Tiga belas nama, tiga belas bunga bangsa, hilang ditelan rahasia. Tiga belas nama, tiga belas bunga bangsa, hilang di sembilan delapan.
Itulah kutipan reff lagu “Kamisan” yang dinyanyikan Suarmarabahaya, yang kuhafal semenjak mendengarnya saat aksi panggung rakyat di depan Balai Kota Surabaya, untuk memperjuangkan Waduk Sepat dan pembebasan dua aktivis yang dikriminalisasi waktu itu.
Satu dari tiga belas nama adalah Wiji Thukul, sosok aktivis cum penyair yang begitu ditakuti Orde Baru. Ia lahir pada 23 Agustus 1963, ada juga yang bilang 26 Agustus 1963. Tepatnya di Kota Solo, sama dengan Jokowi, hanya beda nasib. Biar tidak kecepetan atau kelamaan, manaqib ini saya tulis hari ini saja.
Thukul dilahirkan dari kolong kemiskinan, bapaknya tukang becak sampai ia turut kerja serabutan. Baru saja sebentar mencecap pendidikan di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, ia harus keluar demi biaya sekolah adik-adik bungsunya. Namun ia suka sekali mengarang puisi sejak SD, dan mendeklamasikannya di depan teman sepermaian dan teman sekerjanya.
Sajak-sajak perlawanannya itu bukan timbul dari ruang hampa, tapi berangkat dari kondisi objektif yang penuh kegetiran, sehingga mampu menggerakkan massa untuk memperjuangkan kebenaran.
Benar kata Eko Prasetyo, jadi pejuang itu tidak mudah, banyak ancaman dan tikaman di sekitar kita. Bukan karena ajaran yang berbahaya tapi kebenaran memang harus menaklukan berlapis-lapis durjana.
Dan dia, Wiji Thukul, harus membayar mahal keberaniannya dengan umur, tenaga, dan luka, seperti yang dinyanyikan putra bungsunya, Fajar Merah.
Thukul adalah manusia biasa, bukan malaikat ataupun dewa, tapi entah mengapa dia tak mati-mati. Karena tak pernah ada kabar jika dia sudah meninggal, semenjak diculik oleh militer Orba pada Juli 1998 silam.
Maka hingga detik ini, putri sulungnya, Fitri Nganti Wani, menganggap Thukul masih hidup. Barangkali iya, tentu yang tahu keberadaannya hanya Allah SWT dan si penculiknya itu.
Wiji Thukul aktif berorganisasi untuk membersamai rakyat. Tahun 1992, dia aksi bersama penduduk sekampungnya di Jagalan, memprotes pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo.
Tahun 1994, dia ikut aksi petani di Ngawi untuk mendapatkan akses atas tanah. Lalu tahun 1995, dia turut mengorganisir buruh PT Sritex Sukoharjo untuk mendapatkan hak-haknya, sampai mengalami cedera mata kanan akibat dibenturkan mobil oleh aparat. Tak berhenti di situ, Thukul masih berani lantang bersuara di hadapan Orba yang militeristik, lantas ia hilang tanpa jejak.
Tapi tetap saja dia tak mati-mati, spirit api pemberontakannya terus berkobar-kobar. Karena dia telah mewariskan kepada kaum muda dan kaum yang terus berjiwa muda, dua pusaka utama: keberanian dan konsistensi.
Jika Nabi menunjukkan kita mana yang haq dan mana yang batil, itu perlu dibarengi dengan keberanian dan konsistensi, sebagai senjata ampuhnya.
Maka sudah sepantasnya jika hari ini, kita ikut ramai-ramai menjegal RUU Omnibus Law Cipta Kerja, yang mau memperbudak masyarakat. Dan jika kita hidup di pedesaan, coba telaah ketimpangan akses pada tanah, banyak tanah-tanah desa justru dilelang kepada kalangan orang berpunya.
Lalu akses pada air, banyak waduk yang dikomersilkan puluhan juta, sehingga hamparan sawah di sekitarnya kering keretakan. Belum lagi, datangnya korporasi multinasional kemari, menyulap sawah menjadi tambang minyak dan gas.
Tentu saja memberkahi bagi pemerintah daerah atas alokasi dana meski hanya secuil, dan elit-elit desa yang dapat jabatan mapan. Tapi rakyat sekitar yang dapat getahnya, kalau nggak jadi buruh kasar, ya jadi penonton belaka, menikmati senja sambil melihat nyala-nyala api dari cerobong Migas.
Dan jika hidup di bantaran Bengawan Solo, di sana banyak rumah yang terancam longsor akibat rusaknya sempadan sungai. Justru diperparah dengan penambangan pasir di sepanjang bantaran bengawan. Bisa-bisa sekali sungai meluap, satu dua meter tanah bibir sungai ikut amblas terbawa.
Semuanya ini merupakan situasi objektif saat ini, sudah jelas mana yang adil dan mana yang timpang, mana yang keberlanjutan dan mana yang merusak. Di samping itu, sudah banyak di antara kita yang berorganisasi.
Tinggal selanjutnya adalah bagaimana kita turut memperjuangkan kemaslahatan umum dengan pedang bermata dua, keberanian dan konsistensi. Atau justru memilih untuk diam, lalu diam-diam melacurkan diri pada penguasa.
Akhirnya, tak lupa saya mengucapkan Selamat Ulang Tahun kepada Wiji Thukul yang ke 57, dan perkenankan saya mengutip sajakmu sebagai penutup tulisan ini.
Apa guna punya ilmu tinggi
Kalau hanya untuk mengibuli
Apa guna banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu
Dimana-dimana moncong senjata
berdiri gagah
kongkalikong
Dengan kaum cukong