Aksara terlahir dari sebuah proses yang amat sangat mulia bernama membaca.
Kamis di awal Januari. Awal bulan di tahun baru masehi. Usai menghadiri kamiskusi. Mendung menggantung di langit kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi.
Setelah azan zuhur berkumandang. Menjadi awal sekolah literasi tiada dua, Guratjaga. Surga pojok kota menjadi saksi gong ditabuh menjadi pertanda untuk memahami kembali fenomena alam dan sosial di alam raya. Dengan sebuah proses yang amat sangat mulia bernama: membaca.
Ya, Imam Besar Jurnaba, Widodo, dan saya menjadi subjek mukadimah sekolah literasi ‘Guratjaga’ dengan tajuk ‘Hakikat Membaca’.
Aksara atau tajuk di atas terlahir dari proses membaca. Membaca fenomena alam dan sosial di lingkungan sekitar.
Adanya sinar mentari, mendung, dan hujan juga tersirat wasilah untuk membaca. Bagaimana sinar Sang Surya menyinari dunia? Bagaimana mendung dan hujan terjadi kemudian diolah menjadi puisi dan menghidupkan jiwa yang sunyi?
Diperlukan proses membaca untuk menggoreskan aksara menjawab pertanyaan di atas.
Membaca merupakan proses yang amat sangat mulia. Imam Besar Jurnaba berkata, “membaca lebih mulia dari pada menulis”.
Hal itu selaras dengan perintah yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad ihwal membaca.
Gus Dur memiliki ilmu pengetahuan yang ciamik dan bisa menulis opini dan dimuat di media karena rajin membaca. Gus Dur tahu Leo Tolstoy, Karl Marx, Dostoyevsky, dan Lenin, karena membaca karyanya.
Itulah, Nabs. Betapa amat sangat mulianya membaca. Meskipun tidak ada wasilah, kalau membaca akan masuk nirwana, setidaknya apabila malaikat bertanya apa yang selama ini kamu lakukan di dunia? Kemudian keluar jawaban ‘membaca’.
Amazing. Kita tidak menyiakan mata yang telah diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Menghaluskan perasaan dengan upaya menghidupkan benda mati bernama huruf.
Mari membaca. Karena sampul cokelat yang mungkin pernah menemani masa-masa sekolah berpesan, gemar membaca membuka jendela dunia. Masak empunya gak suka membaca? Wkwk. Tidak hanya jam dinding yang tertawa, sampul kertas berawarna cokelat juga ikut tertawa.
Mari membaca. Setidaknya ada bekal untuk berwasilah puitis nan romantis kepada dia, yang masih menjadi tanda tanya semesta. Selamat membaca.