“Cantik itu Lu, Ka.” Ucap Okaydo secara tiba-tiba hingga membuat Nul yang ada di depannya merasa ada yang salah dengan intonasi dan pengucapan Okaydo. Tapi, karena tak ada yang salah dengan perasaan cinta, Nul pun buru-buru merevisi prasangkanya.
“Kau masih sama saja, Do, tak pernah berubah…” ucap Nul.
“Kenapa?”
“Lucu dan menyedihkan, punya cinta yang besar tapi tak pernah berani mengungkapkan, lelaki macam apa kau ini?”
“Kau lebih lucu, Nul.”
“Maksudmu?”
“Namamu mengingatkanku pada tim medioker yang barusan menjadi juara Liga Champions: Livernul.”
“Kalau itu maumu, kau jauh lebih lucu,”
“Maksudmu?”
“Kelakuanmu selalu mengingatkanku pada karya besar Miguel de Cervantes…”
“Don Quixote?”
“Karena kau lelaki yang dikuasai oleh ilusinya sendiri. Kalau tidak, harusnya kau berani menemui Ika dan menyatakan perasaanmu padanya.”
Okaydo terdiam. Dia menelan ludah dan terkaget. Seperti mengakui, pada tahap ini, Nul jauh menguasai medan pertempuran dibanding dirinya. Tapi, bukan Okaydo jika dia harus mengakui itu. Okaydo menyeruput es nutrisarinya dan menatap langit yang maha tenang. Lalu, dia akan pura-pura main game.
Okaydo dan Nul memang dua orang kawan dekat. Namun, seperti dua orang yang tidak dekat. Hampir tiap kali bertemu selalu tampak bertengkar. Lebih tepatnya, mempertengkarkan sesuatu. Tapi, sesungguhnya yang terjadi, mereka berdua saling mengakui kedigdayaan masing-masing. Terutama dalam urusan teknik bantah-bantahan.
Banyak perbedaan antara Okaydo dan Nul. Okaydo menyukai Manchester United sedang Nul menyukai Barcelona. Mereka berdua selalu bertengkar dan menganggap tim jagoan masing-masing sebagai pengkavling juara —- meski, pada akhirnya, malaikat juga tahu, siapa yang jadi juaranya ~
Okaydo dan Nul juga memiliki pandangan berbeda tentang imperialisme. Yang satu menganggap imperialisme sebagai proses jalan-jalan dan rekreasi. Sedang lainnya menganggap imperialisme tak ubahnya teknik berkembang biak di tempat yang berbeda.
Namun, satu hal yang menyamakan mereka berdua. Baik Okaydo maupun Nul mengamini bahwa mereka masuk jenis manusia yang gagal jadi jahat tapi tak terlalu sukses jadi orang baik.
Sebagai manusia dengan label gagal jahat tapi tak terlalu sukses jadi orang baik, Okaydo dan Nul meyakini bahwa Tuhan bersama orang-orang medioker. Dan memang, dalam konsep relativitas, semua orang di dunia ini adalah medioker dalam segala hal.
“Sejak kapan sih kamu suka sama Ika?” Nul bertanya, seperti menginterogasi.
“Setelah pertemuan itu, setiap kali ketemu, dia mencuri hatiku.” Jawab Okaydo seperti membaca puisi, tapi lebih mirip nyanyi lagu dangdut.
Nul memang tak terlalu sepakat pada pemikiran Okaydo. Terutama soal makna imperialisme dan penyebab kematian Galileo Galilei. Tapi, melihat kawannya itu sering menyebut-nyebut nama Ika dengan berbagai varian kata-kata dan berbagai momentum suasana, Nul semacam kasihan dan ingin membantu mendekatkan mereka berdua.
“Kau punya segalanya, Do. Tapi kenapa sangat kesulitan menemui Ika? Harusnya kau bisa menghadirkannya secara nyata. Nggak secara imajinatif kayak gini. Ingat, kau punya segalanya!”
“Kau hanya tidak tahu saja, Nul,” jawab Okaydo sambil menunjukkan padanya bahwa hari sudah hampir pagi, tepat pukul 01.00 dini hari, “Aku tidak ingin melakukannya dengan sederhana.”
Okaydo mengambil pulpen dan secarik kertas bergaris. Dia menggambar sebuah lingkaran dan beberapa garis melintang di atasnya. Lalu, dia menerangkan sebuah maksud kepada Nul. Sebuah penjelasan yang mungkin sedikit rumit hingga membuat Nul mengernyitkan dahi.
Sebuah penjelasan yang intinya: sebenarnya, sangat mudah bagi Okaydo untuk bertemu atau sekadar mengatakan sesuatu pada Ika. Sebab, banyak momentum yang mungkin bisa dimaksimalkan.
Mengajaknya nonton Final Liga Champions — di tivi masing-masing tapi tetap berkomunikasi via cechatingan WA, misalnya — tentu ide bagus. Mengingat, Ika adalah pendukung Liverpool.
“Tapi, aku tidak memilih untuk melakukan itu, Nul.”
“Lalu, apa yang kau pilih?”
“Rasa cinta, barangkali wujudnya melingkar seperti lingkaran, sehingga sulit menemukan sudutnya. Karena itu, kadang aku ingin menemuinya menggunakan teknik menghitung keliling lingkaran,”
Okaydo kembali membuka kertas bergarisnya. Lalu, sekali lagi, menerangkan pada Nul sebuah teknik mendekati seseorang melalui untaian rumus:
Teknik pertama, kata Okaydo, mencari keliling lingkaran cinta menggunakan diameter. Dengan rumus C = πd. Di mana “c” mewakili perasaan cinta dan “d” mewakili (diameter) jarak.
Artinya, Okaydo dapat menemui Ika hanya dengan mengalikan diameter dengan π (pi). Ohya, π yang dimaksud tentu mewakili sikap (p)ercaya. Kepercayaan. Optimisme. Itu alasan π memiliki nilai 3.14.
C = πd, kata Okaydo, bisa dimaknai sebagai: untuk menemui C (cinta/Ika), cukup mengandalkan sikap (p)ercaya atau Pi (π) yang dikombinasikan dengan keberanian menempuh jarak.
“Nul, coba kau baca angka 3, 1, 4 secara seksama. Apa kau merasakan ada optimisme di sana. 3, 1, 4 …. 3, 1, 4.”
“Iya, 3 berjalan, 1 menurun, dan 4 naik ke atas. Optimisme, rasa percaya. Iya, aku membacanya, Do.” ucap Nul sambil mengangguk.
Sedang teknik kedua, lanjut Okaydo, mencari keliling lingkaran cinta menggunakan jari-jari. Yakni dengan rumus C = 2πr. Karena jari-jari adalah setengah panjang diameter (jarak), sehingga jari-jari dapat dianggap sebagai 2r. Di mana, r adalah (r)ekan. Teman. Kawan.
C= 2πr, jelas Okaydo, bisa dimaknai sebagai: untuk menemui C (cinta/Ika), adalah penggabungan antara peran rekan-rekan (2r) yang dikombinasikan dengan π (pi/percaya), kepercayaan dan optimisme.
“Nul, kau kan teman Ika dan temanku juga. Bagaimana jika kau jadi r yang memangkas diameter antara aku dan Ika?”