Menjadi peternak unggas tak semudah bekerja di start-up yang seharian bisa medsosan sepuasnya, tapi hanya mampu menghasilkan teknik mengeluh yang itu-itu saja.
Di seputaran Balaikota Yogyakarta, Taman Parkir Sriwedari, Alun-alun Utara dan depan Gedung Pamungkas (26/6/2019), sebanyak 5 ribu ekor ayam dibagi-bagikan gratis.
Nabs, itu bukan sedang ada syukuran. Tapi, Asosiasi Peternak Ayam Yogyakarta (Apayo) sedang protes. Penyebabnya, harga ayam hidup anjlok mentok di harga terbawah.
Dalam sepekan ini, harga ayam hidup (livebird) di tingkat peternak (farmgate) mencapai titik terendah Rp7 ribu per kilo. Padahal, harga pokok produksi ayam pedaging rata-rata mencapai Rp18 ribu/kg. Tentu saja, dari sisi peternak, ini sudah sangat merugikan.
Bedebahnya, kerugian besar hanya dialami peternak. Sedang pedagang daging ayam tetap meraih untung. Sebab, harga daging ayam di pasaran masih tetap stabil. Tak menurun barang sedikit pun.
Sesuai catatan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, pada Selasa (25/6) harga daging ayam ditutup di kisaran Rp 33.050/kg. Tentu saja, ini tak memicu penurunan harga.
Semua bisa membayangkan betapa sedihnya peternak. Harga jual ayam hidup anjlok. Sementara harga daging ayam tetap stabil. Ibaratnya, kamu sudah susah-susah cari Wi-Fi, tapi tak menemui ide mau bikin konten apa.
Itu sangat menyedihkan sekali. Sebab, yang tidak kamu temui adalah ide. Ya, ide. Bukan laptop atau kopi atau teman rasan-rasan. Tapi ide. Sesuatu yang sangat penting. Lebih penting daripada cita-citamu yang setinggi pohon beringin itu.
Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN) merilis, hancurnya harga livebird akibat terjadinya over suplai. Kondisi itu terjadi tidak hanya di Yogyakarta. Tapi juga Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan daerah penyuplai ayam pedaging lainnya.
Kondisi kerugian besar peternak ini tentu menjadi ironi. Sebab, seolah tak terlihat langkah taktis dan strategis untuk mengatasi perkara tersebut. Beda halnya, ketika, yang naik harga daging ayam. Semua pihak bakal kebingungan untuk segera menstabilkan harga.
Tapi, itulah peternak, Nabsky. Menjadi peternak adalah pelaut tangguh yang siap melawan ombak dan masuk angin akibat udara malam hari. Peternak adalah manusia-manusia yang berani mengambil resiko. Hingga resiko kapok menemui mereka.
Peternak keluhan, beda lagi. Meski sama-sama mampu menernak sesuatu yang bisa dikonsumsi, sate kambing dan bebek goreng jauh lebih enak dimaem dibanding keluhan.
Menjadi peternak keluhan tak melulu negatif. Asal keluhannya variatif dan tidak itu-itu saja, sekaligus mampu menghibur dan punya positive vibe.
Sialnya, untuk menghasilkan keluhan berbasis positive vibe tidak mudah. Ada tekniknya. Dan bisa dipelajari dengan mudah asal suka dan peka pada fenomena.
Peternak keluhan tak hanya harus produktif. Tapi juga harus energik mencari referensi. Sebab tanpa referensi memadai, keluhan yang diproduksi tak bisa menghibur diri sendiri, alih-alih orang lain.
Dan lebih sialnya lagi, banyak peternak keluhan yang tak punya referensi memadai. Sehingga selain kurang menghibur, keluhannya membosankan.
Baik peternak keluhan maupun peternak unggas harus rajin cari referensi. Agar selalu punya ide untuk dieksekusi. Sebab, ide saja tanpa eksekusi serupa ngopi tapi yang dipesan segar dingin.
Intinya, menjadi peternak tak semudah bekerja di start-up yang seharian bisa medsosan sepuasnya, tapi tak mampu memproduksi apa-apa, kecuali menemukan teknik mengeluh yang itu-itu saja.
Beruntunglah kamu yang kerjanya di start-up. Tak diwajibkan pakai seragam. Tak diwajibkan mengisi absensi. Tak perlu membikin statistik harga pakan dan harga jual yang masih dikurangi faktor x berupa ternak yang meninggal dunia akibat terkena penyakit unggas.
Bersyukurlah kamu yang kerjanya di start-up. Yang tiap hari hanya bisa main medsos dan ngopi manja. Lalu saat sedang blablabla karena kosong ide dan tak mampu bikin satu pun konten, selalu dimaafkan.
Peternak unggas tak seperti peternak keluhan. Peternak unggas berani menghadapi resiko. Berani banting otak demi mendapat ide agar ternaknya bisa hidup lalu laku dijual.
Peternak keluhan beda dengan peternak unggas. Peternak keluhan tak perlu mengambil resiko apa-apa dalam hidup. Asal tiap hari mampu mengeluh, sudah cukup. Alih-alih memikirkan karya, memikirkan teknik mengeluh yang tidak itu-itu saja, sudah cukup membanggakan.
Bekerja di start-up, serupa peternak. Tiap hari, mereka beternak ide. Menghimpun konsep dan mampu membikin konten bermanfaat untuk di-post dan dibagikan ke khalayak.
Tapi, bekerja di start-up juga serupa peternak keluhan, ketika kemampuannya hanya mentok pada main medsos di kantor dan mudah blablabla karena sering tak punya ide akibat mood positif sedang tidak pada tempatnya.