Tradisi Njipangan terbentuk dari perpaduan Budaya Jawa dan Metafora Sufistik Persia di wilayah Nagari Jipang.
Tradisi Njipangan berhubungan erat dengan sosio-kultural masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebuah sub-wilayah meliputi Kabupaten Blora, Bojonegoro, dan bagian selatan Tuban. Mereka hidup di lembah Pegunungan Kendeng Utara dan Selatan.
Komunitas Njipangan cukup lama memiliki tradisi dan budaya khas yang membentuk karakter dan identitasnya. Dua di antara identitas paling tampak adalah cara berbahasa dan laku hidup. Dua hal ini menjadi tradisi unik dan khas sebagai perpaduan antara peradaban Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Secara identitas tradisi, Tlatah Njipangan sangat berbeda dengan Mataraman. Berbeda dengan Suroboyoan (Jawa Timur). Berbeda dengan Semarangan (Jawa Tengah). Tlatah Njipangan adalah sosio-kultur yang tumbuh di bagian timur propinsi Jawa Tengah, dan bagian barat propinsi Jawa Timur.
Ada dua perihal paling mencolok yang bisa diamati, terkait ciri khas Tradisi Njipangan. Ini faktor utama yang membuat Tradisi Njipangan sangat berbeda dengan sub kultur masyarakat lainnya. Pertama tentu cara berbahasa. Dan kedua adalah karakter dan laku hidupnya.
Bahasa Njipangan
Bahasa Njipangan masyhur unik dan berbeda dengan bahasa Mataraman atau Suroboyoan. Baik dari dialek, logat, ataupun pilihan katanya. Secara dialek, Bahasa Njipangan tidak halus seperti Mataraman, tapi juga tidak kasar seperti Suroboyoan. Ia khas dan berdiri sendiri.
Dalam konteks komunikasi, Bahasa Njipangan sangat berbeda dengan Mataraman atau Suroboyoan. Ada Kata Dasar, Kata Sifat, dan Akhiran Kata (sufiks) yang lahir dan tumbuh original dari wilayah Njipangan. Kata Dasar, Kata Sifat, dan Akhiran Kata ini sangat identik identitas Sufisme Jawi khas Njipangan.
Untuk Kata Dasar, kita bisa ambil contoh:
Kelan (memasak), Damoni (meniup), Lebi (tutup), Jungkat (sisir), Layakman (pantesan), Nggladrah (ceroboh), Semlende (bersandar), Njungok (duduk), Genyo (kenapa?), Mek’opo (ngapain?), Matoh (keren), Gawok (kagum), dan masih banyak lagi lainnya.
Untuk Kata Sifat “Modot” contohnya: enak (wuuuenak), adem (wuuuadem), seger (suuuweger), lesu (lauuuwesuu), wareg (wuuareg), ayu (wuuuayu), ganteng (nggiiianteng), sedep (suuuwedep), sangar (suuuwangar), ireng (wuuireng), putih (pauuutih).
Sementara untuk Kata Akhiran, contohnya: Omahem (rumahmu), bukunem (bukumu), hapenem (hapemu), mahkotanem (mahkotamu), cintanem (cintamu), gayanem (gayamu), wilayahem (wilayahmu); iyo leh (iya dong) mboyak leh (terserah dong), karek aku leh (terserah saya dong), piye leh (gimana sih?), dan masih banyak lagi lainnya.
Sufisme Njipangan
Laku hidup dan tradisi punya pengaruh besar pada pembentukan kata dan bahasa. Sejak abad 14 M, Masyarakat Njipangan terkenal Sufi Jawi yang berbudaya. Kata Sifat “Modot” hingga Sufiks “Leh” dan “Em”, adalah produk budaya Tlatah Njipangan. Budaya ini tak bisa dipisah dari tradisi Sufisme Njipangan yang dibangun Mbah Jumadil Kubro pada periode 1350 M (abad 14 M) di Tlatah Jipang.
Sufisme Njipangan merupakan proses akomodir dan filtrasi kepercayaan Hindu-Budha kedalam ajaran Islam secara damai. Melalui Sufisme Njipangan, Mbah Jumadil Kubro menancapkan tongkat dakwah di pusat peradaban Hindu-Budha, suaka para Brahmana. Ini alasan Gus Dur menyebutnya “prototype toleransi” Nusantara.
Kata Akhiran “Leh” terbentuk dari sedimentasi tasawuf “Lam” dan “Ha”. Dua huruf keramat pembentuk sifat Lillah (karena Allah) dan sikap Lileh (tawakal). Sedangkan Kata Akhiran “Em” terbentuk dari keramat huruf “Mim”. Dalam ranah tasawuf, huruf “Mim” punya semiotika spesial. Ia simbol ketundukan manusia menuju maqom “Muqorobbin”.
