Bagi saya, Jurnaba layak dilabeli sebagai mazhab karena menghadirkan arus dan semangat gaya menulis yang sederhana tapi asik. Urusan serius bisa disederhanakan dan urusan sederhana bisa di-filosofiskan.
Selamat pagi para Jurnabiyin yang berbahagia. Selamat berhari Minggu di rumah saja. Semoga di manapun kamu berada, selalu dilimpahi berkat rahmat dari Tuhan yang Maha Esa.
Nabs, apa yang terpikir saat mendengar kata Jurnaba? Pastinya kamu punya makna tersendiri tentangnya. Namun bagi saya, Jurnaba telah melahirkan mazhab santuy dari sosok yang kontak WA-nya saya beri nama Imam Besar Jurnaba tersebut.
Jurnaba, yang saya belum tahu tapi sudah haqul yakin di dalamnya terdapat orang-orang keren itu, menjelma menjadi tempat belajar dari segala ilmu, pengetahuan, dan pengalaman.
Baik itu ilmu kehidupan dalam cecurhatan, ilmu perpelancongan dalam destinasi, ilmu pengalaman manusia dalam figur, pemahaman isi buku tanpa harus beli buku dalam review buku, kisah penyair, ulama, dan lain sebagainya.
Berkat Jurnaba lah, saya jadi sering bersemangat nulis. Hingga mungkin, para pembaca sudah bosan dengan tulisan saya yang jelek saja belum ini. Itulah daya magnet Jurnaba. Ia membangkitkan keberanian orang untuk menulis.
Di hati saya, Jurnaba seolah berkata: kamu nggak harus pintar untuk bisa nulis. Nggak harus punya tulisan bagus untuk bisa dimuat Jurnaba. Sebab, intinya adalah berani nulis dulu. Urusan pintar dan bagus itu perkara proses dan nasib atau takdir.
Banyak mahasiswa punya bakat nulis bagus. Punya kemampuan analisis hebat. Sayangnya belum percaya diri untuk menulis. Di lain sisi, mereka semacam tak diberi kesempatan membangun sikap percaya diri, karena banyak penulis yang bersikap ndakik-ndakik.
Di sinilah keistimewaan Jurnaba. Tema tulisan yang harusnya ada di level ndakik, justru dikemas dengan penyampaian yang sederhana. Sehingga pembaca mudah memahaminya.
Mudahnya penyampaian dan gampangnya pembaca memahami tulisan, otomatis memunculkan keberanian pembaca untuk menulis. Bahkan menulis apa saja. Karena sesederhana apapun tema tulisan, di Jurnaba sangat diapresiasi.
Itu yang membuat saya merasa menemukan ruang aktualisasi diri. Karena itu, saya menganggap Jurnaba sebagai mazhab baru, yang memicu mahasiswa pemalas seperti saya ini mau repot-repot membaca dan menulis.
Bagi saya, Jurnaba layak dilabeli sebagai mazhab karena menghadirkan arus dan semangat gaya menulis. Sederhana tapi asik. Urusan serius bisa disederhanakan dan urusan sederhana bisa di-filosofiskan.
Dan karena alasan itu pulalah, surat cinta ini saya persembahkan khusus untuk Jurnaba. Tentu bukan surat cinta sembarangan. Tapi Ode berlandaskan rasa terimakasih yang tak terpermanai.
Nabs, mungkin kamu pernah mendengar Mazhab Frankfurt (Jerman)? Atau di Indonesia, ada beberapa mazhab seperti Mazhab Bogor dan Bulaksumur?
Di Mazhab Bogor, identik Institut Pertanian Bogor (IPB). Tokoh-tokohnya seperti Pak Sajogyo yang merupakan begawan Sosiologi Pedesaan di Indonesia. Ada pula Si Jali Merah alias Pak Goenawan Wiradi (GWR). Beliau begawan Reforma Agraria (RA) Indonesia.
Jika Nabsky kepo, sila main ke Malabar. Eitss..bukan Bakso Malabar Bojonegoro ya, Nabs. Kalau Malabar Bojonegoro kan tempat isi perut, hehehe. Namun Malabar 22 yang ada di Bogor. Selain tempat isi pikiran, di sana juga tersimpan khazanah keilmuan tentang agraria, sosiologi pedesaan, dan lain-lain.
Kalau di Mazhab Bulaksumur, identik Universitas Gadjah Mada (UGM) dan salah satu tokohnya ya Pak Sartono Kartodirjo itu. Ada juga nama lain tapi saya lupa.
Intinya, dua mazhab tersebut sama-sama mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Terutama ilmu sosial.
Nah, bagaimana dengan Jurnaba? Kalau Jurnaba, dalam pikiran saya, telah melahirkan mazhab baru juga, hehehe…apalagi kalau bukan Mazhab Bojonegoro. Wkwkwk
Karena beragam ilmu, pengetahuan, dan pengalaman bisa kamu peroleh di website yang menjelma sebagai pusat studi bahasa dan riset kebudayaan dari Bojonegoro. Dengan frasa keramatnya: Degup Kebahagiaan.
Melihat banyaknya wong-wong Bojonegoro yang bergerak, baik di depan maupun di belakang layar Jurnaba, disadari atau tidak, Jurnaba telah melahirkan mazhab baru dalam ilmu pengetahuan berbasis lokal, yaitu Mazhab Bojonegoro.
