Passion memang berbeda dengan profesi. Tapi, profesi yang ada passion di dalamnya, jauh lebih punya daya hidup dibanding passion yang ada unsur profesional di dalamnya sekalipun.
“More than my profesionalisme, I believe my passionalisme will see me through many more years of service to all of you.” Begitu kata Shahrukh Khan, saat memperingati 28 tahun karir profesionalnya sebagai sosok penting dunia perfilman Bolywood.
Tapi, seberapa puitis dan hebat kalimat motivasional di atas, harus dipahami bahwa tak semua manusia bakal mendapat momentum hidup serupa legenda film Bollywood itu.
Nabs, mereka yang memiliki hobi dan kecintaan tertentu terhadap sebuah entitas kegiatan — yang dari sana muncul label “pekerjaan” — memang terbukti lebih betah melakoni kegiatan itu, meski label “pekerjaan” telah memudar darinya.
Ini contohnya: Berawal dari hobi, ternyata bisa jadi uang; hobi kalau ditekuni ternyata bisa jadi uang; pekerjaan yang enak adalah pekerjaan yang diawali dari hobi; dan sederet judul motivasional itu adalah contoh betapa hobi yang jadi pekerjaan adalah sebuah kemewahan.
Dan, telinga manusia kita kerap kali mendapat sugesti ideal bahwa kerja yang dilandasi hobi lebih menyenangkan. Lebih asyik dan lebih seru dijalankan. Tentu itu benar adanya. Tapi, serupa jodoh dan nasib manusia, tak semua hal harus berjalan pada kesesuaian rencana.
Sebab tentu, kita juga sering mendengar banyak hal-hal indah yang didasari ketidaksengajaan. Segala yang jauh dari rencana, bisa menjadi sesuatu yang amat disyukuri ketika realitas bisa dipeluk dengan segenap rasa syukur.
Seorang responden, yang kini bekerja sebagai pegawai perbankan, mengaku tak pernah bercita-cita menjadi apa yang mereka lakukan saat ini. Dia, awalnya, ingin jadi pegawai BUMN atau PNS atau pengusaha.
Tapi hidup, kadang amat epic hingga mendamparkan banyak rencana pada kenyataan yang tak sempat diperkirakan sebelumnya. Dan uniknya, dengan bekerja di perusahaan finance atau perbankan, dia justru merasa terselamatkan.
Rasa terselamatkan inilah, pada akhirnya, yang membuat segenap hatinya mampu memeluk dan menikmati kenyataan. Serupa jodoh yang awalnya tak berlandaskan rasa cinta. Namun momen saling mencinta hadir akibat terbiasa bersama.
Responden lain, justru punya keyakinan berbeda. Menurut dia, hobi dan pekerjaan harus berbeda. Harus tidak sama. Sebab, hobi jika dijadikan pekerjaan, unsur hobinya akan hilang. Unsur senang dan main-mainnya akan hilang.
Karena itu, hobi dan kerja harus dipisah dan tak bisa disatukan. Agar saat lelah bekerja, ada hobi yang dikerjakan. Sebab jika hobi adalah pekerjaan, menurut dia, saat lelah bekerja, tak ada hobi yang dikerjakan. Karena menjalankan hobi rasanya seperti kerja, kerja dan kerja lagi.
**
Melihat dua responden memaknai profesi dan hobi, membuat Jurnaba ingin berpendapat. Meski tentu, pendapat ini tidak harus mereka dengar. Bagi Jurnaba, bekerja sesuai hobi itu asik. Tapi pekerjaan juga tak melulu harus dilandasi hobi.
Bisa punya pekerjaan yang dilandasi hobi adalah keistimewaan. Tapi bukan berarti bekerja tak sesuai hobi adalah kutukan. Dua hal itu, bagi Jurnaba, ada unsur menyenangkannya. Asal, ada daya hidup yang dilakukan. Diupayakan.
Kenapa?
Karena kadang hidup tak harus sesuai hobi. Tak semua dalam hidup harus sesuai dengan apa yang kita ingini. Tapi, mendapat sesuatu yang tak diingini, bukan berarti harus membuat langkah kaki kita terhenti.
Hidup harus fleksibel. Lentur dan gak gampang ambruk. Harus selalu punya daya hidup. Harus punya daya tahan menyiasati kesengsaraan dan kesusahan hidup.
Passion memang berbeda dengan profesi. Tapi, profesi yang ada passion di dalamnya, jauh lebih punya daya hidup dibanding passion yang ada unsur profesional di dalamnya sekalipun.
Sebab dari sana, daya hidup menyiasati kesusahannya benar-benar ada. Daya tahan dan daya juang begitu terasa.
Istilahnya, passionalitas profesionalisme. Atau Passionalisme profesionalitas. Menanam daya di dalam profesi. Bukan sekadar hobi yang berbonus profesi.