadap kapitalisme berhenti, namun seyogianya semakin membara. Dari Wadas, banyak ibrah yang bisa dipetik di antaranya; solidaritas rakyat Wadas, gerakan perlawanan rakyat Wadas secara daring dan luring, dan tentunya ihwal ekologi politik di daerah konflik tidak bisa lepas dari dinamika global wa bil khusus kapitalisme.
Penting diketahui, bahwa semangat anti kapitalisme, bukan anti menggunakan gawai, laptop, celana jeans, penghitam jidat, dan barang-barang bermerek lainnya. Jika masih ada yang beranggapan seperti itu, berarti ngopinya kurang khidmat cum ngopi yang hanya sekadar ngopi saja.
Dikutip dari tulisan Nadya Karimasari (2016) di Indoprogress yang bertajuk Dalil Pokok Kapitalisme, Nadya menerjemahkan karya Ellen Meiksins Wood, “Anti kapitalisme adalah usaha terus menerus untuk mencari sistem politik-ekonomi yang tidak berlandaskan persaingan dan maksimalisasi profit dalam pasar, dalam rangka menghilangkan hubungan dan eksploitasi kapitalisme yang menghasilkan antagonisme pemilik dan pekerja”.
Setelah itu, malam takbiran juga saya isi keliling di desa-desa dengan menggunakan sepeda motor. Di sebuah desa yang berada di Kecamatan Kapas, ada desa yang memasang colok pada malam takbiran, desa tersebut dilalui sungai, menambah elok nuansa dan rupa desa pada malam itu.
Nabs, setelah puas keliling area desa dan kota, kemudian kembali ke rumah. Namun hingga Sang Mentari menampakkan sinarnya, mata ini sulit terpejam. Tidak perlu disesalkan, karena ada beberapa kegiatan yang bisa dilakukan di tengah malam, apalagi sebagai anggota keluarga kecil di Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Insomniah wa Jurnabiyah, yang sudah akrab dengan tengah malam atau dini hari.
Suatu Pagi di Surga Pojok Kota dalam Nuansa Idul Fitri
Idul Fitri ya idul fitri, namun idul fitri bukan hari kemenangan. Term ‘kemenangan’ untuk siapa? Apakah kita mampu mengelola hawa nafsu dengan baik, seperti tidak menumpuk harta kekayaan secara berlebihan? Atau kemenangan utopis apa yang Anda impikan di 1 Syawal? Pernahkah berpikir, bagaimana kondisi saudara-saudara kita yang berada di Palestina?
Konflik Palestina dan Israel, apabila dimaknai sebagai konflik umat agama merupakan problem luar atau kulitnya saja, namun dalam gejolak di tanah suci wa bil khusus Baitul Maqdis dan sekitarnya, ada campur tangan kapitalisme melalui negara Amerika Serikat. Begitupun ihwal Islamic State Iraq and Suriah (ISIS) Negara Paman Sam alias Amerika Serikat, juga bermain di sana.
Baik, kembali ke Surga Pojok Kota. Pagi pada 1 Syawal 1443 H merupakan pagi yang berbeda dari pagi-pagi sebelumnya. Karena terkadang, ada niatan untuk menghambat datangnya sinar mentari, wqwq.
Namun pagi itu masih terjaga. Salat idul fitri di Masjid Baitur Rahmat Desa Campurejo. Di bulan-bulan sebelum ramadhan atau ketika dan pasca, agenda keluyuran dari masjid ke masjid, wa bil khusus di kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi ini, selain untuk ngangsu kaweruh ketika ada kutbah, juga ingin mengetahui, apakah ada pemuka agama di Kabupaten Bojonegoro yang menggunakan analisis ekonomi-politik dalam dakwahnya? Hingga sekarang, masih mencari-cari.
Saya perhatikan dengan seksama, khutbah Idul Fitri di Masjid Baiturrahmat yang dibawakan oleh ketua PCNU Bojonegoro, dr. Kholid Ubed pada tanggal 2 Mei 2022. Ketua PCNU Bojonegoro itu, menyampaikan ihwal ketaqwaan, dimana dalam rangka menuju taqwa, bisa melalui madrasah yang bernama Ramadhan.
Cukup menarik, ketika melihat sosok Pak Ubed, seperti dokter-dokter yang berperan dalam awal kemerdekaan yang bergelut di organisasi. Namun 1 dari 10, ada dokter yang aktif dalam organisasi, diluar organisasi profesi, dan khususnya di era kiwari ini.
Hipotesis tersebut bisa jadi kurang tepat, namun lebih sedikit lagi, dokter-dokter seperti Bung Ernesto atawa Che Guevara, dokter dari Argentina yang ikut dalam revolusi di Kuba. Jihad yang dilakukan Che Guevara, merupakan jihad yang bukan hanya sekadar jihad, bukan hanya sekadar omongan, namun juga praksis dalam wujud gerakan semangat melawan kapitalisme untuk mewujudkan keadilan sosial wa bil khusus untuk rakyat Amerika Latin.
Halal Bihalal: Memorabilia, Sederhana, Deagrarianisasi, dan Eksklusi
Tahun 1443 H (2022 M) lalu-lalang orang ramai di jalanan maupun di perkampungan. Karena dua tahun yang lalu ada pembatasan dalam melakukan aktivitas sosial. Halal bihalal, berbagai unen-unen dan fenomena alam cum sosial tersaji.
Untuk tahun ini, setelah melakukan halal bihalal, terdapat empat kata yang berkaitan dengan itu: memorabilia/kenangan, kesederhanaan yang dicerminkan dari pasutri yang mudik dengan motor Honda Astrea plat ‘K’ sembari menggendong anaknya, deagrarianisasi, dan eksklusi.
Tradisi halal bihalal yang tumbuh dan berkembang di Indonesia tidak bisa lepas dari pemikirian Kiai Wahab Chasbullah. Hingga sekarang, masih digunakan dan istilah tersebut ramai digunakan oleh berbagai kalangan, ramainya istilah tersebut dimana lagi kalau bukan ketika hari raya Idul Fitri dan beberapa hari setelahnya.
Ihwal deagrarianisasi. Kawan-kawan bisa saksikan fenomena tersebut khususnya di Kecamatan Bojonegoro dan sekitarnya. Daerah yang dulunya sawah, daerah yang menjadi resapan air, sekarang menjadi perumahan, wqwq.
Kapitalis lokal dan global yang ada di Bojonegoro, seyogianya bisa mengerem nafsu untuk memperkaya diri dengan jalan mengubah lahan persawahan, daerah resapan air, menjadi perumahan maupun objek-objek yang lain. Karena kestabilan ekologi itu lebih penting apalagi di tengah krisis iklim yang sedang terjadi. Dibandingkan, dengan penumpukan kekayaan yang hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Dari fenomena deagrarianisasi yang terjadi di beberapa desa yang ada di Bojonegoro, menyebabkan eksklusi. Itulah, Nabs, ihwal serba-serbi akhir ramadhan hingga awal lebaran tahun ini. Baik, cukup sekian dulu unek-unek yang bisa saya sampaikan, dan teringat ucapan, “minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin.”