Soccernomics lahir dari racikan tangan begawan esais sepakbola sekaligus dedengkot ekonomi yang tak sekadar bisa ngitung pendapatan belaka.
Tak selamanya buku sepakbola bercerita tentang kisah sukses pemain, sejarah klub, atau biografi seorang pelatih. Soccernomics yang ditulis Simon Kuper dan Stefan Szymanski hadir dengan cara berbeda.
Nabs, Soccernomics menerjemahkan sepakbola lewat perspektif ekonomi dengan dukungan data dan statistik. Tentu saja sangat ciamik. Sepakbola tak sekadar dilihat dari dalam lapangan. Tapi dari berbagai semesta kehidupan.
Secara singkat, Soccernomics berisi kumpulan pengamatan dan hipotesis yang akan tampak sulit dipahami; tetapi didukung statistik, contoh, dan anekdot yang akan membuat para pembaca, terutama penggila sepakbola, bakal berdecak kagum.
Buku ini memang ditulis dua orang sekaligus. Pertama adalah Simon Kuper, seorang jurnalis sepakbola berpengalaman. Esais sepakbola yang tak hanya memiliki segudang pengalaman, tapi menjadi kiblat penulisan sepakbola.
Siapapun yang mengaku Esais atau penulis atau peneliti sepakbola, pasti sudah pernah mendengar namanya. Kuper mendapatkan penghargaan William Hill Prize untuk buku Soccer Against The Enemy yang ditulisnya.
Sementara Stefan Szymanski, adalah professor ekonomi asal London. Ia dikenal sebagai konsultan bagi sejumlah organisasi terkemuka dunia macam UEFA (sepakbola), FIA (otomotif), dan ICC (kriket).
Kontribusinya dalam buku ini, tentu sentuhan perspektif ekonomi dan bermacam hipotesa statistik yang tak sekadar bola dan tetek-bengek urusan lari-lari belaka.
Serupa kopi kental yang ada rasa gurih sekaligus manis-manisnya, Soccernomics lahir dari racikan tangan begawan esais sepakbola sekaligus dedengkot ekonomi yang tak sekadar bisa ngitung pendapatan belaka.
Soccernomics, tentu menjadi buku sepakbola anti-mainstream yang jadi bacaan wajib penggila sepakbola di seluruh dunia. Bagi pembaca Indonesia, ini amat penting: agar tidak sekadar menderita akan kemunduran sepakbola belaka, tapi tahu bagaimana berangan-angan memajukannya.
Soccernomics mencoba menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh penggila sepakbola di dunia. Misalnya seperti mengapa Amerika Serikat tidak mendominasi sepakbola di arena internasional. Atau negara mana yang memiliki suporter sepakbola paling fanatik di dunia.
Simon Kuper dan Stefan Szymanski tak hanya berargumen. Mereka melengkapi semuanya dengan data dan statistik. Jadi, apa yang disajikan adalah bentuk dari penelitian yang sudah dilakukan.
Salah satu bahasan menarik dari buku ini bisa dilihat di bagian ketiga di Bab pertama yang berjudul; Orang Inggris Lebih Memilih Pemain Berambut Pirang.
Bagian tersebut berisi penjelasan tentang bagaimana cara menghindari kesalahan bodoh dalam bursa transfer. Simon Kuper dan Stefan Syzmanski punya sejumlah data yang memperlihatkan bagaimana klub-klub di Eropa kerap mengalami kerugian saat melakukan pembelian pemain.
Secara sederhana, Kuper dan Syzmanski mengatakan jika pembelian pemain baru tak berbanding lurus dengan peringkat sebuah klub di klasemen akhir. Menaikkan gaji pemain yang ada dalam sebuah tim, justru lebih bermanfaat untuk memperbaiki peringkat di klasemen akhir.
Semakin tinggi Anda membayar para pemain Anda, semakin tinggi pula peringkat akhir Anda di Liga. Begitulah kira-kira yang ingin disampaikan oleh Simon Kuper dan Stefan Syzmanski.
Ada pembahasan mendalam dari Soccernomics yang cukup menarik di Bab ketiga. Pada Bab ketiga bagian ke-13 tersebut, Kuper dan Syzmanski coba menjelaskan mengapa negara miskin juga miskin prestasi olahraganya.
Kuper dan Syzmanski mencoba mengukur negara terbaik di bidang olahraga. Secara sistematis, mereka mendata raihan juara dari beberapa bidang olahraga populer dari beberapa negara di dunia. Hasilnya, Amerika Serikat berada di peringkat teratas diikuti oleh Russia, Inggris, Jerman dan Perancis.
Di peringkat 20 besar, hanya ada satu negara dari benua Afrika yang masuk. Yakni Afrika Selatan yang menduduki peringkat 15 bersama dengan Jepang dan Kuba. Dibandingkan dengan negara di benua Afrika lainnya, Afrika Selatan tentu lebih maju.
Jika melihat daftar tersebut, bisa ditarik kesimpulan jika negara-negara miskin, terutama di Afrika tak begitu menonjol dalam bidang olahraga populer. Kebanyakan negara di benua Afrika bahkan hampir tidak berkompetisi dalam event olahraga populer, kecuali sepakbola dan atletik.
Pembelian gagal di bursa transfer dan penjelasan mengenai prestasi olahraga negara miskin jadi beberapa cerita menarik dari Soccernomics. Tentunya, masih banyak cerita unik dan menarik yang bisa dikulik dari buku ini.
Buat kamu penggemar buku sekaligus sepakbola, sangat direkomendasikan untuk membaca Soccernomics. Ini adalah buku wajib bagi para penggila sepakbola yang ingin mengetahui banyak sisi dari olahraga paling populer di dunia ini.