Ulama dan umara di Bojonegoro memiliki jalinan koordinasi yang solid. Bahkan, tercatat sejak abad 19 silam.
Jauh sebelum nama Bojonegoro ada, teritori ini bernama Kadipaten Jipang (bagian dari Kerajaan Majapahit) dengan wilayah mencakup Blora, Cepu, Lasem, dan Bojonegoro. Pasca runtuhnya Majapahit dan lahir Kesultanan Demak, Kadipaten Jipang diakuisisi menjadi bagian Kesultanan Demak (1478).
Bermacam pergolakan politik yang terjadi dalam tubuh Kesultanan Islam Demak, memicu lahirnya Kesultanan Islam Pajang. Peralihan kekuasaan yang disertai pergolakan perang saudara itu, membawa Kadipaten Jipang menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Pajang (1586).
Di era Kesultanan Pajang inilah, pusat administratif Kadipaten Jipang yang semula berada di Cepu, digeser ke Padangan sebagai pembeda rezim.
Ini alasan keberadaan Kawedanan Padangan sebagai pusat administratif wilayah-wilayah di Kadipaten Jipang. Di tempat ini pula, koordinasi ulama dan umara gencar dilakukan.
Pada 1677, Kadipaten Jipang (bagian Kesultanan Pajang yang diakuisisi Kesultanan Mataram), diubah jadi kabupaten dengan wedana bernama Mas Tumapel, dengan pusat pemerintahan di Kawedanan Padangan. Kelak, Mas Tumapel ini dikenal sebagai bupati pertama Bojonegoro.
Ini alasan tahun 1677 dijadikan tahun kelahiran Bojonegoro. Hanya, yang agak janggal dan isykal, adalah penetapan tanggal 20 oktober sebagai tanggal lahir. Konon, tanggal ini dipakai berdasar hari lahir sebuah partai penguasa orde baru kala itu. Hmm ~
Yang menarik, di Bojonegoro, hubungan antara umara dan ulama selalu kondusif dari zaman ke zaman. Terutama di era medio 1800-an. Hal ini terbukti dengan banyaknya riwayat yang menceritakan tiap pemimpin daerah, punya hobi sowan silaturahim pada ulama.
Dari tiap zaman, Bojonegoro selalu mampu menggambarkan suasana yang tergambar dalam Qur’an sebagai: Baldatun Tayyibatun Wa Rabbun Ghafur. Negara sejahtera yang terbangun dari hubungan baik antara ulama dan umara.
Kita tahu, pada zaman itu, sowan ulama adalah bagian dari strategi perlawanan terhadap penjajah. Sebab, penjajahan tak bisa hanya dilawan dengan strategi perang, tapi juga butuh kuda-kuda berupa doa dan barokah suwuk dari para masyayikh dan ulama.
Di era pasca Perang Jawa (1825-1830), konsep suwuk dan nggepuk memang selalu berjalan beriringan. Ini alasan tiap pemimpin daerah selalu menjalin hubungan baik dengan para ulama. Begitupun sebaliknya.
Bupati Bojonegoro Sowan Masyayikh Padangan
Dalam Manuskrip Kuncen diriwayatkan, pada 1880, RM Tumenggung Tirtanata (Bupati Bojonegoro periode 1878-1888 sekaligus kakek Tirto Adhi Soerjo) memiliki hubungan baik dengan para Masyayikh Padangan. Beliau sering silaturahim ke sejumlah ulama di Padangan.
Di era tersebut, Padangan memang jadi pusat berkumpulnya para Pesuluk Thoriqoh dari berbagai wilayah di Pulau Jawa. Pada momen-momen tertentu, digambarkan tanah Padangan tak terlihat mata, karena tertutup lautan manusia yang sedang bersuluk.
Salah satu ulama yang sering disowani Bupati Tirtanata adalah KH Ahmad Rowobayan (1831-1915), salah seorang mursyid thoriqoh Naqsabandiyah Kholidiyah di Padangan. Beliau berdua memiliki hubungan yang sangat baik.
Bupati Tirtanata sering silaturahim ke Mbah Ahmad. Bahkan, suatu hari, saat Bupati melihat rumah Mbah Ahmad yang hampir terserang longsor, Bupati menawarkan sebuah hadiah tanah.
“Daripada rumah Kyai dimakan longsor, bilamana Kyai berani, saya hadiahkan rawa di selatan desa ini untuk ditempati”. Kata Bupati Tirtanata.
Rawa di selatan Desa Kuncen adalah kawasan maut yang tak pernah dihuni manusia, hingga diistilahkan dengan jalmo moro jalmo mati, siapa datang pasti mati. Namun pada akhirnya, Mbah Ahmad menerima tawaran Bupati Tirtonoto.
Karena sudah mendapat izin dari Bupati, Mbah Ahmad membuka kawasan tersebut sebagai pemukiman penduduk. Saat ini, kawasan maut itu dikenal sebagai Dusun Rowobayan. Sementara Mbah Ahmad dikenal sebagai Kiai Ahmad Rowobayan.
Keramat Mbah Durrohman Klothok
Syekh Abdurrohman Padangan atau Mbah Durrohman Klothok (1785-1880), merupakan satu diantara sejumlah pilar Masyayikh Padangan yang masyhur keramat. Beliau menjadi pusat tabaruk bagi bermacam lapisan masyarakat. Dari masyarakat awam hingga pejabat, sering sowan pada beliau.
Banyak masyarakat, tokoh kiai, hingga sederet nama bupati sering sowan dan ngaji, atau sekadar bertabaruk pada Mbah Durrohman. Saking dikeramatkannya, tak hanya metode sowan dan tabaruk secara langsung, bahkan hal-hal kecil yang berhubungan dengan Mbah Durrohman pun selalu dijadikan jimat.
Pasca Mbah Durrohman wafat, selain banyak yang menziarahi makam beliau, bedug masjid milik beliau pun sering dicuil untuk dijadikan jimat, hingga hampir habis karena terkikis. Di Padangan, hal ini masyhur sebagai kisah tulis maupun lisan.
Raden Adipati Rekso Kusumo (bupati Bojonegoro periode 1890-1916), pernah ingin meminta bedug masjid Mbah Durrohman untuk dikirim ke Kota Bojonegoro menggunakan perahu, lewat jalur sungai Bengawan Solo.
Namun, perahu pembawa bedug hanya berputar di tempat selama berhari-hari. Hingga akhirnya, bedug tak jadi dikirim dan dikembalikan ke tempat semula. Hingga saat ini, bedug tersebut diamankan untuk menghindari agar tak dijadikan jimat.
Kisah-kisah tentang hubungan baik antara para bupati dan ulama di atas, sesungguhnya menunjukan pada kita betapa para bupati terdahulu memang selalu memegang pesan dari Kanjeng Nabi Muhammad Saw. yang berbunyi:
“Dua golongan dari umatku, apabila keduanya mampu menjalin hubungan dengan harmonis, maka umat akan menjadi baik. Namun apabila keduanya tidak dapat menjalin hubungan dengan baik, maka umat akan hancur. Kedua golongan itu adalah ulama dan umara”.