Pendiri Tarekat Syadziliyah, Sayyid Abul Hasan Ali as-Syadzili al-Idrisi al-Hasani alias Imam Syadzili (1197 M-1258 M), pernah berbincang dengan santri kinasihnya, Syekh Abul Abbas Al-Mursi (1219 M-1281 M). Beliau bercerita pada muridnya itu.
Syahdan suatu hari, Syekh Abul Abbas Al-Mursi sedang duduk bersama sang guru, Imam Syadzili di pekarangan rumah. Seperti biasa, mereka berbincang tentang apa saja. Tapi kemudian, tiba-tiba sekelompok orang masuk. Mereka langsung ikut nimbrung.
“Mereka ini Wali Abdal,” kata Imam Abul Hasan As-Syadzili kepada muridnya itu.
Namun demikian, Syekh Abul Abbas Al-Mursi berupaya memperhatikan mereka dengan mata batin. Ia beranggapan bahwa mereka yang datang itu bukan Wali Abdal. Dia menjadi terheran dengan perkataan gurunya tadi. Ketika dia bertanya, Imam Syadzili menjawab sebagai berikut:
فقال الشيخ: من بدلت سيئآته حسنات فهو بدل
Artinya: “Syekh As-Syadzili berkata, “Siapa saja yang keburukannya berganti menjadi kebaikan, maka ia adalah salah seorang (wali) abdal”.
Dari sini, Syekh Abul Abbas Al-Mursi mulai tahu dan meyakini bahwa pertobatan dari buruk menjadi baik, adalah awal dari maqam (status) kewaliabdalan (awwalu maratibil badaliyyah).
** **
Syekh Ibnu Athaillah Sakandari (1250-1309 M), murid dari Syekh Abul Abbas Al-Mursi sekaligus ulama besar pengarang Kitab Al Hikam, pernah mendengar sang guru berkata:
“Mengenal wali lebih sulit dari mengenal Allah. Allah dapat dikenali dengan kesempurnaan dan keindahan-Nya. Tetapi kapan kau bisa mengenali tanda wali, makhluk sepertimu. Ia makan sebagaimana kamu makan, ia minum sebagaimana kamu minum.”
Ibnu Athaillah lalu menulis dalam kitabnya berjudul Latha’iful Minan: “Kalau Allah menghendakimu kenal dengan salah satu walinya, Allah melipat unsur manusiawinya di matamu dan Allah memperlihatkanmu keistimewaannya”.
** **
Syekh Ahmad Zarruq (1442–1493 M), pembesar Tarekat Syadziliyah dari Maroko, penerus Syekh Ibnu Athaillah yang juga menulis syarah (penjelasan) Kitab Hikam Ibnu Athaillah Sakandari, mengatakan dalam kitabnya, Syarh Hikam:
“Waliyullah itu dapat dikenali dengan tiga tanda: mengutamakan Allah, (hatinya) berpaling dari makhluk-Nya, dan berpegang pada syariat Nabi Muhammad SAW dengan benar”.