Uang satu sen pernah populer pada zaman pasca kemerdekaan. Bahkan, istilah “satu sen” kerap jadi simbol sebuah hadiah.
Uang satu sen, pada zaman dahulu, banyak digunakan dan diberikan kepada anak, sebagai uang saku bersekolah. Kebetulan saya mendapat cerita dari mbah-mbah saya, tentang uang satu sen.
Uang atau istilah “satu sen” sangat populer karena cukup untuk beli jajan dan gorengan kali itu. Zaman yang cukup sulit mecari beras dan makan enak seperti sekarang.
Jika mbah-mbah saya ditanya, bagaimana kehidupan pada masa beliau? Sudah pasti mereka bercerita sembari meneteskan air mata. Mengingat perjuangan mencari makan sangatlah sulit. Bangun pagi saja bisa sarapan sudah sangat mulia waktu itu.
Itulah yang mereka rasakan. Pada waktu itu Negara Indonesia masih belum siap menghadapi tantangan teknologi serba cepat. Dari mesin uap hingga orang-orang yang banyak gelagat.
Mungkin saja karena itu, kesiapan yang belum matang. Dan sangat jauh berbeda dengan zaman sekarang. Duduk manis memandang gadget makanan pun datang. Ya, tentunya kamu bisa mencoba sendiri. Kalau nggak tahu lihat di YouTube. Sekarang sudah banyak tutorial.
Kembali ke uang satu sen. Bapak saya pernah bercerita, waktu beliau mondok. Sering kali di kasih sangu satu sen. Ya, memang jika dilihat sekarang sangat sedikit. Tapi, anak-anak 90-an sangatlah senang sekali. Bisa buat beli bakso dan es, merupakan kebahagiaan yang tidak terbandingkan.
Memang jika melihat dari nama-nya saja tidak begitu tergiur. Setiap zaman sudah sangat berbeda. Begitu juga perkembangan mata uang Indonesia. Dari tahun ketahun mencapai peningkatan yang sangat drastis. Dari 1000 rupiah dapat nasi pecel, Kini 5000 rupiah baru dapat nasi pecel.
Suatu malam bapak bercerita beliau pernah nyantri di salah satu pondok pesantren terletak di Kecamatan Balen, beliau pernah disuruh pulang oleh Pak Kiai. Namun, bapak menghiraukannya. Sebab, disuruh pulang hanya dikasih uang satu sen.
“Lang muleh awak em, Cung. Tak sangoni sak sen.” Begitulah ujar Pak Yai
“Mboten, Pak.” Itulah jawaban seorang santri yang baru mondok beberapa bulan, dan disuruh pulang. Sudah pasti tidak mau. Coba bayangkan, jika itu kamu yang mengalaminnya. Akankah kamu mau?
Di balik itu semua ada hikmahnya. Setelah berkali-kali bapak disuruh pulang, dengan perkataan yang sama. Bapak pun boyong dari tempat mondoknya itu. Memang kehidupan selalu disuguhkan dengan masalah-masalah. Dengan adanya masalah, pendewasaan berpikir atau mental akan terbentuk.
Kalau kata Bapak Revolusi Indonesia, Datuk Ibrahim Tan Malaka, “Terbentur, terbentur, terbentuk. Dari benturan itulah kamu akan terbentuk, dan jika tidak ada benturan pasti kamu tidak akan terbentuk.
Uang satu sen tadi, bukan sembarangan uang. Setelah berkelana lebih jauh. Bapak juga sering berkunjung ke orang-orang sepuh desa. Beliau juga memdapat wejangan. Seperti, “lelakuning laku” lelakuning bisa diartikan lakon, berarti begini. Lakon bisa dimaknai peran. bagaimana peran kamu selama hidup ini?
Laku bisa dimaknai perjalanan hidup. Kehidupanmu akan sesuia dengan apa yang kamu perankan. Apalagi besok ketika di alam kedua setelah dunia fana ini.. semua akan dipertanggung jawabkan di hadapan Gusti Kang Mubreng Dumadi (Allah SWT).
Memang benar, kata orang sepuh yang pernah bapak temui malah hari. Rambut yang sudah mumutih, dan kulit yang keriput. Tapi di usianya yang senja, tak menyurtkan beliau belajar dan tirakat. Pesannya begini;
“Duet sak sen kuwi orang mung ngger to sak sen, Ngger.”
“Lha pripun, Mbah”
“Ngene, iki rungokno tenanan. Mergo kuwi kabeh bakal kanggo awak sok mben. Kuncine urip iki mung telu kuwi. Makane bener opo jare kiainem kuwi.” Ucap mbah-mbah itu sembari mengelus rambut melintang ke bawah dekat bibir yang putih.
Bapak hanya nylengung tak tahu apa maksudnya. Setiap yang diucapkan penuh dengan makna. sehingga tak banyak yang bisa ditangkap. Setelah lama berangan-angan dan berpikir. Mbah-mbah itu berkata lagi.
“Iki ileng-ileng tenan sampek sok mben yo, Ngger.”
“Sen kuwi maknane ngene, SEN iku telung hurup. ‘S’ kuwi sabar, ‘E’ eling, ‘N’ nerimo.” Ucap mbah-mbah itu.
Memang jika dinalar secara dalam. Itu ada benarnya juga. Kunci hidup adalah sabar. Sabar, jika orang Jawa memaknai seperti ini. Sabar, atine kudu sab-sab (tumpuk-tumpuk) Bar, kui ojo sampai dilereni.
Setiap perkataan mempunyai makna dan filosifi tersendiri. Tanpa harus menggunakan teori dulu maupun baru. Yang katanya relevan pada hari ini. Pesan singkat itulah yang selalu bapak ingat.
Dan beliau tak lupa, juga berpesan pada anaknya. Termasuk saya, yang setiap hari mendapat kojahan-kojahan di sela-sela malam menuju dini hari.