Semangat pembebasan atas kelas dan kasta, adalah modal para Wali dalam mendakwahkan islam di Indonesia. Lalu, kenapa semangat itu kini perlahan hilang?
Sebuah kisah menarik tentang perjuangan Wali Songo dalam upaya menyebarkan agama islam di Indonesia tampaknya mulai kita lupakan dalam cerita-cerita agama yang banyak beredar.
Salah satu faktor kuat yang menjadikan islam mudah diterima, selain karena sistem adapsi yang digunakan para wali, juga karena ide-ide pembebasan yang dibawa dalam agama islam.
Pada jaman dahulu kala, kita dengar cerita bagaimana Nabi Muhammad Saw. membebaskan budak, salah satu caranya, adalah dengan menikahi budak tersebut, sehingga menaikkan derajat budak itu.
Kisah lain dalam sejarah islam adalah Rabi’ah Al-adawiyah, seorang sufi perempuan, juga dulunya adalah seorang budak. Suatu hari majikannya melihat cahaya dari dalam kamar Rabi’ah ketika ia sedang bermunajat, dan atas ketaatan dan karomah itulah ia dibebaskan oleh majikannya.
Semangat pembebasan itulah yang dijadikan modal awal para wali dalam melakukan dakwah islam.
Dari cerita-cerita di atas, kita belajar bahwa islam sesungguhnya datang dengan semangat pembebasan, yang mengangkat derajat umat dengan tidak memandang status sosialnya.
Kita semua diajarkan dan paham bahwa yang membedakan derajat seseorang di mata Allah adalah karena keimanan masing-masing. Tapi, apakah semua menerapkan itu?
Saya rasa semangat pembebasan atas kelas dan kasta inilah yang hilang seiring berkembangnya islam di Indonesia.
Dalam kehidupan bermasyarakat saat ini, kita melihat betapa gelar-gelar Habib, gelar Kyai-Nyai-Gus dan ustad menjadi kuat di masyarakat secara saklek.
Kita seperti kembali pada ke-kasta-an yang pernah dihapus oleh Para Wali di jaman dahulu ketika islam pertama kali disebar. Kita lupa bahwa ide pembebasan masyarakat tanpa kasta inilah yang menjadikan islam dapat diterima, karena pada saat yang bersamaan masyarakat muak dengan belenggu kasta.
Kita semua tidak dapat memilih lahir dari rahim seorang budak atau seorang raja, dari kasta ksatria atau paria, tapi kita bisa memilih bagaimana kita akan menjalani hidup kita nanti.
Adanya sistem kasta menjadi belenggu bagi orang untuk memilih seperti apa mereka akan menjalani hidupnya.
Senyatanya, dari sudut pemahaman pribadi, kita mulai bergerak mundur.
Orang mulai menggunakan status ke-Habib-annya agar dapat disegani. Menggunakan status Gus, Nyai, atau siapa saja untuk mengukuhkan status sosialnya di dalam masyarakat.
Kita pun pada akhirnya takdzim bukan pada keilmuan dan pengetahuan yang diampu, tapi karena kekerabatannya dengan si A, si B, si C. Bagi saya, ini adalah salah satu dari kemunduran islam.
Di situlah ilmu pengetahuan akan mandeg, karena kita melihat bukan lagi pada ide apa yang dibicarakan, tetapi pada siapa yang membicarakannya.
Orang akan sungkan atau bahkan takut jika harus membantah seorang Kyai. Padahal, Kyai pun manusia yang tidak luput dari kesalahan dan dosa. Begitu juga dengan Nyai dan Gus. Gelar inilah yang dijadikan senjata untuk mengukuhkah status sosial di dalam masyarakat menjadi tak terbantahkan.
Saya yakin banyak yang tidak sepakat dengan berbagai pembelaan, tetapi kita tidak boleh pula menutup mata bahwa hal tersebut terjadi di dalam masyarakat dan mengakar kuat.
Tidak perlu jauh-jauh, dari kasus-kasus bagaimana orang membela Habib, membela Gus ataupun Kyai dengan membabi-buta atas kesalahan yang memang dilakukan adalah contoh kecil bahwa kita kembali pada peradaban yang coba dilawan oleh para Wali dan pendahulu.
Pondok yang mestinya jadi tempat belajar mendalami agama justru dijadikan dinasti untuk mengukuhkan status sosial beberapa orang tertentu.
