Berkesenian, bagi Yanto Penceng, adalah laku spiritual. Tak hanya memainkan, Yanto juga ahli membuat berbagai instrumen kesenian.
Tangannya menampar kajon dengan penuh perhitungan. Dari tamparan itu, ia mampu menciptakan ritme yang kemudian diikuti betotan bass dan cabikan senar gitar. Sesekali, ia juga mengambil mic dan menyanyikan sejumlah nomor. Rambutnya yang gondrong sampai punggung, kerap ia gelung agar tak merepotkan.
Yanto Penceng. Begitu orang-orang menyebut namanya. Ia bisa memainkan, hampir semua instrumen musik. Kajon (drum), bass, gitar, bahkan sesekali, suaranya yang mirip Roy Jeconiah juga terdengar ketika dia mengambil microphone. Benar jika dia bisa memainkan semua instrumen. Terutama gitar, bass, dan drum (kajon).
Namun yang menarik, Yanto tak hanya bisa memainkan, tapi juga lihai mencipta peralatan. Berbagai instrumen musik tercipta dari tangan dinginnya. Mayoritas peralatan musik (gitar, bass, atau kajon) itu, dia bikin dari bahan-bahan kayu bekas.
”Bass ini buatan sendiri, dari bahan kayu bekas” ucap Yanto sambil menunjuk gitar bass yang dia mainkan.
Yanto bercerita, gitar bass itu dia bikin sendiri dari kayu bekas. Tak hanya bass, kata dia, beberapa gitar juga pernah dia bikin dari kayu-kayu bekas. Namun, gitar-gitar buatan tangannya itu kini sudah terjual. Pemanfaatan kayu bekas menjadi alat musik, memang sudah dia lakukan sejak lama, terutama saat ada pesanan.
Yanto sempat mengajak kami berkunjung ke rumah, sekaligus bengkel dan studio seninya yang terletak di sudut Gang Sedeng Bojonegoro. Di rumah yang dipenuhi berbagai peralatan seni itu, Yanto biasa mengerjakan sejumlah pesanan. Gang Sedeng yang masyhur akan keberadaan para seniman itu, memang terasa lengkap dengan kehadiran studio seni Yanto Penceng.
“Memang saya pelajari secara otodidak. Bukan lewat sekolahan, tapi saya pelajari secara otodidak” kenang Yanto.
Yanto berkisah, seperti umumnya anak-anak muda Bojonegoro pada 1990-an, dia bersama kawan-kawannya pun pernah membikin band musik di Bojonegoro. Kala itu, musik yang dia mainkan lebih condong ke aliran metal. Sebab, Bojonegoro pada era 90-an, pernah kondang sebagai gudangnya musik underground (metal). Yanto masih mengalami atmosfer ketika Bojonegoro identik pagelaran musik cadas itu.
Selain mempelajari seni musik secara otodidak, Yanto juga pernah mempelajari bidang seni lain seperti tari, lukis, maupun pahat dan seni ukiran. Dia kerap sekali mempelajari seni untuk menguasai pakem-pakem dasarnya. Sehingga setelah itu, dia kembangkan sendiri dengan improvisasi. Meski ia pelajari secara otodidak, tak heran jika ia menguasai sejumlah pakem seni seperti musik maupun lukis dan rupa.
”Semuanya (musik, lukis, maupun pahat) saya pelajari secara otodidak”. Imbuhnya.
Keahliannya di bidang membikin alat kesenian, juga membawanya terlibat dalam pembuatan berbagai instrumen pagelaran seni. Termasuk membuat wayang, reog, hingga barongsai cina. Pria yang pernah bergabung dengan kesenian Klentheng Bojonegoro ini bahkan sempat identik sebagai pembuat barongsai. Terkait barongsai ini, dia tak hanya bisa membuat, tapi juga pernah melatih gerak para pemainnya sekaligus.

Bagi Yanto, berkesenian adalah laku spiritual. Dari semua kegiatan seni yang pernah dia tekuni, kesenian barongsai justru yang paling melekat. Sebab, barongsai buatan Yanto cukup terkenal hingga ke berbagai daerah. Beberapa pesanan barongsai kerap dia terima dari luar pulau seperti Medan, Sulawesi, hingga Kalimantan.
“Untuk pesanan barongsai, Bojonegoro justru sedikit. Paling banyak dari Medan, Selawesi hingga Kalimantan”. Ucap dia.
Sampai saat ini, selain dikenal sebagai tukang servis alat musik, pahatan kayu, hingga seni graffiti, Yanto juga dikenal sebagai pembuat wayang dan barongsai. Semua keahlian itu, kata Yanto, memang dipelajari secara otodidak. Sebab menurut dia, segala macam seni jika ditelateni memang akan memunculkan kemahiran. Cuma, untuk telaten dan tidak, kembali lagi pada minat orangnya.
Dengan berbagai keahlian itu, kini Yanto memang kerap mengerjakan bermacam seni seperti servis gitar dan pembuatan kajon. Terutama yang berhubungan dengan kerja-kerja pertunjukan. Mulai dari panggung, peralatan, hingga tentu saja properti pertunjukan sekaligus.
“Kalau saat ini memang lebih dikenal sebagai pembuat properti kesenian, terutama saat momen karnaval”. Kata Yanto.
Seni yang Menghidupkan
Yanto mengaku, sampai saat ini, khususnya di Bojonegoro, kesenian memang cukup sulit terhubung langsung dengan penghidupan. Ini alasan banyak seniman yang banting setir menjadi pekerja praktis, hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena itu, Yanto beserta para warga tempat dia tinggal bercita-cita membangun ekosistem ekonomi yang lahir dari kegiatan seni.
“Lebih tepatnya ekosistem kesenian yang bisa menghidupi” Ucapnya.
Yanto berrsama warga Gang Sedeng, memang memiliki cita-cita kolektif untuk membangun ekosistem tersebut. Sejak bertahun-tahun silam, dia beserta warga kerap menggelar acara seni akhir pekan di sudut Gang Sedeng Bojonegoro. Kegiatan itu, selain menjaga keakraban warga, juga ditujukan untuk membangun ekosistem seni yang menghidupi.
Warga Gang Sedeng memang terkenal sangat kompak menggelar acara kesenian. Hampir setiap akhir pekan, masyarakat berkumpul di sudut gang untuk menggelar pentas musik kerakyatan. Kegiatan tersebut dikerjakan secara swadaya masyarakat. Kekompakan warga inilah, yang membuatnya optimistis bahwa kesenian benar-benar bisa menghidupi warganya.
Saat ini, kegiatan pergelaran musik akhir pekan itu memang masih berskala kecil. Namun suatu hari nanti, kata dia, siapa tahu akan berkembang menjadi Bazar Kesenian dan Kuliner yang dihelat setiap akhir pekan. Sehingga warga sekitar pun bisa mendirikan UMKM. Ini yang dia cita-citakan sebagai Seni yang Menghidupkan.
“Memang saat ini masih skala kecil. Tapi dengan warga yang sangat kompak, suatu hari nanti pasti akan menjadi Bazar Seni dan Kuliner tiap akhir pekan” angannya.








