Gerimis baru saja reda. Aisyah selesai masak untuk berbuka. Rutin tiap hari senin dan kamis, ia dan bapaknya berpuasa.
Adzan magrib berkumandang. Keduanya berbuka. Setelah meminum air segelas, Ais mengambil mukena, memakainya dan segera ke musala pertigaan rumahnya. Jalan yang rusak dan berlubang menyisakan genangan air di mana-mana. Walau gerimis tapi cukup membuat jalan seperti lubang sumur.
Sesampainya di teras musala, iqamat terdengar. Ia berdiri di shaf terdepan jamaah perempuan. Khusuk ia salat.
Guntur menggelegar. Dalam hitungan detik, hujan turun deras di luar. Sebenarnya ini waktu menuju kemarau. Sangat jarang sekali turun hujan. Kalau pun ada, biasanya hanya gerimis seperti sore tadi. Tapi magrib ini berbeda. Sepertinya ia dan jamaah lain akan terjebak di musala hingga malam.
Di rumah, bapak khawatir Aisyah tak bisa pulang. Ia menunggu putrinya pulang agar bisa makan bersama. Ia melihat dua payung di belakang pintu. Itu payung satu-satunya yang bisa dipakai. Sedangkan yang satunya lagi sudah rusak tiga tahun lalu. Bapak tak memperbaikinya. Ia pikir cukup ada satu payung di rumah.
Bapak mengambil payung. Membukanya ketika di teras dan menuju ke musola menyusul Aisyah. Tentu sebelum keluar rumah, ember-ember kecil telah diletakkan tepat di bawah genting yang bocor. Seperti biasanya, saat hujan air akan menetes melalui genting yang bocor. Jika hujan lebih deras seperti malam ini, genting-genting itu tak ubahnya bagai kran air yang dibuka. Air mengucur deras.
Salat magrib telah usai. Pak Kyai Rohman yang memimpin salat memberikan ceramah malam jumat. Ia menceritakan kisah dua anak Adam: Qabil dan Habil.
Qabil ialah kakak dan Habil ialah adik. Singkat cerita mereka diperintahkan untuk berkurban, tetapi hanya kurban Habil yang diterima. Nafsu mendorong Qabil untuk membunuh adiknya sendiri. Sehingga pada akhirnya ia merasakan penyesalan luar biasa.
Kekejaman manusia-kata Pak Kyai-seringkali melebihi batas. Padahal sudah jelas, apa-apa yang baik ketika melebihi batas maka itu menjadi sesuatu yang buruk. Makan nasi misalnya. Nasi memang halal apalagi didapatkan dari cara yang halal pula.
Namun ketika manusia mengkonsumsi nasi secara berlebihan maka akan mendatangkan kemudharatan pada dirinya. Yang paling ringan adalah kenyang yang menyebabkan dirinya menjadi ngantuk dan malas melakukan sesuatu. Dan paling berat ialah nasi itu bisa mendatangkan penyakit bahkan kematian.
Sejatinya banyak sekali kisah tentang kekejaman membunuh. Aisyah mengingatnya. Beberapa waktu lalu ia berkesempatan mengkaji itu bersama Ali dan beberapa pemuda lain di desa.
Raja Babilonia, Namrudz yang memerintahkan tentaranya membawa dua kawula ke hadapannya. Lantas ia menyuruh tentara itu membunuh salah satunya dan membiarkan hidup seorang yang lain. Dengan sikap seperti itu ia mengaku sebagai tuhan yang bisa menghidupkan dan mematikan.
Orang-orang Yahudi mati digas di kamp-kamp Adolf Hitler, sekian warga lenyap setelah melewati kamar-kamar interogasi tentara dan aparat intelijen di Cina dan juga di era Uni Soviet. Sekian juta manusia terbunuh di tangan Joseph Stalin, dan kisah lain yang sungguh tragis. Nyawa manusia tak ubahnya seperti rumput liar di sawah, babat habis dan jangan sampai tumbuh kembali.