Lalu, status itu yang digunakan untuk berbuat sewenang-wenang. Tidak jarang kita temui kasus pelecehan seksual hingga penggelapan dana, lantas mengerahkan para santri untuk melindungi pelaku dari status tersangka.
Kemandegan islam juga karena ajarannya banyak disalahpahami oleh umat. Filsafat dan ilmu pengetahuan sering sekali dibenturkan oleh keimanan seseorang, sehingga banyak yang kemudian terjerembab pada ketakutan untuk belajar dan bertanya.
Padahal, Allah justru memerintahkan hamba-Nya untuk menuntut ilmu sampai ke liang lahat, yang artinya belajar itu wajib dilakukan oleh setiap muslim sepanjang hidupnya.
Ini mengapa islam pernah besar dan jaya di masa lampau, lantas melahirkan ahli-ahli dari berbagai ilmu pengetahuan: Muhammad bin Musa Al Khawarizmi yang menjadi ahli matematika masyur sekaligus Bapak Aljabar; Abu Wafa Al Buzjani yang merupakan ahli geometri; Abu Bakar bin Muhammad bin Al Husain Al Karaji yang merupakan ahli kalkulus; Ibnu Sina seorang pakar pengobatan modern; Jabir ibn Hayyan yang merupakah ahli kimia; dan banyak lainnya.
Ketidaktahuan dan kebodohan harusnya diperangi, bukan dipelihara dengan cara menghindari. Seperti pemecahan urusan sepele yang mestinya dapat dinalar dengan akal sehat manusia tidak seharusnya menggunakan dalih ‘kuasa Allah’ atau ‘keajaiban’ untuk bisa diselesaikan.
Semisal seorang hamba menderita sakit gigi, semestinya ia pergi saja ke dokter gigi yang telah menimba ilmu, mempelajari penyakit dan pengobatan gigi. Hal tersebut adalah bentuk ikhtiar untuk memperoleh kesembuhan, seraya memohon kepada Allah.
Hal yang justru sering kita temui pada masyarakat desa yang relijius, mereka justru pergi ke Kyai untuk didoakan. Minta didoakan itu tidak pernah salah, tetapi alangkah baiknya berusaha sebelum berdoa.
Pun, doa yg dikatakan mujarab adalah doa seorang ibu, yang konon tak terhalang oleh sehelai benang pun. Alih-alih datang ke Kyai, lebih baik lagi minta doa atau restu dari Ibu (apabila masih ada).
Hal yang sama juga terjadi ketika musim ujian yang sulit tiba, seperti missal ujian masuk Perguruan Tinggi atau Ujian Akhir Sekolah. Akan ada pensil atau penghapus yang dibawa ke Kyai untuk didoakan, atau bahkan buku yang dibakar dan dicampur ke dalam air untuk diminum.
Perkara sepele yang mestinya bisa diselesaikan dengan belajar tekun dan giat justru diwarnai hal-hal yang tak jauh beda dengan klenik.
Seperti perintah untuk belajar, menekuni pekerjaan pun diperintahkan di dalam islam. Untuk itu kita diminta untuk bekerja seolah kita akan hidup lama, dan beribadahlah seakan besok kita akan mati. Artinya islam tidak mengajarkan kita untuk bersantai menunggu rejeki datang, tetapi bagaimana mengupayakan agar rejeki bisa didapat.
Mengumpulkan bekal di akhirat bukan berarti melupakan urusan dunia, karena toh kita masih hidup di dunia.
Hal yang harus digarisbawahi dalam beragama adalah islam tidak mengajarkan umatnya berkhianat kepada ilmu pengetahuan, karena dari situlah mereka akan memahami alam semesta dan seisinya, tetapi bagaimana menggunakannya dengan bijak dan bersikap tawaddu’.
Sama halnya dengan islam tidak menghalangi umatnya dalam meraih kesuksesan dunia dan memiliki harta, yang diajarkan adalah bergaya hidup sederhana dan membantu mereka yang kesusahan dengan berbagai cara: zakat, sedekah, infaq, dan lain sebagainya.
Persoalan-persoalan yang tidak seharusnya dibenturkan sering kali sengaja dibenturkan.
Orang disuruh memilih, berilmu atau beriman? dunia (harta) atau akhirat (amal)? Seolah orang berilmu atau berpengetahuan selalu berjarak dengan agama. Seolah orang kaya selalu lalai dalam memenuhi bekal akhiratnya.
Jika tak berilmu, maka apa yang akan disampaikan dalam dakwah? Jika tak mampu, maka siapa yang akan membantu yang kurang mampu?