Namun di sini, niatnya untuk gembira-gembira-an saja loh, Nabs. Jadi jangan dibuat serius. Apalagi dibandingkan beneran sama Mazhab Frankfurt, Bogor, dan Bulaksumur. Ya pasti beda jauh lah. Wkwk
Namun, tidak menutup kemungkinan jika kelak Jurnaba menyamai bahkan melebihi ketiganya dengan mendirikan Perguruan Tinggi. Misalnya, Universitas Jurnaba Bojonegoro (UJB) dan terus tumbuh dan berkembang.
Mengingat, pusat studi yang seharusnya tumbuh dan berkembang di beberapa perguruan tinggi yang ada di Bojonegoro, entah di mana dan bagaimana gerakannya, nggak jelas.
Jurnaba telah mewadahi itu, baik dari segi pusat studi bahasa, budaya, jurnalistik, kebudayaan, sosial, filsafat dan lain-lain. Waw..keren banget Jurnaba ini, menjelma sebagai pusat studi beberapa perguruan tinggi yang ada di Bojonegoro, wkwk
Di balik kemunculan suatu mazhab, tentu terdapat peranan Imam Besar di dalamnya. Mungkin saban orang memiliki penamaan berbeda, baik dalam kontak WA, maupun dalam dunia nyata.
Ada yang menyebutnya sebagai Pak De. Kalau Intan Setyani menyebutnya dengan sebutan Wahyu Ilahi dan sayapun mengamini, tapi saya memiliki sebutan khas buat blio yaitu Imam Besar Jurnaba hahaha….
Entah apa yang terbersit dalam pikiran saya, ketika mendapat nomor WA-nya, saya langsung beri nama kontak itu dengan nama Imam Besar Jurnaba. Ya, siapa lagi kalau bukan sosok Ahmad Wahyu Rizkiawan.
Ketika kawan-kawan saya ingin mengirim tulisan ke Jurnaba, ada yang kaget ketika saya sodorkan nama kontak WA-nya. Ada yang bilang, “Cik…Imam Besar, wkwkwk”, kemudian saya jawab, “Hahaha…, yo iku Imam Besar Jurnaba.”
Berbicara soal Imam Besar Jurnaba, dia memang sulit ditemui. Tapi kadang justru ketemu sendiri di tempat ibadah warung kopi terdekat, khususnya di area Central Bussines District (CBD) Bojonegoro.
Ketika bertemu atau berdiskusi di warung kopi, ia sungguh asik sekali. Jika kamu belum ngopi dengan Imam Besar, wah kurang barokah, Lur.
Dalam tulisan-tulisannya, saya belajar bagaimana melakukan kritik yang menohok tapi tetap elegan dan santuy. Juga bagaimana mengelola kecemasan menjadi optimisme yang tidak vulgar. Yang ia namai sebagai prinsip mistis berupa pesimisme optimistis dan optimisme pesimistis.
Pengagum Gus Dur, Gus Baha, dan Goenawan Mohamad itu membuat saya paham bahwa sederhana dan mewah hanyalah ilusi. Karena kadang kesederhanaan adalah kemewahan itu sendiri. Semua tinggal cara mengemasnya.
Mengutip tulisan blio berjudul Pemuda Bojonegoro yang Berhak Duduk di Parlemen 2019 – 2024 yang saya temukan secara tak sengaja, membuat saya kemekelen tur rodok-rodok bangga.
Coba deh, Nabs. Cari tulisan itu di internet dengan kata kunci di atas, niscaya kamu bakal kemekelen luar biasa gara-gara membacanya.
Di dalamnya ada nama-nama pemuda lucu tapi progresif yang lahir dari kabupaten lumbung pangan dan energi. Di tambah lagi foto-foto caleg yang khas dan tiada dua, sebab tanpa logo partai dengan gaya bebas Wkwk
Imam Besar sebagai penulis, memang tak bisa memasukan namanya sendiri dalam komisi-komisi itu. Karena itu, biar saya saja yang memasukkan namanya. Ya, namanya akan saya masukan di komisi manapun. A, B, C, D, hingga Z. Hehehe
Dari tangan Imam Besar dan kawan-kawan Jurnaba, seyogianya memperoleh apresiasi dari berbagai kalangan. Toh mereka membutuhkan atau tidak apresiasi itu, tidak penting.
Sebab, saban orang memiliki makna tersendiri tentang apresiasi, ada yang memberi makna pemberian hadiah, ucapan selamat, bahkan ketika kita sekadar mengirimkan karya tulis.
Namun, bagi saya sebagai kontributor yang biasa-biasa saja dan masih suka lomah-lameh alias rebahan tapi ingin membuat perubahan ke arah yang positif (progresif), sedang berupaya menunaikan budaya apresiasi.
Dan sepucuk surat cinta ini adalah bentuk apresiasi yang tak seberapa nilainya. Dari saya untuk Jurnaba. Jadi, mari Nabs, menulis di Jurnaba.
Dengan mengirim tulisan, Jurnaba akan tetap hidup dan lestari walau zaman silih berganti. Dan tentunya menghidupkan nyala api literasi baik di dunia nyata maupun maya di Kabupaten yang konon Lumbung Pangan dan Energi ini.
Dan tentunya juga, akan menjadi jejak digital dan nisan masa depanmu. Yang beberapa tahun ke depan, kamu akan terpingkal-pingkal, senang, dan beragam ekspresi lain ketika mendapati tulisan itu secara tak sengaja.
Akhir kata, saya ingin kutip kalimat yang amat populer banget dan sering dipakai tapi juga sering tak dipahami karena sekadar buat pantes-pantesan aja dari Pramoedya Ananta Toer: Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah.
Pertamakali diposting pada 29/03/2020