Pun dari negeri ini. Kekejaman tiap waktu terus berlanjut, tak kalah mengerikan. Awal revolusi 1946, orang-orang Langkat dibunuh karena tak mau ikut Republik. Mereka yang dituding sebagai PKI ditangkap dan dibunuh menyusul kisruh politik 1965. Demi ketertiban dan pembersihan, orang-orang yang dicap sebagai preman atau pencoleng didor begitu saja dalam Operasi Petrus.
Peristiwa Tanjung Priok telah menghilangkan banyak pemuda. Anak-anak remaja di Timor-timur dibantai dalam bentrokan di Dili 1992. Menyusul pula, pemuda diculik, disiksa dan sebagian mungkin saja dibunuh ketika menjelang Reformasi 98. Perempuan yang mereka juga berasal dari etnis Cina disiksa dan diperkosa. Telah hilang kehormatan, juga nyawanya.
Marsinah, Munir, para wartawan dan sederet nama manusia dibunuh. Miris, negara tak hadir di saat situasi seperti itu. Mereka tak berpihak sama sekali bahkan untuk menguak kasus-kasus pembunuhan dan kejahatan HAM lain di negeri ini, hukum tumpul dan sulit mengungkapkan dalangnya.
Jika ditulis, daftar kasus itu akan terus memanjang hingga dewasa ini. Kekerasan baik yang menyebabkan luka ringan atau berat hingga penghilangan nyawa manusia hendaknya dihukum sesuai porsinya. Mata dibalas dengan mata. Sebagian keluarga korban meminta itu. Ada pula, orang tua mereka hanya berharap akui tindakan itu dan minta maaflah.
Tentunya, konsep nyawa yang ada pada para pembunuh tidak akan pernah sama dengan yang disebutkan dalam redaksi QS. Al Maidah ayat 32, “Oleh sebab itu, Kami tuliskan atas Bani Israil bahwa barang siapa membunuh satu jiwa…” Pada mereka, masalahnya akan selalu sama: nyawa siapa? Nyawa kata atau nyawa mereka. Dan kata Syu’bah Asa dalam Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, “Para pembunuh memang tak pernah mengenal nyawa manusia, seolah-olah mereka sendiri bukan manusia.”
Ceramah selesai. Aisyah melihat keluar musala. Bapaknya telah berdiri tak jauh dari musala. Ia memanggilnya.
“Bapak..”
Sang bapak menengok ke arah suara dan mendekatinya. Aisyah turun dari musala dan pulang bersama bapaknya dalam satu payung. Tetesan-tetesan kecil hujan membasahi sebagian pakaian bapak dan Aisyah. Payung itu memang kecil dan tak selayaknya dipakai untuk berdua. Ditambah di beberapa bagian payung lubang kecil menghiasinya.
“Dapat ilmu baru apa dari Pak Kyai?” tanya Bapak ketika sampai teras rumah.
“Kisah Qabil dan Habil, pak” jawabnya sembari menggantung payung di teras.
“Bapak ingin tau kisahnya” ucap Bapak kembali membuka pintu.
“Ayo segera masuk. Kita makan bersama!” ajaknya meninggalkan Aisyah.
Aisyah terkejut. Ia pikir bapaknya sudah makan tadi. Tapi nyatanya, Sang Bapak ingin makan bersama dengan anaknya. Asiyah masuk rumah, melepaskan mukena dan menggantungnya di kamar.
“Makan penyetan tempe saat hujan memang cocok. Masakan Ais semakin hari semakin enak” Bapak melempar senyum. Aisyah tertunduk malu.
“Bapak ada-ada saja. Masakan Ais tetap sama. Rasanya juga gak berubah” jawabnya ketika mengambil nasi untuknya. Mereka segera makan.
“Oh iya, gimana kisah Qabil dan Habil?” tanya Bapak.
“Bukankah kisahnya tetap sama ya pak? Seperti yang dikisahkan ustaz atau Kyai lain, tentang kurban yang Allah terima?” dahinya mengernyit.
