City Brand atau branding kota, tak hanya sekadar merombak trotoar belaka. Bahkan, perbaikan trotoar tanpa konsep branding matang, konon hanya menghambur-hamburkan uang.
Bojonegoro memang sudah waktunya menggarap city branding secara serius. Sebab, sejauh ini, identitas dan kekhasan Bojonegoro masih samar untuk dilihat dan diingat masyarakat luar kota.
Hingga kini, Bojonegoro mau di-branding sebagai kota pendidikan atau kota budaya atau kota wisata atau kota olahraga atau kota santri atau kota industri, masih belum ada kejelasan secara pasti.
Konsep city branding diperlukan sebuah kota demi membentuk identitas dan kesan positif bagi wisatawan maupun investor. Karena itu, citra kota harus ditentukan dan dipastikan, jauh sebelum benar-benar dipublikasikan.
Di dunia bisnis, brand atau merk sangat menentukan keberhasilan perusahaan. Itu penyebab banyak perusahaan berani menggelontor dana besar demi mempromosikan brand-nya ke masyarakat luas. Tujuannya, agar brand tersebut dapat mempermudah orang lain untuk mengingat.
Dalam sektor publik pun sama. Disadari atau tidak, penerapan otonomi daerah dan semakin luasnya tren globalisasi saat ini, memicu daerah saling bersaing berebut perhatian dunia dalam perkara citra baik dan keindahan.
Alasannya sederhana. Globalisasi benar-benar nyata dan hidup di setiap sudut kota. Karenanya, citra positif sebuah kota di mata penduduk sendiri maupun penduduk dunia, menjadi sangat krusial untuk diperhatikan dan ditata secara serius.
Ingat, citra kota yang baik dan unik nan menawan, memiliki potensi untuk dikenal dunia internasional. Karena itu, sebuah daerah membutuhkan brand yang kuat. Indentitas, simbol, logo, atau merk yang melekat kuat pada suatu daerah.
Peneliti sekaligus ahli kebijakan publik asal Inggris, Simon Anholt menyatakan, saat ini, setiap negara dan kota harus berkompetisi dengan negara dan kota lainnya untuk meraih bagian dari kue turis dunia, investor, talenta, pertukaran budaya, pengunjung event dan bisnis, hingga profil baik di media internasional.
Tujuannya, untuk mendapat positioning internasional yang kuat. Sedang positioning internasional yang kuat, menurut Anholt, berarti eksisnya sorotan, reputasi, serta persepsi sebuah kota di mata masyarakat dunia — yang mana, memicu banyak dampak positif bagi daerah tersebut.
Adanya fakta tersebut, mau tidak mau, harusnya membuat Pemerintah Kota membangun citra (brand building) untuk daerahnya, termasuk Bojonegoro. Sebuah pembangunan citra, yang tentu harus sesuai dengan potensi maupun positioning yang menjadi target daerah tersebut.
Nabs, harus diakui, sejauh ini, belum ada brand maupun citra yang tepat sekaligus kuat secara formal untuk menggambarkan potensi Bojonegoro. Bojonegoro mau di-branding sebagai kota apa, kadang masih menjadi sebuah tanda tanya.
Jika kita keluar kota dan bertanya pada orang-orang di luar terkait apa yang mereka tahu tentang Bojonegoro misalnya, mayoritas jawabannya tentu minyak. Bojonegoro identik sebagai Kota Minyak. Padahal, itu jawaban yang kurang menggambarkan Bojonegoro secara jelas.
Alasannya, di banyak kota dan negara di dunia ini, sudah sangat umum kota melabeli diri sebagai Kota Minyak. Tentu, jika Bojonegoro ikut-ikutan melabeli diri sebagai Kota Minyak, kesannya kurang spesial. Dan sudah terlalu umum.
