Assalamualaikum, Wr. Wb.
Bapak Mendikbud yang terhormat, hari ini saya mencoba menulis satu keresahan hati yang mungkin mewakili suara hati ribuan masyarakat Indonesia yang secara sukarela memberikan tenaga, waktu dan pikiran untuk turut memberi arti bagi negeri ini.
Meskipun hanya melakukan hal kecil yang mungkin tidak berarti apapun bagi orang-orang yang tidak peduli, namun ribuan masyarakat ini sudah memulainya dengan sebuah tekat besar.
Saya adalah pendiri dan pengelola sebuah rumah baca yang selama ini berfungsi untuk membangun budaya literasi di kampung, yang konon menurut survey lembaga Internasional menyatakan bahwa Indonesia termasuk negara dengan budaya literasi (baca tulis) yang sangat buruk.
Dari keprihatinan ini, saya berusaha mematahkan image tersebut dimulai dari lingkungan rumah tangga dan lingkup kecil wilayah kampung. Oktober 2015, bersama mahasiswa KKN, kami membangun sebuah tempat untuk memfasilitasi warga dengan mendirikan Rumah Baca untuk mendapat kemudahan mengakses ilmu pengetahuan dari buku-buku.
Dari titik nol di mana kami hanya mempunyai puluhan buku hingga sekarang menjadi ribuan buku. Setelah itu, kami berusaha mendistribusikan dan membangun jejaring kecil di wilayah sekitar.
Kami berdaya mandiri membangun kekuatan dari media sosial hingga kami mendapatkan jaringan besar di mana kami masuk di dalamnya melalui jaringan bernama Pustaka Bergerak Indonesia. Sebuah jejaring yang dibangun Nirwan Arsuka yang mampu menemukan hal-hal unik dalam melakukan kegiatan literasi dari seluruh wilayah tanah air.
Bisa saya sebutkan beberapa yang mungkin sudah familiar di telinga bapak; Sugeng Hariono yang rela berkeliling kampung dengan motor pustaka. Ridwan Suuri dengan kuda pustaka, Robi Bin Marsiti dengan pedati pustaka atau pegiat antar pulau seperti Ridwan Mandar dari sulawesi, Ardy dengan perahu motornya dari lampung.
Dan masih banyak lagi teman-teman kami dari papua dengan Noken Pustaka dan banyak lagi di berbagai penjuru tanah air yang rela bergerak untuk memajukan negeri ini dari hal kecil dalam upaya membangun sumber daya manusia.
Hari Raya Buku
Bapak Nadiem yang terhormat,
Saya ingat waktu itu tanggal 2 Mei 2017, teman-teman pegiat yang perkasa ini diundang hadir di Istana presiden. Mereka hadir diajak mendiskusikan tentang pengembangan literasi yang dilakukan oleh, dari dan untuk masyarakat sampai akhirnya terwujud Free Cargo Literasi (FCL), dan presiden Joko Wododo menunjuk PT POS sebagai pelaksana.
Maka bulan itu juga, tepatnya 20 Mei 2017, dimulailah program FCL untuk pertama kali. Pak, kami para pegiat menyebutnya Hari Raya Buku, dimana setiap tanggal 17, para pegiat dari seluruh Indonesia bisa menerima buku dari masyarakat atau hanya sekadar bertukar buku antar sesama pegiat untuk merolling koleksi buku-buku mereka.
Di saat itu pula, masyarakat di seluruh pelosok tanah air yang dekat dengan simpul Pustaka Bergerak dan FTBM juga turut merasakan kebahagiaan karena datang koleksi-koleksi buku terbaru meski yang mereka dapat kebanyakan buku bekas.
Dari ujung Papua sampai ujung Aceh, para pegiat literasi merasakan atmosfir tenaga baru karena mereka bisa mendistribusikan buku di tengah masyarakat yang sebenarnya masih memiliki rasa haus akan ilmu dan pengalaman baru dari sebuah buku.
Namun sayang, FCL dengan konsep awal yang digagas rekan-rekan harus terhenti karena tidak adanya regulasi yang mendukungnya. Instrumen hukum secara yuridis belum ada hingga PT POS tidak kuat menanggung sendiri beban biaya akibat besarnya animo masyarakat untuk berpartisipasi.
