Mari kita renungkan bersama-sama: sejauh ini adakah sikap paling baik yang bisa dilakukan selain menerima?
Desember 2020 akan segera sirna sebentar lagi, namun sebuah perasaan haru, malas, dan menyesakkan tiba-tiba merayapi hati kecil saya yang kebetulan hening. Ada beragam ingatan yang terjadi tahun ini. Ada luka, kesedihan, dan kadang-kadang putus asa yang menjelma sebagai sponsor utama.
Saya mengawali tahun ini dengan target yang super ambisius: memperoleh karir yang bagus, mendapatkan pendapatan finansial mumpuni, dan dilancarkan segala hal yang saya idam-idamkan seperti khatam membaca 50 buku, bisa menaikkan lagi tulisan di media massa, memperoleh beasiswa kuliah dan seterusnya.
Ketika 2019 terbenam di langit barat, saya tengah khusuk bermain media sosial. Saya mengamati betapa, oh maafkan jika terdengar berlebihan, terlalu banyak harapan berseliweran satu persatu menjadi sebuah tren tema konten terbaru awal tahun.
Beberapa di antaranya tak sabar ingin mencoret segala daftar keinginan (orang-orang kita menyebutnya resolusi). Sedangkan yang lain, cukup mengulang saja apa yang diidamkan di tahun sebelumnya disertai perbaikan sekadarnya.
Lalu tibalah Januari. Ia menjadi penanda bahwa mungkin kira-kira saya perlu belajar menafsirkan istilah “bahagia”, “gembira”, dan “senang” dalam perspektif berbeda.
Lewat sepotong film berjudul Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, saya seharusnya bisa mencermati pertanda ini lebih cepat. Namun saya terlambat dan di saat yang sama gugurlah kisah asmara yang sempat saya yakini akan bertahan lama. Sempat sedih beberapa waktu hingga kemudian pada akhirnya menemukan kegembiraan-kegembiraan kecil lainnya.
Februari hadir menggenapi kesenangan itu dengan mewujudkannya berupa sebuah project pembuatan buku tahunan milik sebuah yayasan di Surabaya. Sedang di saat yang sama, ada peluang pekerjaan yang bisa saya gapai dan menjadi prospek bagus semisal saya diterima. Dan ditambah lagi, dalam konteks urusan asmara, ada harapan baru yang baru saja bersemi di Jakarta.
Namun pada awal Maret harapan itu beralih wujud menjadi sebuah usaha untuk sabar. Pekerjaan yang saya harapkan bisa menjadi jembatan impian, ternyata tak cocok untuk saya masuki.
Sempat meniatkan diri berlabuh untuk menekuni bidang bisnis, datanglah virus corona (orang-orang menyebutnya covid-19). Sialnya, ia hadir membawa dampak teramat besar, yang kira-kira menjadi alasan mutlak mengapa bahagia sebaiknya memang ditafsirkan lebih luas dan berbeda dari kelaziman umum.
Corona datang dalam fase yang panjang. Saya meringkuk agak lama di sebuah indekos di surabaya sembari tetap mengerjakan hal-hal yang bisa menopang jasmani dan rohani.
Dalam suatu waktu, seutas pesan meluncur di whatsapp saya. Itu adalah pesan dari seseorang yang terlibat proses pembuatan buku tahunan sekolah tadi. Ia mengabari saya bahwa buku tahunan itu disepakati bertema “Blessed Who Endured” atau dengan terjemahan bebas saya simpulkan: Diberkatilah (mereka) Yang Bertahan.
Saya tak akan pernah mengira bahwa istilah itu akan mendekam rapi menjadi semacam panduan selama perjalanan tahun 2020 ini. Apalagi jika melompat sedikit ke bulan Oktober. Yaitu sebuah masa di mana sepupu saya berpulang di sisi Tuhan, dengan meninggalkan seorang suami, dua orang anak yang masing-masing berusia 7 tahun dan 10 bulan, serta seluruh keluarga besar.
Itu menjadi semacam lonceng jumbo yang mendengung keras dalam sanubari. Sembari menyiratkan segala hal yang terjadi selama 2020 ini berkisar selayaknya magis.
Lambat waktu, saya kerap mempertanyakan dengan kalimat tanya: “Mengapa ini bisa terjadi?”.
Alih-alih selekas mungkin mendapatkan jawaban, saya justru dihantui perasaan berlebihan seperti overthinking setiap malam. Dan karena itulah kiranya saya kemudian berjumpa dengan sesi mindfullness, mengenali diri sendiri, mengakrabi filsafat stoic, dan menemukan titik terang tafsir “kebahagiaan”.
Bahagia, kemudian beralih wujud dari hal-hal yang awalnya bernuansa senang, menjadi hal-hal yang terjawab di kepala dengan kata-kata “oh begitu, saya paham. Saya mengerti. Jadi mungkin Tuhan menyampaikan berbagai hal agar saya seperti ini, agar bisa begitu, dan seterusnya. Dan seterusnya”.
Hidup, lantas terasa melegakan. Ada babak di mana saya justru merasa kehidupan adalah sebuah kesempatan penuh syukur yang begitu indah.
Mungkin yang selama ini membuat kita terhalangi kabut dalam meresapi makna hidup adalah obsesi target yang kelewat berlebih, tanpa menyisakan ruang “kehidupan” berjalan semestinya.
Pendek kata, kita terlalu berupaya segala hal dalam hidup bisa berjalan seperti yang kita mau. Padahal jika dipikir pelan-pelan, kita, sebagai manusia, tak punya wewenang untuk menentukan itu semua. Dan di sinilah akar masalah kita.
Namun dari segala hal itu, saya bersyukur bisa mencerna pelajaran ini lebih awal. Meski harus melewati beragam sedih, kehilangan, putus asa, hingga muram, paling tidak sebuah pelajaran bisa segera saya gapai untuk dijadikan pedoman.
Persoalan ini pun saya pikir juga dialami oleh banyak orang, terkhusus di tahun ini. Untuk itu, terhadap segala yang terjadi 2021 nanti, saya harap kita semua bisa lebih kuat dalam menerima beragam hal.
Tentu ini tak mudah dan mungkin terdengar seperti motivasi ringan. Namun, mari kita renungkan bersama-sama: sejauh ini adakah sikap paling baik yang bisa dilakukan selain menerima? (*)
26 Desember 2020