Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba
Home Fiksi Akhir Pekan

Utang Rasa Amba – Bagian Kedua

Khoirul Faisal by Khoirul Faisal
12/04/2020
in Fiksi Akhir Pekan
Utang Rasa Amba – Bagian Kedua
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan Ke WA

Aku tumbuh dengan berbagai pengajaran peperangan, mulai dari strategi tempur, bela diri, senjata perang, bahkan beberapa ajian telah aku kuasai. 

Dahulu ada seorang putri yang datang pada ayah dan meminta pertolongannya. Putri itu sungguh cantik, namun kecantikannya tertutup oleh aura keputusasaannya. Putus asa lantaran usianya yang sudah matang namun belum ada seorang pun yang meminangnya.

Ia pernah menjalani hubungan dengan pangeran kerajaan lain, namun pangeran itu dipermalukan pada sebuah sayembara untuk memenangkan sang putri.

Namun pemenang sayembara hanya mengambil dua saudarinya untuk dua keponakan pemenang sayembara. Ia kemudian meminta si pangeran untuk meminangnya, namun si pangeran menolak karena ia sudah kalah dan ia tak berhak atas sang putri.

Merasa tidak punya pilihan lain, ia memohon supaya diperistri pemenang sayembara, namun pemenang sayembara terlanjur mengabdikan diri sebagai “pendeta”.

Berkat kejadian itu, tak ada seorang pun dari kelas kesatria yang mau meminangnya. Hidupnya tak tentu arah, hampa. Ia memeram dendam kepada pemenang sayembara yang hanya mengambil dua saudarinya dan meninggalkan dirinya sendiri.

Ia pun meminta bantuan ke sana kemari untuk membalaskan dendamnya, namun tak ada yang mampu. Jawaban mereka selalu sama, “pemenang sayembara terlalu tangguh bagi kami.”

Merasa putus asa, ia melakukan tapa brata, berharap dewata membantunya. Pertapaan yang ia jalani cukup berat, bahkan jarang ada seseorang yang mampu melaksanakannya. Setelah berbulan-bulan bertapa dewata turun menemuinya dan memberi kalung bunga. Siapapun kesatria yang memakai, akan mampu membunuh pemenang sayembara.

Namun masalahnya kembali pada siapa yang berani membunuh pria tangguh itu. Ia kembali menemui para kesatria yang pernah ia minta pertolongannya dan enggan mengulurkan tangan untuknya.

Jawabannya masih sama meski kali ini ada kalung bunga pemberian dewata. Entah mengapa ayahku menjadi pilihan terakhirnya, ayahku pria tangguh kedua kala itu, barangkali.

Ayahku juga menolak, selain takut, ayah juga merasa tak ada alasan yang kuat untuk membunuh pemenang sayembara. Merasa tak ada lagi yang bisa dimintai bantuan, sang putri menggantungkan kalung bunga pemberian dewata di pintu taman.

Ayahku sangat takut dengan pemenang sayembara, untuk itu ayah mengeluarkan perintah untuk tidak boleh ada yang menyentuh kalung itu. Ayah juga membangunkan pintu lain tepat di samping pintu yang digantungkan kalung bunga agar tidak ada yang menyentuhnya.

***

Tanpa pikir panjang, aku kenakan kalung bunga itu dan kembali ke kamar. Tak ada perubahan terjadi, tak ada perasaan aneh yang menjalar. Tapi aku bisa merasakan kantuk dan tertidur.

Tak ada keanehan terjadi hingga aku merasa sangat bersemangat menjalani hari. Bahkan aku sangat ingin mengikuti latihan olah keprajuritan. Entah mengapa aku merasa aku sangat andal dalam bertarung meski tidak pernah sekalipun menimba ilmu keprajuritan.
Aku berlatih pada semua guru keprajuritan yang ada di lingkungan istana. Mereka cuma bisa pasrah mengajariku. Banyak yang membicarakanku dari belakang, banyak juga yang takut posisinya aku rebut karena prestasiku yang menanjak signifikan.

Ayahku menyadari, kalung bunga itu telah aku kenakan. Namun ia tidak punya pilihan lain selain membiarkan dan terus mendukung upayaku mencari pengajaran keprajuritan. Aku bahkan mengembara ke kerajaan lain demi ilmu keprajuritan, banyak yang menolak karena perempuan tidak seharusnya berlatih ilmu keprajuritan. Banyak pula yang menerima.

