Ngopi di warkop jadi momen membaca dan membahas buku, sesungguhnya bukan sebuah ilusi, asal dilakukan.
Mungkinkah warkop menjadi tempat membaca? Pertanyaan penulis ini sungguh dalam. Menusuk hati. Menyasar siapa saja. Utamanya, pembaca yang saben hari berlama-lama di warung kopi (Warkop).
Perlu diketahui, tulisan ini dibuat tidak lantas benci dengan “nongkrong” di warkop. Tidak setuju dengan aktivitas kawula muda di warkop. Toh penulis sendiri juga doyan pergi ke warkop. Sering ketemu teman-teman di warkop.
Justru, tumbuhnya warkop baik di Dusun, Desa, Kecamatan, Perkotaan, di Bojonegoro ini, menjadi penanda mudah bila perekonomian tetap bergerak meski badai Covid-19 belum dicabut statusnya.
Warkop dengan berbagi kelebihan setting tempat mulai dari lesehan, mini bangku, hingga kursi panjang, plus “free wifi”, memberi kenyamanan kawula muda untuk berlama-lama nongkrong.
Pemilik warkop genius membidik kebutuhan pelanggan. Cukup dengan akses internet gratis, pengkopi -penikmat kopi- bisa leluasa berlama-lama dengan gadget di warkop. Toh dari sisi rupiah, secangkir kopi hitam hanya dikisaran harga 3.000-nan.
Di Warkop, pengkopi asyik se-asyik-asyiknya dengan gadget masing-masing. Apalagi, tempat chas gadget juga tersedia bila batrai habis. Alhasil, update status “foto cangkir kopi”, atau “rokok yang ditempeli ampas kopi” dengan caption “udud rasa kopi, nikmat sekali” dilakukan.
Selanjutnya, game favorit mulai dimainkan hingga hasrat memenangkan level yang tinggi terpuaskan. Itulah gambaran singkat aktivitas warkop hasil riset kecil penulis.
Warkop Literasi
Keinginan agar warkop tidak hanya menjadi tempat nongkrong “mis-edukasi” inilah yang ingin penulis urai. Sebagai pribadi yang senang dengan aktifitas membaca, di manapun tempatnya membaca mestinya dikampanyekan.
Jangan dulu berpikiran, bila warkop bukan tempat membaca. Jangan pula berpikiran bila penulis sok idealis. Karena dari lubuk hati yang paling dalam, penulis ingin warkop selain menjadi tongkrongan juga menjadi tempat membaca yang mengasyikkan.
Penulis sadar, kebiasaan membaca itu butuh penguat banyak institusi. Terlebih, institusi perpustakaan di daerah belum sepenuhnya berhasil mengkampanyekan kebiasaan membaca.
Seiring dengan Covid-19 pula, perpustakaan kampus yang masih manual -belum e-library- mati suri dari aktivitas literasi. Lembaga pendidikan juga sama, yang tidak memiliki sarpras perpustakaan, tentu sudah bisa pembaca bayangkan bagaimana kelangkaan literasi yang terjadi.
Jika demikian yang terjadi, penulis teringat dengan penyampaian Guru Besar Kedokteran Unair, Nicolaas C. Budhiparama, dalam opini kritisnya di harian nasional (25/2), bila peneliti kampus, sudah seharusnya dalam Tri Dharma -bidang Penelitian dan Pengembangan- memfokuskan pada persoalan lokal untuk dijadikan objek penelitian.
Sebagai contoh, kata beliau yang ekspert di bidang orthopedi dan traumatologi, problem lokal masyarakat Indonesia terkait penyakit “sendi” telitilah bila ingin memberi manfaat dan solusi nyata atas masalah yang terjadi di masyarakat.
Begitu dengan penulis yang masih belajar dan belajar menjadi peka terhadap kondisi literasi. Hanya ingin coba meng-clear-kan, bila warkop yang menjadi tempat tongkrong favorite kawula muda dihadirkan pula sarana untuk membaca.
Bisa berupa langganan koran, penyedian buku berwujud “pojok baca”, hingga kata-kata berhikmah tentang himbauan membaca yang diwujudkan dalam taplak meja, identitas “nomor” pelanggan meja, hingga poster-poster di tembok.
Semua sarana tersebut agar warkop tidak hanya menjadi tempat hilangnya waktu produktif beraktifitas dan berakhir sia-sia. Akan lebih baik, bila kelama-lamaan di warkop dijadikan waktu untuk membantu pekerjaan orang tua baik yang berprofesi sebagai petani, pedagang, peternak, dan aneka profesi lainnya.
Waktu yang terbuang lama, tentu bila digunakan untuk membaca akan ada wawasan yang diinputkan ke otak. Celakanya, kawula muda hari ini tidak suka membaca. Membaca bagi kawula muda masih berat. Ringan bergelut dengan aneka aplikasi gadget.
Entah itu Instagram-an, WhatApp-an, Facebook-an, Twitter-an, TikTok-an, YouTube-an, dan lain sebagainya. Semua yang ada dalam gadget terlalu menggoda, melalaikan kesadaran, dan tanpa sadar ada semacam “candu” dengan gadget. “Seakan-akan” tidak bisa hidup tanpa melihat dan berlama-lama menatapnya.
Benang merahnya, saat tongkrong di warkop, siapkah pembaca jadikan pula sebagai tempat membaca? Cukup jawab dan segera laksakan agar tidak ilusi. Terima kasih.
* Penulis adalah Pegiat Literasi, Dosen UNUGIRI, dan Mahasiswa Doktor UIN Walisongo.