Mencari museum di Kota Bojonegoro serupa mencari jodoh. Butuh ikhtiar dan rasa sabar. Tapi, tahu nggak kalau sesungguhnya, di tiap pojokan Kota Bojonegoro ada museumnya?
Meski ukuran kotanya tak terlalu besar, Bojonegoro termasuk kabupaten yang luas. Dengan ukuran 2.198 km, banyak kawasan mengagumkan yang berada di pinggir kabupatennya. Seseorang berkata: jika kau ingin mengagumi sesuatu, lihatlah pojokannya dulu.
“Bagaimana jika pojokan barat dulu?” kata Dito sambil mengelus-elus rambutnya.
“Barat itu arah yang bagus,” katanya, “biar mirip film Kera Sakti.”
Apapun alasannya, dan meskipun sebenarnya saya sudah agak lumayan bosan melintasinya, menuruti keinginan Dito adalah kemuliaan bagi saya. Kami memutuskan mengenal (kembali) Bojonegoro dari sisi barat. Keesokan harinya, kami berangkat.
Kami percaya diri berangkat tanpa jas hujan. Sebab langit tak menampakkan gelagat mendung sedikit pun. Meski pada akhirnya, kami berdua merutuki keputusan itu, karena sesampainya di Kalitidu, gerimis ujug-ujug berjatuhan.
Tapi bukan Dito jika tidak memberi semangat pada saya. Hujan, kata dia, tidak perlu dihindari. Apalagi cuma gerimis. Melanjutkan perjalanan sambil gerimis-gerimisan adalah keniscayaan.
Dengan kontur aspal jalan mirip jerawat anak SMP yang baru mengenal cinta, saya harus mengeluarkan teknik khusus agar proses berkendara kami tetap nyaman. Menghindari gerimis sekaligus menghindari lubang jalanan.
Gerimis agaknya memang bandel. Sesekali ia memberondong kami dengan air berukuran 5 kali lipat ukuran gerimis yang biasanya. Sebenarnya ini sudah bukan lagi gerimis. Ini sudah level hujan. Tapi Dito bersikeras agar perjalanan tetap dilanjutkan.
Di perbatasan Kecamatan Gayam, Dito sempat berbisik ke telinga saya, “Bagaimana kalau kita turun sebentar?,” bisiknya, “Tuhan menurunkan banyak milo hangat di tengah aspal.”
Saya hampir menuruti ucapan Dito sebelum akhirnya saya sadar, ternyata yang dimaksud Dito adalah genangan hujan yang teramat banyak hingga menyerupai milo hangat. Dito memang ahli dalam urusan kekodean. Oh, Tuhan.
Siang baru saja menampakkan diri ketika kami sampai di Kecamatan Padangan. Saya mengajak Dito berkeliling ke sejumlah spot rumah tua, mengelilingi Pecinan Padangan, lalu nyebrang ke Kasiman sebelum akhirnya nembus jalan ke arah Cepu untuk menikmati kopi.
Di salah satu spot rumah tua, kami sempat masuk untuk melakukan observasi. Tidak seperti biasanya, Dito sangat bersemangat melakukan wawancara dan penggalian data. Bahkan, si penjaga rumah yang sempat kami temui benar-benar terkesima dengan sikap Dito.
Kami melanjutkan perjalanan pulang ke Bojonegoro sebelum sore. Anehnya, berada di Kecamatan Kalitidu, hujan deras kembali menyapa kami berdua. Tak ingin menghindari serangan hujan sekaligus milo hangat yang berceceran di tengah jalan, kami pun berhenti di Indomaret.
Kami berlama-lama duduk di depan Indomaret sebelum benar-benar masuk ke dalam — dan tetap berlama-lama di dalamnya — untuk memilih makanan ringan dan air mineral, sekaligus menunggu hujan mereda.
“Siapa nama temanmu itu, Mas?” kata mbak-mbak kasir penjaga Indomaret, sesaat setelah saya menerima struk pembayaran.
Saat mengelilingi rak Indomaret, memang beberapakali saya sempat memanggil nama Dito. Mbak kasir itu sepertinya ingin meyakinkan apa yang ia barusan lihat: bahwa di dunia ini ada lelaki pendiam berparas tampan yang memiliki sopan santun di atas rata-rata anak muda seusianya.
“Dito.” jawab saya.
Suasana hening. Saya menarik botol air mineral dari kantong kresek yang baru saja saya ambil dari rak depan. Bersamaan tegukan pertama dari botol, mbak kasir itu berkata lagi.
“Ooo, saya kira Rinto,” ucapnya, “makanya kog mirip Rinto Harahap.”
Saya langsung keselek air mineral.
Dito dan saya melanjutkan perjalanan pulang. Sebelum sampai tujuan, kami mampir di sebuah warung pinggir jalan. Untuk meniriskan air hujan sekaligus mengisap satu-dua batang kretek untuk melemaskan otot tangan.
“Kalau dipikir-pikir, pojokan Bojonegoro ini seperti museum ya, Mas.” kata Dito sambil menuang kopi panas ke lepek di depannya.
Saya tidak berani menimpali langsung. Takut kalau-kalau dia sedang mengeluarkan kemampuan menebar kodenya. Saya hanya diam sambil menunggunya memberi penjelasan lebih dalam.
“Di Padangan tadi ada rumah tua, di Kasiman ada kawasan kerajinan kayu yang usianya juga sudah tua. Selatannya, nanti ada kawasan Akar Jati Margomulyo. Belum lagi di sisi timur, atau utara. Menurutku, seluruh pojokan Bojonegoro itu museum yang harus dipelajari,” tandasnya.
Saya tentu setuju dengan apa yang Dito sampaikan. Bahkan, kami sempat bersepakat untuk mendatangi setiap pojokan itu satu persatu. Untuk jalan-jalan, rekreasi dan observasi dan sekaligus menggali data bersama. Tapi entah kapan, kami masih belum tahu