Aku tumbuh dengan berbagai pengajaran peperangan, mulai dari strategi tempur, bela diri, senjata perang, bahkan beberapa ajian aku kuasai. Aku dikenal sebagai perempuan pertama yang mampu menyamai laki-laki dalam hal keprajuritan.

***

Namun bukan itu puncak ketenaranku. Kisah tadi belum seberapa. Suatu waktu, datang kepadaku sebuah kabar mengenai perang akbar yang akan digelar di padang Kurusetra. Semangat keprajuritanku berkobar, tak ingin rasanya menyia-nyiakan pelatihan yang selama ini kujalani.

Setelah mendengar pihak mana yang berperang, aku langsung tertarik untuk merapat ke kerajaan Indraprasta. Namun mereka menolakku, tidak semestinya wanita turut berperang, katanya. Tiba-tiba suara itu hadir lagi, menyuruhku untuk bertapa di hutan.

“Bertapalah, datang lagi pada saat mereka benar-benar putus asa. Mereka akan mencarimu ketika mereka benar-benar membutuhkanmu.”

Aku mengikuti saran bisikan itu. Aku pun menuju gua di dalam hutan tak jauh dari kamp pasukan Indraprasta, supaya mudah dicari, pikirku. Aku memulai pertapaanku.

Tak ada yang ganjil saat aku menjalaninya. Aku selalu mencoba memfokuskan diri pada tujuan yang ingin kucapai ketika perang nanti. Kemenangan. Ya, barangkali.

Tetapi ternyata tidak, pikiranku selalu tertuju pada seorang pendeta tua yang gagah perkasa. Parasnya selalu terngiang-ngiang di kepalaku.

Mungkinkah ia kejayaanku? Tanyaku dalam hati.

“iya, habisi dia, tikam dia dengan ribuan anak panahmu, dialah puncak hasratmu, dialah ketenaranmu!” tiba-tiba suara itu menjawab dengan semangat yang berapi-api.

Hari ke enam telah lewat. Aku merasa harus keluar dari gua ini. Ketika keluar betapa kaget diriku, aku berubah menjadi laki-laki. Apa-apaan ini, amukku dalam hati. Bisikan hadir lagi, “jangan terkejut, mulai sekarang kau adalah seorang pria gagah. Bukankah kau menginginkan kejayaan, ketenaran?”

Aku hanya bisa pasrah, aku menerima diri sebagai laki-laki seutuhnya.
Hari itu pula kuputuskan untuk mengusaikan pertapaanku. Aku berjalan menuju kamp kubu Indraprasta.

Di sepanjang jalan menuju kamp utama terasa begitu menyedihkan, aku tidak menemukan raut muka penuh keyakinan sebagaimana raut prajurit sejati. Hanya muka murung, raut kekecewaan, dan keputusasaan yang meliputi muka para prajurit Indraprasta. Mereka tak lagi memandangku rendah, bahkan pimpinan mereka melihat aku sebagai sebuah harapan.

Umpama lilin kecil di gelapnya malam, tak ada yang mampu menghalangi cahayaku.
Aku diizinkan turun besok, dan menjadi senapati. Senapati sebelumnya pun dengan senang hati menjadi sais keretaku.

Tak kusangka kesempatan ini kuraih, pertama kali turun perang dan langsung menjadi pimpinan perang. Tak akan kusia-siakan kesempatan ini, ucapku pada pimpinan kubu Indraprasta.

Hari yang kunanti pun tiba, genderang perang dibunyikan.

“kau tahu mengapa saat perang genderang ditabuh bersahut-sahutan tanpa jeda? supaya ketakutanmu menghilang dentuman genderang menggantikan kegugupanmu.”

Aku berdiri di barisan depan, merasa gagah di atas kereta kuda senapati. Bukan main jumlah pasukanku, ratusan, ribuan, jutaan, ah entahlah aku tak ingin menghitung jiwa-jiwa yang rela mati demi diriku, demi kubu Indraprasta.

Trompet perang ditiup, tanda aku harus maju, aku harus menang, aku harus tenar. Kuperintahkan pasukan penggedor untuk membuka jalanku supaya bisa merangsek masuk pertahanan musuh.

Barisan pertahanan musuh runtuh, aku masuk melalui celah yang dibuka pasukan penggedor. Di dalam pertahanan musuh seperti arena pertarungan. Semacam lingkaran besar yang dikelilingi para prajurit. Di dalam lingkaran besar berdiri seorang pendeta tua yang mengganggu pertapaanku kala itu.

