Luapan amarah seseorang, sangat berbahaya bagi alam dan tata surya. Satu orang saja yang marah, bisa menyebabkan sungai meluap, banjir, hingga gempa. Lalu, apa yang terjadi jika marahnya secara kolektif?
Saya lahir dan menghabiskan masa kecil di sebuah desa di dekat bantaran Bengawan Solo. Di desa tersebut, hampir tiap tahun selalu ada banjir yang memaksa saya dan teman-teman libur sekolah. Maklum, sekolah kami kebanjiran.
Saat banjir tiba, kami bersuka cita karena sekolah pasti diliburkan. Dan saat banjir pula, kami bersedih karena pasca banjir usai, kami semua harus kerja bakti membersihkan ruang kelas dari lumpur akibat serangan banjir.
Banjir jadi rutinitas libur tahunan yang menyenangkan sekaligus tidak menyenangkan bagi kami. Tapi karena sangat rutin terjadi, kami begitu menikmatinya hingga lupa bahwa yang kami hadapi adalah banjir.
Selain terkenal kawasan banjir, desa kami juga terkenal sebagai tempat yang sering longsor. Paca banjir surut, air tak mau pergi cuma-cuma, kadang ia membawa sepetak dua petak tanah untuk dibawa. Hal ini membuat pinggir sungai di desa kami berbentuk jurang.
Banjir dan longsor membuat pemukiman warga di desa kami, kian lama kian bergeser ke arah selatan, atau menjauhi bantaran sungai. Ini sangat unik, tapi nyata dan benar-benar terjadi.
Mbah Buyut, atau bapaknya kakek saya, dulu mendirikan sebuah musala di dusun kami. Uniknya, lokasi musala itu sering bergeser dari tempat asalnya. Tiap kali longsor terjadi, oleh warga, musala itu digeser agak menjauh dari bantaran.
Kini, musala itu berada jauh dari lokasi awal ia didirikan. Sementara lokasi awal ia didirikan, sudah menjadi sungai. Dulu saya sering berpikir, andai Mbah Buyut tilik omah, pasti pangling dengan lokasi musala yang telah bergeser jauh dari tempat asalnya itu.
Saking seringnya banjir dan longsor terjadi, dulu semasa kecil, saya dan kawan-kawan sering membayangkan jika banjir dan longsor adalah siluman yang agak mambu-mambu preman. Yang tiap tahun minta jatah upeti dari warga. Upetinya berupa tanah. Monster itu memakan tanah longsoran.
Lalu, siapa yang menciptakan monster itu? Siapa yang memeliharanya? Dulu saya dan kawan-kawan percaya jika monster berupa bencana banjir dan longsor itu dipelihara oleh orang yang pelit dan suka memaki-maki tetangga. Tentu saja, itu imajinasi anak-anak SD yang tak patut dipercaya.
** **
Pada 2017, saya membaca sebuah novel yang amat keren dan rumit sekaligus mengagumkan. Novel ini karya penulis asal Peru bernama Mario Vargas Llosa. Ini novel yang amat rumit tapi menyenangkan. Saking rumitnya, saya baca sampai 3 hingga 4 kali pembacaan.
Novel setebal 374 halaman itu, berjudul El Hablador atau di Indonesia, diterbitkan Oak pada 2016 dengan judul Sang Pengoceh. Novel ini konon jadi karya Vargas Llosa yang paling banyak dikaji. Sebab punya banyak sudut pandang.
Sudut pandang politik, modernisasi, industrialisasi, konservasi, mitos-mitos hingga peran buruk ilmu pengetahuan yang jadi penyebab hancurnya adat budaya masyarakat. Novel ini sangat kontroversial, hingga memancing banyak kajian.
Yang membikin novel ini agak rumit, Vargas Llosa membangun dua jalur narasi cerita. Selang-seling. Pertama, narator adalah si ‘aku’— mungkin Vargas Llosa sendiri. Sedang narator kedua adalah Saúl Zuratas, mahasiswa etnologi, kawan si ‘aku’.
Saul Zuratas adalah seorang lelaki dengan tompel besar di pipinya. Karena punya tompel, dia sering dipanggil Mascarita yang artinya muka topeng. Saul sering diolok-olok oleh kawan-kawannya. Tapi dia lelaki penyabar.
Meski kerap diolok-olok, Saul tak pernah marah. Bahkan, dengan kecerdasan argumentatif, Saul selalu mampu menanggapi para pengolok itu dengan jawaban yang elegan dan ensiklopedik, tanpa ada unsur marah sedikitpun.
Dalam sebuah adegan, Saul diejek oleh seorang pemuda, tepat di hadapan si ‘aku’. Pemuda itu mengejek wajah bertompel Saul dengan kotor nan sarkastik. Tapi Saul tak marah. Ia justru memberi jawaban hangat nan penuh referensi. Seperti tak peduli dengan olokan yang diarahkan padanya.
Respon berbeda justru dilakukan kawan baik Saul, si ‘aku’. Si ‘aku’ ini heran dengan kesabaran Saul. Si ‘aku’ langsung memukuli pemuda yang mengejek Saul sampai babak belur, tepat di depan Saul. Sebagai upaya pembalasan dan solidaritas perkawanan.
Si ‘aku’ ini sangat heran dengan kesabaran Saul. Kenapa Saul tak pernah marah sedikitpun, meski dia sering diejek orang? Hingga saking penasarannya, suatu hari, si ‘aku’ bertanya langsung pada Saul. Jawaban Saul sangat mencengangkan.
Luapan amarah, jelas Saul, amat berbahaya bagi alam dan tata surya. Ada timbal balik berbahaya antara ruh manusia dan ruh alam. Kemarahan pada ruh manusia, menyebabkan bencana pada ruh alam.
Kemarahan satu orang saja, kata Saul, bisa menyebabkan sungai meluap, kebakaran, gempa, bencana alam hingga kecelakaan. Hal itu yang membuat Saul tak pernah marah meski dia sering diejek. Sebab Saul tak ingin ada bencana alam yang terjadi akibat kemarahannya.
Ya, Saul mengatakan bahwa bermacam bencana, entah banjir, entah gempa entah kebakaran, hadir sebagai makhluk jahat yang berasal dari kemarahan manusia. Satu orang saja yang marah, kata Saul, mampu memicu bencana amat besar. Apalagi jika banyak orang.
** **
Saat Covid-19 jadi bencana pandemi internasional beberapa bulan lalu, saya langsung ingat Saul Zuratas dan keyakinannya itu. Melihat bencana Covid dengan dampak yang amat luas ini, pasti disebabkan kemarahan yang tak lahir dari satu manusia saja. Tapi banyak.
Logika Saul Zuratas begini: saat satu orang manusia marah bisa menyebabkan banjir dan kebakaran yang dampaknya mungkin hanya di suatu daerah saja, lalu, berapa banyak manusia yang sedang marah, hingga menyebabkan Corona yang dampaknya melintasi samudera?
Ya, Covid 19 atau Corona ini mungkin bisa dihilangkan ketika setiap orang mampu menekan dan menghilangkan kemarahannya. Kemarahan akibat kekalahan politik, misalnya.