“Memang kisahnya menjelaskan tentang kurban. Tapi lain dari itu, hikmah apa yang Ais dapat dari kisah Qabil dan Habil? Itu yang Bapak inginbtau dari Ais”
Ais menghentikan makan. Ia meneguk air dalam gelas di samping piringnya.
“Kekejaman dan Penyesalan, Pak” jawabnya pendek. Ia melanjutkan,
“Serta jika dikaitkan dengan sekarang ketika kekejaman dalam bentuk apa pun itu, paling parah adalah membunuh, apalagi dengan sengaja maka hukum di negara ini seolah melunak. Hukum seperti kerupuk yang dimasukkan Air. Ia semakin melunak ketika berhadapan dengan penguasa, Pak.”
“Apa kau tidak percaya bahwa hukum tidak bisa ditegakkan lagi di negeri ini, Ais?” raut wajah Bapak serius. Ais menelan ludah.
“Ais ingin sekali percaya bahwa mereka yang mengampu kebijakan bisa bersikap bijak. Sehingga, keadilan hukum dinegeri ini bisa tegak” ucapnya ragu-ragu. Bapak tersenyum. Ia tahu putrinya sedang ragu-ragu dengan perkataannya sendiri.
“Kenapa bapak malah tersenyum?”
“Nak, sejarah negeri ini tak beringsut maju ketika keadilan gagal ditegakkan. Didiamkannya semua bentuk kejahatan manusia sehingga kejahatan itu seperti kebiasaan yang lekat dalam diri manusia. Kau tahu itu, Nak. Bahkan Ais sudah pernah mendiskusikan hal itu dengan Ali dan yang lain, bukan?” Bapak berhenti. Makanannya telah tandas. Ia meneguk air.
Ais keheranan, bagaimana bapaknya bisa tau diskusi kemarin. Seingat Ais, ia belum menceritakan hal itu kepada Bapaknya.
“Pada masa lalu, penguasa menjebloskan massa ke dalam penjara dengan alasan stabilitas. Kini banyak orang yang kehilangan haknya akibat ditindas. Sehingga kehidupan normal tak mampu dijalaninya. Rakyat kecil tidak hanya dihukum oleh undang-undang, melainkan juga garis tepi sosial yang normal tak bisa dijalani.
Hukum tak bisa berperan sebagai pelindung selama ia tak mampu menegakkan keadilan. Terhadap hukum dan pelanggaran HAM masa lalu, hukum tak menujukkan taringnya. Di sana, keadilan menampilkan sosok durjana yang sesungguhnya. Itulah sosok yang merupakan bayang-bayang ketidakadilan yang tampil melalui rezim yang kebal untuk divonis.”
Aisyah lagi-lagi dibuat takjub oleh bapaknya. Walau hanya lulusan sekolah rakyat, pengetahuan tentang hukum seperti layaknya sarjana hukum. Bahkan ia yakin jika bapaknya bisa berkesempatan hingga jenjang tinggi, gelar guru besar akan sangat mudah didapat.
Bapaknya memang luar biasa. Aisyah bersyukur menjadi putrinya. Kekejaman dan ketidakberdayaan hukum melawan penguasa selalu menghiasi kehidupan. Lebih parah, ia seolah menjadi kebiasan yang dianggap normal.
Aisyah tahu, dalam perkara apapun, yang lemah tak punya kuasa untuk meraih pengadilan yang jujur, terbuka dan adil. Kalimat Ali terngiang, “Sebab itu, Hannah Arendt menyebutnya sebagai perbudakan: hukum menjadi budak bagi setiap kepentingan palsu para penguasa bersama elit-elitnya”
“Nak, negeri ini tidak kekurangan orang yang jujur dan baik. Hanya saja, kita telah kehilangan orang-orang yang peduli dan berani” Bapak berdiri menuju tempat cucian piring.
Aisyah termenung. Kenapa ucapan terakhir bapaknya persis yang dikatakan Ali kemarin? Apakah itu ucapan dari Ali ke Bapak ataukah Bapak mengucapkannya kepada Ali?
Ahh.. Kenapa harus Ali lagi?
Di tepi jalan desa tetangga, 14 Juni 2020