Kakiku sudah tidak berat lagi, kuputuskan mencari kalung bunga di pintu ini. Aku menemukannya bukan di pintu masuk utama, melainkan pintu tertutup yang kata ayah tidak boleh dibuka.
Kau tahu rasanya jadi terkenal? Aku yakin kamu pasti belum pernah merasakan. Maksudku kamu pasti pernah merasa terkenal atau setidaknya dikenal, namun kamu pasti belum pernah merasa se-terkenal diriku.
Iya, aku. Kamu pasti mengenalku. Beberapa tahun yang lalu muncul film yang mencantumkan namaku.
Itu bukan berlebihan, aku pantas mendapatkannya. Kalian yang hanya mengenal namaku tahu apa tentangku? Sekadar nama, iya, nama yang agung, sering digaungkan.
Dijadikan simbol keperkasaan wanita, pemimpin wanita, pokoknya simbol wanita yang mampu mengalahkan pria. Bukan di atas ranjang tentunya.
Dan kalian tak pernah benar-benar tahu mengapa aku begitu hebat. Yang kalian tahu, aku wanita gagah perkasa. Membantu Pandawa berpesta darah saudaranya sendiri.
Aku juga tak tahu mengapa hal ini terjadi. Tapi, persetanlah, yang penting aku terkenal karenanya. Bahkan ketenaranku lintas zaman, peradaban, era, barangkali ini menjadi sepanjang masa. Siapa peduli, yang penting aku tenar, hasratku terpenuhi.
Hasrat semasa kecilku. Iya aku menginginkan ketenaran sejak kecil.
Tepatnya ketika aku masih berusia 15 tahun. Ketika itu aku diajak ayah keluar istana. Oh iya belum aku beri tahu, aku ini putri raja. Dan sebagaimana putri raja, aku pasti cantik bukan seperti kalian yang hanya bisa mendambakan ketenaran tapi wajah pas-pasan.
Aku mengingat betul saat-saat aku pertama kali mendambakan ketenaran. Saat itu aku sedang memperhatikan para penduduk bersorak-sorai menyambut kedatangan lima kesatria. Sambutan mereka meriah. Lebih meriah jika dibandingkan ketika rombongan kerajaan melintas.
Aku ingat betapa riuh teriakan penduduk saat itu. Bahkan mereka rela berdesakan demi melihat lima pahlawan itu melintas. Kelima kesatria itu tetap berjalan dengan dinginnya, sesekali tentu mereka menyapa penduduk kami.
Ksatria yang mulanya hanya berjalan berlima kini memiliki rombongan yang bukan main jumlahnya. Bilang saja puluhan, eh ratusan, barangkali ribuan. Entahlah aku malas menghitungnya, yang kutahu jumlah mereka sangat banyak ketika sampai di gerbang istana.
Ayahku menyambutnya seakan-akan mendapat tamu seorang Maharesi. Bukan-bukan, seakan-akan mereka raja dan ayahku rakyat jelata, merekalah yang mengunjungi rumah reyot kami. Dan kami harus bersusah payah menyambutnya.
Bahkan ketika mereka berpamitan, ayah memberi mereka hadiah. Bukan main hadiahnya, satu buah batu permata masing-masing dari mereka mendapat satu. Bukan main cantiknya. Aku, putri bungsunya sendiri tidak pernah mendapat hadiah secantik itu. Tidak-tidak, aku tidak menginginkan permata. Aku suka hadiah. Barangkali jika aku setenar mereka, aku bakal mendapat banyak hadiah.
Mulai detik itu aku selalu memikirkannya. Bagaimana mungkin aku tenar. Aku hanyalah perempuan. Kalaupun aku tenar, itu pasti berkat suamiku kelak. Jika begitu, aku bukan benar-benar tenar, suamiku yang tenar.
Aku terus memikirkannya, hingga tak bisa tidur. Di hari yang sama saat melepas mereka berlima. Aku benar-benar tak bisa tidur. Aku pun memaksakan diri untuk berbaring di ranjang. Uh, sial! Tetap saja mata ini tak mau terpejam. Percuma aku mencoba tidur, kuputuskan untuk berjalan-jalan di taman. Berharap kantuk menghampiriku.
Malam semakin larut, taman tampak semakin indah bertaburkan bintang di angkasa. Obor yang dinyalakan sejak surup menambah cantiknya taman yang dibangun kakekku ini. Aku mencoba menikmati suasana malam ini, berharap kegelisahanku mau mereda.
Ah, ternyata sia-sia. Lalu kuputuskan untuk menghabiskan malam di kamar saja, meski tidak tidur. Langkah kakiku terasa berat meninggalkan taman, seakan-akan ada yang menahanku untuk tinggal lebih lama.
Aku paksakan langkahku meski terasa semakin berat. Ketika berada di pintu masuk taman, aku mendengarnya. Bisikan yang menuntunku menuju ketenaran. Aku ingat sekali apa yang suara itu katakan.
“hey, kau, berhentilah sejenak!”
Benar saja, kakiku tidak bisa digerakkan. Sedikit takut, tapi aku beranikan diri. Toh hanya suara, pikirku.
“Apa kau benar-benar menginginkan ketenaran?”
Ingin sekali aku menjawab, “sudah pasti”, namun mulutku tak bisa mengucap sepatah katapun.
“ambil kalung bunga di pintu masuk taman ini, kenakanlah! Dan aku akan membimbingmu.”
Kakiku sudah tidak berat lagi, kuputuskan mencari kalung bunga di pintu ini. Aku menemukannya bukan di pintu masuk utama, melainkan pintu tertutup yang kata ayah tidak boleh dibuka.
Khoirul Faisal adalah karyawan swasta di Ibukota Jakarta yang sering menghabiskan sebagian waktunya untuk menulis.