Tak kusangka jantungku berdetak cepat, lebih cepat dari dentuman genderang yang bersahutan. Tiba-tiba ia melesakkan anak panahnya tepat di depan kaki kudaku. Kereta seketika berhenti, nyaris kehilangan keseimbangan karena kuda kaget akan bahaya yang hampir mengenainya. Kelihaian sais memang tak tertandingi, ia mampu menguasai keadaan dan langsung maju, menuju pendeta tua yang membuat ciut nyali prajurit kubu Indraprasta.

“ialah kemenanganmu, ialah kejayaanmu, ialah ketenaranmu!”
Aku pun meletakkan anak panah di busur, menarik tali busur dengan mantap.

“selalu ada rasa yang tak sempat dirasai ketika maut menjelang
selalu ada kata yang tak mampu disampaikan melalui kalimat yang terucap tetapi rasa dan kata selalu ada kini kulepaskan rasa dan kata yang tak mampu tersampai padamu hanya kepadamu…”

Anak panah melesat dengan mantap, menancap tepat di dada pendeta Tua.
“kau tahu mengapa pujangga suka berkata-kata? ia selalu merasa ingin meledak jika kata-kata sudah memenuhi pikiran
tetapi ia tak pernah meledak
ia hanya merasa akan meledak
dan kata hanyalah susunan huruf belaka tanpa rasa jika kau menghendaki demikian
maka terimalah rasaku.”

Puluhan, ratusan, ribuan, entah sudah berapa anak panah kulesakkan. Tetapi masih ada yang mengganjal di hatiku, semacam rasa, semacam parasit, seumpama benalu. Aku harus mencabut benalu ini.

“sudah berapa rasa kusampaikan
sudah berapa kata tersampaikan
dan utang tak pernah lunas”

Dan akhirnya, ah. pendeta tua itu roboh, satu panah ia lesakkan. Menancap tepat di depan kaki kudaku lagi. Aku meninggalkan arena pertarungan.

Benalu sudah tercabut beserta rantingnya. Apakah rasamu tersampaikan?, tanyaku dalam hati.

“terima kasih, ini cukup,
meski kalimat tidak dimengerti sepenuhnya, meski rasa tak mampu dirasa seutuhnya.”

 

Khoirul Faisal adalah karyawan swasta di Ibukota Jakarta yang sering menghabiskan sebagian waktunya untuk menulis.

Tags: Fiksi Akhir Pekan

BERITA MENARIK LAINNYA

Ketika Daun Gugur di Antapani Bernyanyi
Fiksi Akhir Pekan

Ketika Daun Gugur di Antapani Bernyanyi

27/02/2022
Si Kimpluk: Keliru Boleh, Salah Jangan! (2)
Fiksi Akhir Pekan

Si Kimpluk: Keliru Boleh, Salah Jangan! (2)

20/02/2022
10.080 Menit
Cecurhatan

10.080 Menit

12/02/2022

REKOMENDASI

Hiperrealitas Norma dalam Film KKN Desa Penari

Hiperrealitas Norma dalam Film KKN Desa Penari

17/05/2022
Stop! Perempuan Bukan Objek Kekerasan

Stop! Perempuan Bukan Objek Kekerasan

16/05/2022
Bukan Tutorial Move On Bagi Yang Patah

Bukan Tutorial Move On Bagi Yang Patah

15/05/2022
MotoGP Mandalika dan Dampak Positif Bagi Perekonomian NTB

MotoGP Mandalika dan Dampak Positif Bagi Perekonomian NTB

14/05/2022
Cegah Pungli dan Gratifikasi, Bapenda Bojonegoro mulai Terapkan Cashless

Cegah Pungli dan Gratifikasi, Bapenda Bojonegoro mulai Terapkan Cashless

14/05/2022
Serba Serbi Akhir Ramadhan Hingga Awal Lebaran

Serba Serbi Akhir Ramadhan Hingga Awal Lebaran

13/05/2022

Tentang Jurnaba - Kontak - Squad - Aturan Privasi - Kirim Konten
© Jurnaba.co All Rights Reserved

No Result
View All Result
  • HOME
  • PERISTIWA
  • KULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • ALTERTAINMENT
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • TENTANG
  • KONTAK

© Jurnaba.co All Rights Reserved