Dan belakangan, banyak instansi yang turut berpartisipasi dalam program ini. Kemudian ketika regulasi itu hadir dan ditopang Kemendikbud, teknisnya diubah dengan alasan FCL disalahgunakan pihak-pihak tertentu.
Namun, dengan mekanisme yang baru ini, memicu animo masyarakat berkurang karena dinilai terlalu ribet dan menyulitkan. Hingga di beberapa tempat, kawan-kawan kami di wilayah Indonesia — terutama di luar Pulau Jawa– sangat sulit mendapat buku bacaan berkualitas.
Bapak Menteri yang tercinta,
Kami tahu, jaman sudah berubah dan semua kebutuhan masyarakat sudah serba digital. Semua diberi kemudahan dalam pemenuhan kebutuhan serta mencari sumber ilmu pengetahuan melalui perkembangan teknologi digital.
Namun tidak berarti cara lama yang konvensional harus kita tinggalkan karena faktanya, buku masih relevan sebagai sumber ilmu pengetahuan dan alat penunjang pendidikan.
Coba sesekali bapak datang ke daerah pedalaman dan membawa buku-buku bacaan anak, kemudian bapak buka buku-buku tersebut di depan anak-anak. Bapak akan melihat kebahagiaan mereka meskipun mereka harus disuruh berbaris antri untuk mendapatkan buku-buku tersebut.
Coba bapak ajak interaksi anak-anak tersebut dengan mengajak membaca buku-buku yang bapak bawa. Akan bapak dengar lantangnya anak-anak membaca dan riuhnya mereka membaca.
Itu sebagai penanda kecil bahwa bangsa kita masih punya harapan dan mampu berdiri kokoh menentang lembaga survey internasional yang menyatakan budaya literasi kita sangatlah buruk.
Banyak permasalahan yang menjadi pangkal kurangnya minat membaca di kalangan masyarakat kita, salah satunya tidak terbiasa beraktivitas dengan buku. Mungkin Anda bertanya? Bukankah di sekolah setiap hari bersentuhan dengan buku?
Benar, Pak. Tetapi mereka melakukan itu penuh kekakuan karena mereka dituntut harus bisa hanya dengan membaca buku. Maka muncul di mindset mereka bahwa buku adalah alat belajar bukan alat untuk mencari sumber ilmu pengetahuan.
Dan lagi, mereka harus mengeluarkan biaya yang besar hanya untuk membeli satu buku. Buku harganya mahal, Pak bagi masyarakat di kampung. Bahkan hanya untuk membeli satu buku, masyarakat harus merelakan uang satu hari kerja buruh untuk menjadikan buku itu miliknya.
Kami, para pegiat literasi ini, hanya memfasilitasi masyarakat untuk dapat dengan mudah memperoleh segala sumber pengetahuan dari buku. Kami ingin masyarakat bisa mengakses buku bacaan untuk membiasakan masyarakat dekat dengan buku-buku.
Bukankah orang besar rata-rata adalah seorang pembaca? Bukankah bapak juga seorang yang gemar membaca? Kami ingin masyarakat kita menjadi orang-orang berkualitas seperti bapak dan menjadi orang-orang besar dan sukses di bidangnya.
Meskipun rata-rata dari kami ini membangun fasilitas ini secara swadaya dari hasil menyisihkan rizki pribadi dan memperkuat jejaring. Dan hampir sebagian besar dari kegiatan kawan-kawan harus melalui perjuangan melawan kekakuan birokrasi.
Dan banyak dari kawan-kawan yang bergerak hingga saat ini, masih di pandang sebelah mata oleh beberapa kalangan birokrat tingkat bawah.
Bapak menteri yang saya hormati,
Mungkin saya sebagai masyarakat awam hanya mampu menyuarakan ini melalui surat terbuka. Karena kami di sini, sebenarnya butuh dukungan dari Pemerintah untuk setiap gerak kami. Meskipun berimbas atau tidak surat terbuka ini, kami tetap berjalan.
Meskipun ada atau tidaknya dukungan Pemerintah, kami tetap bergerak. Kami hanya menyuarakan kata hati kami agar FCL (pengiriman buku gratis) dapat terus berlangsung seperti awal berjalan.
Kalau ada kekurangan dari sisi teknis, mungkin bisa diperbaiki lagi untuk pengawasan dan regulasinya. Mungkin itu suara hati kami dalam usaha ikut berkontribusi hal kecil untuk memperbaiki bangsa ini.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb