Pembatasan sosial dengan berbagai genre masih berlaku di beberapa daerah. Salah satu diantaranya di kabupaten mana lagi kalau bukan hehe Bojonegoro.
Pada suatu malam setelah hujan membasahi Kota Bojonegoro, alunan suara katak di areal persawahan terdengar. Katak-katak membuat semacam paduan suara. Bunyi yang dihasilkan oleh katak, terdengar pengguna jalan.
Sesampainya di sekitar pusat daerah kota, genangan air menyampaikan wasilah pada pengguna jalan. Bahwa lintasan airnya kurang sesuai karena yang dipercantik hanya wujud (fisik) bukan nilai fungsi. Hanya sekadar eksistensi, bukan esensi, pesan genangan air pada pengguna jalan.
Ba’da magrib. Degup jantung penjual nasi, kopi, dan beberapa penjual lain lebih terasa. Karena ba’da isya’ agak malam dikit, petugas akan datang untuk memberikan perintah menutup kedai. Atau dalam bahasa jandoman Jonegoro jamak disebut obrakan.
Tetapi, Nabs. Ada beberapa warung yang masih bisa buka hingga menjelang dini hari. Aneh, kan? Kira-kira ajian apa yang dimiliki oleh pemilik warung yang bisa buka hingga menjelang dini hari, wabilkhusus warung kopi.
Dari contoh peristiwa di atas, diperoleh gambaran bahwa dalam penyusunan kebijakan seyogianya pihak yang berwenang mengajak pemilik dan penjual kopi untuk bermusyawarah.
Bukan hanya kalangan elit saja yang dilibatkan dalam mengambil kebijakan. Karena kalangan elit, biasanya ngopinya tidak di emperan jalan.
Selain itu, perbincangan mengenai obrakan menjadi topik bahasan yang hangat. Ada yang baru ngopi satu sruputan, sudah ada instruksi dari pemilik warung jika warkop akan tutup. Karena pemilik warkop juga takut ketika ada obrakan.
Namun, terkadang juga saling mengingatkan antara pemilik warkop dengan pengunjung kalau pada jam tertentu warkop sudah tutup.
Bayangkan saja, ketika Nabsky sedang ngopi, ladalah ada obrakan di malam hari dan lupa bawa masker. Auto mendapat sanksi dari petugas. Disuruh melafalkan Pancasila. Selain itu, mengumandangkan lagu Indonesia Raya.
Bagi yang hafal akan menerima sanksi dengan santuy. Namun ada juga yang masih gemetar ketika berhadapan dengan petugas. Parahnya lagi, kalau tidak hafal plus gemetar, waduh, bisa jadi bulan-bulanan petugas.
Ketika menerima sanksi, terimalah dengan ikhlas hati. Ketika disuruh mengumandangkan lagu Indonesia Raya, gunakan imajinasimu bahwa kamu tidak sedang di warung kopi.
Melainkan di tengah stadion Gelora Bung Karno dengan jersey merah putih mengumandangkan lagu kebangsaan. Apalagi kalau air mata jatuh dengan sendirinya, imaji sebagai pemain timnas Indonesia berhasil.
Lain lagi ceritanya, ketika menjelang jam-jam obrakan. Keluar solusi yang tidak solutif dari pengunjung warkop di sekitar pusat kota. Salah seorang pengunjung warkop berceloteh, “Aku balik sek, aku gak gowo masker, soale bar iki enek obrakan”.
“Tenang. Ngomong ae awakmu wong Amerika, ngko lak gak ditakoni plus dikon nyanyi Indonesia Raya dan Pancasila“, sahut kawannya.
Kemudian kawan yang lain berkata, “Nah iku, solusi seng gak solutif. Bener, Amerika iku negara super power saiki, di kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi ini, Amerika juga berinvestasi, tetapi….wes..wes..lang balik sek, jasik og.”