Sementara dalam paradigma tasawuf, kata sifat “Modot” merupakan konsep Tahadduts Bin Ni’mah: upaya menceritakan nikmat pemberian Allah kepada orang lain secara amat jelas dan gamblang. Kata sifat “Modot” ini bermuara pada firman Allah: “Wa amma bini’mati Rabbika Fahaddits”.
Kata sifat “Modot” hingga Sufiks “Leh” dan “Em”, adalah cara Para Wali Njipangan mengajak masyarakat untuk bersyahadat (bersaksi) atas kebesaran Allah, tanpa disadari. Dakwah menggunakan “Lughah” adalah cara ampuh memperkenalkan islam di tengah budaya Hindu-Budha yang waktu itu masih sangat kuat.
Secara sosio-kultur-religius, Masyarakat Njipangan ahli membumikan perkara langit sebagai perihal sosial. Ini terdeteksi sejak Mbah Jumadil Kubro membangun inkubasi Sufisme Jawi di wilayah Gunung Jali Tebon pada abad 14 M. Di tempat inilah, tradisi Siwa dan Budha Jawa di-akomodir ke dalam Sufisme Islam secara halus.
Masyarakat Njipangan masyhur tipikal santuy dan tidak kagetan. Saking santuynya kadang sampai sulit diajak tepat waktu. Tapi sisi positifnya tidak mudah kaget terhadap perbedaan. Karakter ini sangat khas dan berakar kuat. Bahkan secara jelas dan ilmiah, Gus Dur menyebutnya sebagai masyarakat “Prototype Nusantara”.
Secara antropologi sosial, Masyarakat Njipangan identik kaum agamis yang berbudaya. Memiliki kedalaman ilmu agama, tapi lihai menjaga tradisi budaya. Ini membetuk ciri khas unik. Karakter Masyarakat Njipangan tidak vulgar dalam beragama. Sangat seimbang dalam tirakat dan bermasyarakat.
Ini sangat terbukti ilmiah. Masyarakat Njipangan masyhur lihai menyerap Bahasa Arab. Mengingat, wilayah Njipangan pernah jadi pusat peradaban islam sejak zaman Mbah Jumadil Kubro (abad 14 M). Buktinya, kata “kojah” yang artinya bercerita, adalah serapan dari “hujjah” bahasa Arab. Kata “kojah” sangat khas kaum tarekat di wilayah Tlatah Njipangan.
Kata “Buwoh” juga identik Sufisme Jawi Njipangan. Dalam paradigma lughah, ia terbangun dari rangka Bismillah – Hu Allah. Yang kemudian ber-metamorfosis menjadi frasa Bi-Hu-Allah. “Bihullah”. “Bullah”. Kelak, dalam Bahasa Njipangan, dikenal dengan istilah “Buwoh”. Sebuah kata yang berarti memberi karena Allah.
Kata “Kojah” dan “Buwoh” ini, mungkin sudah tersebar ke berbagai daerah. Ini sekaligus jadi bukti persebaran sanad keilmuan sejumlah Tarekat Muktabarah yang memang pernah berpusat di Tlatah Njipangan. Khususnya pada era Fiddarinur sebagai pusat pendidikan islam periode 1800 M.
Akar Budaya Njipangan
Tradisi dan identitas Masyarakat Njipangan tidak dibentuk kemarin sore. Tapi terbentuk sebagai sedimentasi peradaban dari Kerajaan Medang Kamulan (732–1016 M), sebuah kerajaan kuno yang ada di Pulau Jawa. Dari Medang Kamulan inilah, kelak melahirkan Nagari Jipang sebagai Imperium Brahmana abad 11 M.
Secara geo-politik, Tlatah Njipangan adalah pintu gerbang Kerajaan Medang Kamulan. Tlatah Njipangan adalah lokasi para Brahmana yang diabadikan Raja Airlangga (Raja Medang Kahuripan), Raja Wishnuwardana (Raja Singashari), dan Raja Hayam Wuruk (Raja Majapahit) ke dalam Prasasti Pucangan (1041 M), Prasasti Maribong (1264 M), dan Prasasti Canggu (1358 M) sekaligus.
Pada paruh awal abad 14 M (periode 1350 M), Mbah Jumadil Kubro membangun peradaban islam di pusat Tlatah Jipang. Sebuah ruang inkubasi Siwaism dan Brahmanism ke dalam Sufisme Islam. Di sinilah, Mbah Jumadil Kubro membangun Mesigit Tebon dan Jipang sebagai ruang akomodir tradisi Hindu-Budha ke dalam Sufisme Islam secara damai.
Dalam segi bahasa maupun karakter, Tlatah Njipangan berbeda dengan Mataraman dan Suroboyoan. Perbedaan ini, sangat tampak jelas pada karakter manusia dan cara berbahasanya. Tlatah Njipangan punya akar tradisi amat kuat karena posisinya sebagai pusat Hindu-Budha (abad 11 M), dan pusat peradaban Islam (abad 14 M).