Istilah minyak, kita tahu, merupakan kata yang ambigu. Konotasinya buruk. Minyak misalnya, entah disadari atau tidak, menjadi perkara yang sering dihindari manusia. Ketika kata minyak dilekatkan pada sebuah objek, kadang memicu objek menjadi sesuatu yang dihindari dan dianggap kurang estetik.
Gorengan berminyak akan mengingatkan seseorang pada penyakit kolesterol. Sehingga, membuat orang menghindari makanan tersebut. Wajah berminyak juga kerap memicu seseorang tidak percaya diri menemui orang lain hanya karena takut dianggap kusam dan belum mandi.
Jadi, memang sudah waktunya mencari label yang sesuai untuk menggambarkan Kota Bojonegoro agar tidak selalu identik sebagai kota kolesterol dan belum mandi. Mengingat, perhatian publik internasional bukan sesuatu yang mustahil di era digital.
Beberapa penelitian mengenai implementasi city branding sudah dilakukan secara membabi-buta di kota–kota besar Eropa seperti London, Paris, Berlin, hingga Barcelona. Uniknya, tiap tempat menghasilkan brand yang berbeda dari kota lainnya.
Dalam wawancara yang sempat diterbitkan placebrandobserver.com, peneliti sekaligus ahli city branding asal Barcelona, Juan Carlos Belloso membagi wawasan tentang studi kasusnya perihal rebranding kota di Barcelona.
Menurut Belloso, tantangan rebranding Barcelona saat ini adalah memposisikan kota tidak hanya sebagai tempat untuk dikunjungi sebagai lokasi wisata, tetapi juga sebagai tempat untuk bekerja, belajar, sekaligus berinvestasi. Hal tersebut, menurutnya, lebih sustainable untuk menarik minat wisatawan.
Karena itu, kini, Barcelona tidak hanya identik sebagai kota sepakbola maupun kota yang banyak tempat wisatanya. Tapi juga tempat belajar hingga tempat berinvestasi.
Jika Eropa dirasa terlalu jauh untuk dijadikan contoh, kita bisa sejenak terbang ke Bandung sebagai kota yang dinilai sukses melakukan city branding.
Di bawah pimpinan Ridwan Kamil, banyak inovasi sektor publik yang menonjol dari Kota Bandung. Mulai hadirnya taman-taman, bus sekolah gratis, hingga mobil penyapu jalan.
Perkara semacam itu, tentu tidak mustahil jika diterapkan di Kota Bojonegoro bukan? Meski, tentu saja, lagi-lagi, butuh upaya lebih.
Pemerintah bisa memulainya dengan riset, diskusi terfokus, dan mengundang para ahli untuk memberi masukan. Syaratnya, Pemerintah harus open minded, punya kemauan dan keyakinan untuk berubah, adaptif dan responsif terhadap perubahan, serta menopang goodwill tersebut dengan kebijakan-kebijakan yang kolaboratif.
Jargon-jargon hanya cara, bukan tujuan akhir. Pemerintah jangan terjebak pada jargon-jargon yang dibuat sendiri. Aparatur Pemerintah yang menjadi penggerak juga harus menyadari ini.
Kuncinya adalah strong leadership dari Bupati dan para stakeholdernya di level pimpinan. Inovasi bisa muncul dari siapapun selama semua sepakat untuk berubah. Apapun konsepnya, Bojonegoro harus mengubah diri. Beradaptasi dengan dunia yang terus berubah.
Banyak sekali contoh yang bisa dilakukan untuk menerapkan city branding di Bojonegoro. Dari yang ala-ala Bandung hingga ala-ala Barcelona. Contoh hanya sekadar inspirasi. Bojonegoro bisa juga membuat konsep yang sama sekali berbeda.
Intinya, Pemerintah dan masyarakatnya harus mau terbuka terhadap perubahan. Ingat kunci sukses kata para motivator: orang sukses adalah orang yang tidak merasa cukup dengan ilmunya, tidak sombong dengan yang dimilikinya, dan terus berinvestasi untuk kemajuan diri dan lingkungannya.