Kata-kata “semangat” amat penting untuk diucapkan pada orang lain. Karena kita belum tentu bisa menjalani takdir yang mereka alami.
Kata “semangat” yang hanya delapan huruf bila kita hitung, ternyata masih berat diucapkan. Hal itu berbanding terbalik dengan kata-kata bernada pesimistis yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berarti orang yang bersikap atau berpandangan tidak mempunyai harapan baik, atau orang yang mudah putus (tipis) harapan.
Selain pesimistis, jamak kata-kata bernada menjatuhkan, atau jenis persamaan lain menjadi perilaku keseharian yang mudah ditemukan dalam kehidupan sosial kita.
Lalu, kenapa kata-kata “semangat” perlu dikampanyekan menjadi ucapan keseharian?
Bagi penulis, hal itu memberikan ruh positif kepada siapa saja untuk hidup, dan bertahan dalam kesehatan psikis. Wujudnya, kelurusan pikir, dan prilaku baik. Hal itu sebagaimana penegasan Rizal Badudu (2019:16), bahwa semangat -sebagai bentuk pujian- akan memberi peneguhan terhadap hal-hal baik yang orang lakukan, dan membuatnya terus melakukan perilaku terbaik tersebut dalam keseharian.
Sebagai contoh, bisa dibayangkan bila ucapan non “semangat” sering diucapkan secara membabi buta. Tentu, arus pikir berwujud perilaku negatif muncul dominan. Bisa jadi pula, hal itu akan membuat orang-orang yang kita singgung secara verbal menjadi turun, bahkan tidak bergairah hidupnya.
Atas dasar hal di atas, betapa penting menyematkan kata “semangat” kita ucapkan kepada sesama. Perihal pengucapan, yang lebih mengerti semestinya bijak dalam berkata.
Tujuannya, agar lontaran setiap ucapan, tidak kemudian menjadikan orang lain tersinggung, sensitif. Justru ucapan “semangat” yang terucap, akan mampu menjadikan orang lain bisa melalui cobaan dengan baik, serta menemukan ruang hidup merdeka guna mewujudkan sukses tertunda yang diimpikan.
Guna mewujudkan perilaku-perilaku tersebut, memang tidaklah mudah. Perlu banyak memperkaya diri dengan membaca buku. Tujuannya, agar kita tidak sekadar melihat keberhasilan orang lain sebagaimana yang tampak mudah bin instan, sebagaimana terpampang di-update story medsos. Melainkan, juga melihat proses jungkir balik proses mewujudkannya.
Kata-kata “semangat” juga penting kita sematkan kepada orang lain, karena kita belum tentu bisa melakoni skenario hidup sebagaimana orang lain lakoni.
Perlu kita sadari, kehidupan manusia itu sudah ada yang men-skenariokan. Kuncinya, optimistis saja kepada pembuat skenario kehidupan, bila Allah bangga, dan Maha Tahu bahwa hambanya mampu dan bisa melakoni kehidupan yang diujikan kepadanya.
Contoh, skenario Allah bagi pasangan yang belum memiliki keturunan. Dia bisa bertahan untuk survive, tetap tegak dalam ketaatan kepada-Nya, bisa membanggakan orang tua, masyarakat, adalah prestasi yang luar biasa.
Tentu, bila orang sebagaimana sampel tersebut tidak kuat, bisa saja hari-harinya akan dipenuhi dengan sikap pesimistis. Hingga untuk sekadar semangat hidup saja sudah tidak ada lagi voltasenya.
Sebagai wujud empati, coba kita bayangkan, bila nasib di atas kita tukar pada diri kita! Pertanyaannya, mampu atau tidak kah kita melakoni hidup penuh dalam semangat, di tengah banyak yang mencerca?
Sebab, orang yang bernasib seperti itu, tidak sekadar bertugas melawan celaan manusia yang saben waktu bergulir.
Bahkan, ia coba menepis kekurangan terhadap apa yang belum dikaruniakan-Nya dengan senantiasa bersyukur, positive thinking melalui cara melihat sesuatu tanpa melihat sisi negatif, dan mengambil hikmah dibalik cobaan yang menimpanya.
Inilah titik nazir yang berat, oleh sebab kita tidak pernah melakoni kesengsaraan batin orang yang mengalaminya.
Jika demikian, ungkapan positif itu sangat diperlukan di era kekinian. Agar semangat memperkuat, meyakinkan diri, bahwa “Kamu” bisa, “Anda” bisa, dan “Kita” bisa sebagaimana orang lain bisa, akan segera terwujud nyata.
Jika belum bisa mengungkapkan ungkapan bernada “semangat”, Islam dengan gamblang meminta kita untuk diam sebagai perilaku yang lebih baik.
Sebagai penutup, mari mengambil pelajaran berharga dari lebah. Yakni, serangga mungil yang hidupnya berkelompok dan diabadikan menjadi nama surat (an-Nahl) dalam Al-Qur’an.
Sebagai hewan, lebah ternyata banyak memberi manfaat untuk orang lain berupa madu. Untuk menghasilkan madu sebagai minuman yang menyehatkan, lebah hanya menghisap saripati bunga.
Ia mengambil inti dan membiarkan yang lain. Jika kemudian dikorelasikan kepada manusia, menghasilkan “madu” yang dalam analogi penulis bisa dimaknai dengan memilih, mencari padanan kata yang bagus. Sebagai contoh kata “semangat”, lalu ditebarkan kepada sesama, akan kaya manfaat untuk orang lain di sekeliling kita.
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw “tahadau taĥabbu” saling memberi hadiahlah, maka kalian akan saling mencintai. Mari ucapkan “semangat” sebagai hadiah kemerdekaan kepada sesama, agar mencintai kehidupan menyala abadi kepada orang-orang terkasih di sekeliling kita. Amin.
* Penulis adalah Dosen Prodi PAI UNUGIRI Bojonegoro, dan Pengurus PAC ISNU Kecamatan Balen.